Siang tadi saya baru saja menonton film 2012. Seperti sudah sering disinggung di berbagai media, animo masyarakat terhadap film masih sangat tinggi. Sikap pimpinan salah satu institusi keagamaan di Jatim yang melarang masyarakat untuk menonton film tampaknya tidak mengurangi panjangnya antrian untuk mendapatkan tiket masuk. Entah apa sebabnya (itu di luar pembahasan tulisan ini)..
Ada beberapa alasan mengapa saya memutuskan untuk menyediakan waktu menonton film ini, walaupun di tengah jadwal yang begitu menghimpit. Pertama, salah seorang pemuda di gereja yang saya gembalakan sudah menonton dan dalam benaknya dipenuhi dengan beragam pertanyaan. Pergumulan ini perlu dijawab secara tepat, karena itu saya sepantasnya sudah menonton dahulu sebelum memberi komentar. Saya menduga pergumulan serupa juga dialami oleh jemaat saya yang lain, sekalipun mereka belum atau tidak mengekspresikan hal itu kepada saya. Ternyata, pertanyaan serupa juga beberapa kali ditujukan kepada saya oleh orang-orang lain yang bukan jemaat di gereja yang saya gembalakan.
Kedua, para pimpinan dan dosen INTI (Institut Theologi Indonesia) memberi tawaran menarik untuk makan siang sekaligus nonton bareng. Ini pengalaman pertama bagi saya menonton film dengan para theolog dan hamba Tuhan. Walaupun tidak sempat menganalisa film secara khusus usai menonton, namun beberapa komentar yang sempat terlontar turut menyentil asa saya untuk melihat film ini secara lebih serius.
Ketiga, saya ingin memastikan apakah film ini layak untuk ditonton oleh anak-anak. Saya dan keluarga memang sempat mempertimbangkan untuk nonton film ini sama-sama (semoga tidak ada yang tersandung ketika ada hamba Tuhan yang pergi ke bioskop). Setelah menonton saya pikir film ini tidak terlalu cocok untuk anak kecil. Mereka mungkin akan kurang menikmati sajian yang ada, apalagi di beberapa adegan ada ciuman bibir yang tertunda dan simbol umpatan terkotor dengan menunjukkan salah satu jari tangan. Kalau pun ada yang mengajak anak-anak kecil menonton (film mana sih yang 100% aman untuk anak kecil?) harus dibarengi dengan penjelasan yang memadai.
Sinopsis Cerita
Semua kisah dalam film ini bermula dari pengamatan ilmiah seorang ilmuwan di India. Keyakinannya akhirnya disimak dan diteguhkan oleh sahabatnya yang adalah seorang ilmuwan penting di Amerika yang memiliki akses pada para pejabat pemerintahan di Amerika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bumi akan mengalami serangkaian bencana global yang disebabkan oleh ledakan di matahari. Prediksi bencana ini ternyata bukan hanya didukung secara ilmiah, namun juga oleh ajaran kuno suatu suku. Menurut dua perkiraan ini, dunia akan kiamat pada tahun 2012.
Sebagai langkah antisipasi terhadap hal tersebut, pemerintah Amerika segera menggalang kekuatan internasional dengan negara-negara lain (sayangnya Indonesia tidak dilibatkan, padahal dalam peta dunia yang sempat ditampilkan negara kita ada di sana!). Berbagai negara ini akhirnya mengumpulkan uang untuk mempersiapkan bahtera-bahtera modern. Orang-orang kaya di seluruh dunia mendonasikan uang mereka untuk proyek ini supaya mereka mendapatkan kepastian tempat duduk.
Sementara menunggu penyelesaian semua bahtera (berapa jumlah yang direncanakan semula saya tidak terlalu tahu; atau memang tidak diberitakan? ), berbagai bencana sudah mulai terjadi di mana-mana, terutama di beberapa daerah di Amerika.. Semua terjadi lebih cepat daripada yang diprakirakan. Akhirnya semua pimpinan negara, ilmuwan dan orang-orang kaya bergegas memasuki bahtera-bahtera yang disediakan sementara bahaya terus menguntit di belakang.
Di tempat lain penonton disuguhi dengan segmen-segmen yang berbeda yang menggambarkan keputusasaan dan ketidakberdayaan orang banyak, perjuangan tak kenal lelah dan penuh risiko dari seorang penulis buku untuk menyelamatkan keluarganya (walaupun ia sudah bercerai), penggunaan uang yang licik oleh seorang pengusaha kaya, upaya gigih seorang penganut Lama dan kakaknya demi menyelamatkan orang tua, bahkan “kesiapan” penyiar radio yang aneh di suatu taman wisata. Semua segmen ini turut memperkaya beragam respons manusia dengan beragam latar belakang mereka terhadap problem yang sama.
Ketika bencana besar berupa badai tsunami global akibat pergeseran kerak bumi yang ekstrim benar-benar terjadi, pertaruhan hidup sedang berlangsung di seputar dermaga bahtera dan di dalam bahtera. Orang-orang yang ada di luar sedang berusaha dengan keras untuk masuk, sementara orang-orang yang sudah berada di dalam bahtera dan merasa nyawa mereka terancam mendesak untuk segera menutup pintu bahtera. Di sinilah peperangan filosofis-etis mendapat sorotan tajam. Pergumulan seputar nilai keadilan, arti peradaban dan rasa kemanusiaan benar-benar mengristal. Apakah hanya ilmuwan, politikus dan orang kaya yang berhak untuk selamat? Apa kelebihan mereka dibandingkan dengan orang-orang lain? Apakah motivasi untuk membentuk peradaban baru yang terdiri dari orang-orang bertalenta – namun dengan “mengorbankan peluang orang lain untuk diselamatkan – merupakan tindakan yang beradab? Apakah mengambil risiko demi orang lain adalah tindakan kemanusiaan yang terpuji atau spekulasi yang bodoh?
Dalam pertempuran filosofis-etis ini akhirnya belas kasihan, rasa keadilan dan kemauan untuk berkorban menjadi pemenang. Walaupun keputusan untuk membuka kembali gerbang bahtera tidak menyelamatkan semua orang (apalagi yang sudah diterjang badai dan gempa di tempat lain), namun paling tidak keputusan itu telah mengurangi korban jiwa yang lain. Hampir semua orang akhirnya bisa masuk ke dalam beberapa bahtera yang ada. Bagaimanapun, bahaya dan ketegangan belum usai.
Pintu bahtera tidak sepenuhnya bisa ditutup sehingga mesin tidak dapat dijalankan. Bahtera terombang-ombing dan hanya mengikuti arus air yang sangar deras. Celakanya, secara tidak terkendali bahtera menuju ke suatu pegunungan. Apabila mesin tetap tidak bisa dihidupkan, maka akan terjadi benturan yang sangat keras dan seluruh penumpang akan mati. Problem harus ditemukan dan dipecahkan.
Di sinilah semua orang berhutang pada sang penulis buku. Dengan menantang bahaya ia berupaya menyelamatkan keluarganya yang terjebak oleh air di bagian bawah bahtera. Dengan dibantu oleh anak laki-lakinya, sang penulis buku akhirnya bukan hanya berhasil mengatasi masalah dan menyelamatkan keluarga. Ia bahkan menjadi pahlawan bagi semua orang.
Situasi ini sangat kontras dengan posisinya dahulu. Di mata keluarganya ia tidak lebih dari seorang suami dan ayah yang egois, cuek, dan hanya berkutat dengan buku-bukunya yang tidak seberapa laris di pasaran. Anak laki-lakinya pun tidak bisa menghargai dia sebagai ayah. Perpisahan dan bahaya yang mengancam keluarganya ternyata mampu mengubah sosok pria ini sebagai orang yang sangat peduli dan berani mempertaruhkan apa pun bagi orang lain. Usaha ini akhirnya mendapatkan akhir yang manis. Ia dan keluarganya kembali bersatu dan semua menemukan arti keluarga yang sejati: kebersamaan adalah keluarga. Ia menjadi kebanggaan keluarga.
Analisa Sastra
Saya harus memulai bagian ini dengan sebuah pengakuan bahwa keahlian saya mungkin tidak mencukupi untuk memberikan analisa sastra yang akurat. Saya hanya mengandalkan pengalaman di teater selama SMP dan studi kritik narasi yang saya pelajari di bidang biblika. Dari sisi plot, cerita di film ini sangat baik. Beragam variasi nuansa dihadirkan silih berganti, dari ketegangan sampai drama yang menyentuh perasaan. Beberapa adegan di tempat yang berbeda ditampilkan secara simultan (misalnya orang-orang di bahtera yang sudah merasa aman, sedangkan sang presiden Amerika memilih untuk menemani rakyat yang tertinggal), sehingga penonton dipacu untuk membandingkan segala situasi tersebut. Hasilnya? Film ini kaya dengan perspektif.
Dari sisi setting (tempat kejadian) film ini patut diacungi jempol. Pemandangan di Yellowstone yang indah, Pegunungan Himalaya dan Everest yang bersalju cukup memperindah film yang indah ini. Suasana di terminal/stasiun bahtera yang sangat megah dan besar seakan-akan memberi kesan bahwa tempat itu terlalu kokoh untuk diluluhlantakkan badai. Kenyataannya, semua terbalik; dan itu mempertegas betapa besarnya kekuatan badai yang terjadi.
Aspek efek spesial komputer merupakan daya tarik yang lain dari film ini. Badai salju yang menerpa seorang Lama yang tengah bersemedi di sebuah bukit merupakan salah satu tontonan yang istimewa. Demikian pula dengan badai yang menerjang penyiar radio nyentrik. Belum lagi jalanan yang retak dan mengejar mobil maupun pesawat Jackson cs. Efeknya sangat oke, walaupun secara pribadi saya lebih menyukai yang disuguhkan di film Titanic.
Karakterisasi dalam film ini pun cukup baik. Beragam kelompok manusia dihadirkan, dari orang Asia, Eropa dan Amerika, dari orang miskin sampai orang kaya, dari anak kecil sampai anak-anak, dari politikus sampai penyiar radio yang aneh. Semua keberagaman ini pasti disengaja untuk menunjukkan satu hal: meskipun mereka semua berbeda tetapi respons mereka terhadap bahaya yang sama relatif cukup seragam. Mereka ketakutan, tak berdaya, saling menolong, dsb.
Ada beberapa tokoh yang termasuk flat characters (tidak mengalami perubahan), sedangkan yang lain termasuk progressive characters (mengalam i perubahan). Dari kelompok terakhir ini Jackson mungkin yang paling menonjol. Ia berubah dari seorang yang egois dan hanya memikirkan tulisannya, akhirnya ia berubah menjadi pahlawan bagi semua orang. Dari seorang yang tidak suka dengan pacar mantan isterinya, ia perlahan-lahan menjadi mitra yang baik dalam menghadapi bahaya.
Sebenarnya masih ada beberapa poin lagi dari sisi sastra yang menarik perhatian, namun terpaksa saya abaikan. Tulisan ini bukanlah tulisan sastra, sekalipun saya adalah penikmat narasi dan film. Saya akan memfokuskan pada analisa theologis di bawah ini. Analisa inilah yang paling penting.
Analisa Theologis
Sebelum memberikan paparan theologis saya ingin menegaskan dahulu bahwa film ini bukan tentang kiamat, sekalipun beberapa sinyal ke arah sana tetap muncul. Film ini lebih berbicara tentang bencana global akibat letupan matahari yang menyebabkan kerak bumi bergeser secara ekstrim sehingga terjadi badai super hebat di berbagai tempat dan posisi geografis bumi mengalami perubahan radikal. Tidak ada unsur menubuatkan kapan akhir zaman/kiamat tiba (kecuali mungkin disiratkan dalam mitos suku Maya). Semua bencana pun akhirnya terjadi lebih cepat daripada yang diprakirakan. Jika film ini tentang kiamat, maka usaha membangun bahtera akan tampak sebagai upaya ilmiah yang bodoh. Kenyataan bahwa sebagian manusia akhirnya masih bertahan hidup membuktikan bahwa film ini memang bukan menyorot kiamat secara khusus (pada waktu kiamat bukankah tidak ada seorang pun yang bisa bertahan hidup?).
Sekarang mari kita mulai dengan analisa yang positif lebih dahulu. Dalam kategori ini film 2012 sarat dengan muatan moral yang luhur. Ada beragam nilai moral yang ditampilkan dalam film ini:
· Kebersamaan dan perhatian untuk keluarga lebih penting daripada pekerjaan maupun ambisi personal. Di penghujung kisah kita diingatkan bahwa ”kebersamaan dalam sebuah keluarga adalah rumah yang sebenarnya”.
· Kelebihan tertentu yang dimiliki manusia – baik itu ilmu, jabatan maupun uang – tidak membuat orang itu memiliki hakekat kemanusiaan yang lebih daripada orang lain. Semua orang memiliki hak hidup dan nilai yang sama.
· Semua manusia adalah satu keluarga besar yang sudah sepantasnya saling menolong.
· Ketidakberdayaan manusia di hadapan Allah yang menggerakkan alam semesta. Prakiraan ilmiah meleset, seluruh pencapaian manusia luluh dalam sekejap, uang tidak menjamin keselamatan jiwa, negara adi kuasa pun tidak punya cukup kuasa untuk mengubah apa yang akan terjadi.
· Kedekatan dengan Tuhan ketika menghadapi masalah.. Walaupun film ini jelas bukan film Kristiani, namun ada banyak adegan yang menyiratkan usaha manusia untuk kembali kepada Tuhan. Sang presiden yang putus asa memilih menyendiri di kapel, seruan ”please, God” terdengar beberapa kali dari tokoh yang berbeda, pengemis jalanan pun memegang poster sederhana dengan seruan pertobatan.
· Pentingnya relasi yang baik di antara anggota keluarga. Sang presiden akhirnya memutuskan untuk mengumumkan keadaan darurat yang ada supaya setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki relasi dengan keluarga masing-masing, baik permintaan maaf maupun ungkapan cinta. Beberapa tokoh dalam cerita ini menelepon anggota keluarga, walaupun ada yang terlalu terlambat.
Di samping nilai positif di atas, kita juga perlu mewaspadai beberapa konsep theologis yang salah dalam film ini. Walaupun semua yang terlibat dalam film mungkin tidak memiliki agenda relijius khusus untuk mendiskriditkan suatu agama, namun apa yang diungkapkan tetap perlu diwaspadai. Apa saja yang salah dalam film ini?
Pertama,
indikasi implisit bahwa bencana global yang menyebabkan kemusnahan dunia dapat diprediksi sebelumnya, baik melalui ajaran kuno suatu suku maupun perhitungan ilmiah. Seperti sudah disinggung sebelumnya, film 2012 memang tidak secara khusus berbicara tentang kiamat. Bagaimanapun, pesan seperti itu memang tidak terhindarkan akan ditangkap oleh para penonton. Jika ini yang terjadi, maka kita perlu memahami hubungan antara bencana alam dan akhir zaman.
Beberapa bagian Alkitab mencatat bahwa akhir zaman akan didahului dengan beberapa tanda natural berupa bencana gempa bumi dan kelaparan (Mat. 24:7). Apakah petunjuk ini – yang dalam taraf tertentu dapat dideteksi secara ilmiah – merupakan tanda mutlak datangnya akhir zaman? Kita tampaknya perlu berhati-hati di sini. Apakah jumlah gempa bumi sekarang benar-benar lebih banyak daripada yang terjadi di masa lampau? Tentu saja tidak. Tanda-tanda ini harus dipahami dalam beberapa aspek: tanda ini harus simultan (berbarengan dengan tanda-tanda non-alamiah lain seperti perang, penyesatan, dsb), global ( terjadi di hampir semua tempat), intensif (frekwensi pemunculan yang lebih sering dan kualitas kerusakan yang meningkat). Satu hal lagi yang perlu diketahui adalah bahwa semua tanda ini ”barulah permulaanpen deritaan menjelang zaman baru” (Mat. 24:8). Kita tidak akan pernah tahu kapan Kristus akan kembali lagi. Bahkan Kristus sendiri setelah memberitahukan tanda-tanda akhir zaman (Mat. 24:1-35) pada akhirnya mengajarkan bahwa hanya Bapa sendiri yang tahu kapan semua itu akan terjadi (Mat. 24:36).
Sebagai tambahan, orang Kristen tidak boleh terlalu terpaku pada tanda-tanda alamiah tersebut, seolah-olah kita tidak memiliki pengharaan seperti orang-orang dalam film 2012. Sebaliknya, kita perlu lebih memperhatikan apa yang disebut Anthony Hoekema dalam bukunya The Bible and The Future sebagai ”tanda-tanda anugerah”. Yang termasuk tanda anugerah ini adalah ketabahan orang-orang pilihan di tengah penganiayaan dan kesesatan serta pemberitaan injil ke seluruh dunia (Mat. 24:13-14). Jika ini yang kita jadikan fokus, maka kita tidak akan sibuk dengan diri kita sendiri atau keluarga kita (seperti yang disiratkan dalam film 2012), namun pada kepentingan kerajaan Allah. Injil harus diberitakan ke mana-mana.
Kedua,
kebinasaan dunia dengan menggunakan air. Film 2012 memang memulai dengan perubahan tertentu di matahari yang mengakibatkan pergeseran kerak bumi. Pada gilirannya semua ini menyebabkan badai tsunami berskala internasional. Cara kepunahan dunia dengan menggunakan media air seperti ini jelas bertentangan dengan janji Tuhan bahwa Ia tidak akan memusnahkan dunia ini dengan air lagi (Kej. 9:12-16). Akhir zaman pasti terjadi. Dunia yang kita kenal sekarang akan musnah dengan cara yang dahsyat (2Ptr. 3:10-12). Walaupun demikian, media yang akan dipakai Tuhan waktu itu pasti bukan air. Sekali Ia berjanji, Ia akan menepati.
Ketiga,
spiritualitas bercorak postmodern yang pluralis. Spiritualitas postmodern lebih mengutamakan kesamaan antar agama daripada perbedaan yang ada. Semua agama dianggap sama, yang penting semua itu membawa dampak praktis yang positif. Perbuataan baik, rasa kemanusiaan dan belas kasihan adalah segala-galanya, bukan perbedaan doktrin. Hal inilah yang ditampilkan dalam film 2012.
Saya menyadari bahwa pemberian label ”spiritualitas yang postmodern” untuk film ini mungkin tidak terlalu adil, karena dalam hal lain film ini menunjukkan kontra terhadap postmodernisme. Sebagai contoh, ketika dua pilihan dihadapkan pada para pemimpin negara untuk memutuskan apakah pintu bahtera akan tetap ditutup atau akan dibuka bagi orang banyak terlihat dengan jelas bahwa ada standar moralitas yang akhirnya dipegang. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep moralitas postmodern yang relatif. Bagaimanapun, kita tetap harus mewaspadai pesan pluralisme yang diusung oleh film ini.
Kekristenan dan semua agama lain sama-sama mengajarkan perbuatan baik, tetapi konsep di baliknya sangat berbeda.. Dalam agama lain diajarkan bahwa perbuatan baik diperlukansupaya seseorang diselamatkan. Dalam Kekristenan perbuatan baik tidak menyelamatkan. Manusia diselamatkan karena iman kepada karya penebusan Kristus di kayu salib (Ef. 2:8-9). Perbuatan baik menurut Alkitab merupakan respons atau ucapan syukur atas anugerah keselamatan yang kita terima (Ef. 2:10). Kta berbuat baik karena sudah diselamatkan (bukan supayadiselam atkan, seperti diajarkan dalam agama-agama yang lain). Perbuatan baik harus didasari dengan kesadaran bahwa sebagaimana kita sudah dikasihi Allah sedemikian rupa, maka kita pun harus membagi kasih yang sama itu. Tanpa dilandasi oleh motivasi seperti ini, maka semua perbuatan baik menjadi moralitas humanis yang tidak ada gunanya sama sekali.
Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/page.php?PRAK-01-Film_2012
Profil Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus. org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.
"Mengenal Allah merupakan hal penting untuk menjalani hidup kita." (Prof. J. I. Packer, D.Phil.; Mengenal Allah, hlm. 5)
Ada beberapa alasan mengapa saya memutuskan untuk menyediakan waktu menonton film ini, walaupun di tengah jadwal yang begitu menghimpit. Pertama, salah seorang pemuda di gereja yang saya gembalakan sudah menonton dan dalam benaknya dipenuhi dengan beragam pertanyaan. Pergumulan ini perlu dijawab secara tepat, karena itu saya sepantasnya sudah menonton dahulu sebelum memberi komentar. Saya menduga pergumulan serupa juga dialami oleh jemaat saya yang lain, sekalipun mereka belum atau tidak mengekspresikan hal itu kepada saya. Ternyata, pertanyaan serupa juga beberapa kali ditujukan kepada saya oleh orang-orang lain yang bukan jemaat di gereja yang saya gembalakan.
Kedua, para pimpinan dan dosen INTI (Institut Theologi Indonesia) memberi tawaran menarik untuk makan siang sekaligus nonton bareng. Ini pengalaman pertama bagi saya menonton film dengan para theolog dan hamba Tuhan. Walaupun tidak sempat menganalisa film secara khusus usai menonton, namun beberapa komentar yang sempat terlontar turut menyentil asa saya untuk melihat film ini secara lebih serius.
Ketiga, saya ingin memastikan apakah film ini layak untuk ditonton oleh anak-anak. Saya dan keluarga memang sempat mempertimbangkan untuk nonton film ini sama-sama (semoga tidak ada yang tersandung ketika ada hamba Tuhan yang pergi ke bioskop). Setelah menonton saya pikir film ini tidak terlalu cocok untuk anak kecil. Mereka mungkin akan kurang menikmati sajian yang ada, apalagi di beberapa adegan ada ciuman bibir yang tertunda dan simbol umpatan terkotor dengan menunjukkan salah satu jari tangan. Kalau pun ada yang mengajak anak-anak kecil menonton (film mana sih yang 100% aman untuk anak kecil?) harus dibarengi dengan penjelasan yang memadai.
Sinopsis Cerita
Semua kisah dalam film ini bermula dari pengamatan ilmiah seorang ilmuwan di India. Keyakinannya akhirnya disimak dan diteguhkan oleh sahabatnya yang adalah seorang ilmuwan penting di Amerika yang memiliki akses pada para pejabat pemerintahan di Amerika. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, bumi akan mengalami serangkaian bencana global yang disebabkan oleh ledakan di matahari. Prediksi bencana ini ternyata bukan hanya didukung secara ilmiah, namun juga oleh ajaran kuno suatu suku. Menurut dua perkiraan ini, dunia akan kiamat pada tahun 2012.
Sebagai langkah antisipasi terhadap hal tersebut, pemerintah Amerika segera menggalang kekuatan internasional dengan negara-negara lain (sayangnya Indonesia tidak dilibatkan, padahal dalam peta dunia yang sempat ditampilkan negara kita ada di sana!). Berbagai negara ini akhirnya mengumpulkan uang untuk mempersiapkan bahtera-bahtera modern. Orang-orang kaya di seluruh dunia mendonasikan uang mereka untuk proyek ini supaya mereka mendapatkan kepastian tempat duduk.
Sementara menunggu penyelesaian semua bahtera (berapa jumlah yang direncanakan semula saya tidak terlalu tahu; atau memang tidak diberitakan? ), berbagai bencana sudah mulai terjadi di mana-mana, terutama di beberapa daerah di Amerika.. Semua terjadi lebih cepat daripada yang diprakirakan. Akhirnya semua pimpinan negara, ilmuwan dan orang-orang kaya bergegas memasuki bahtera-bahtera yang disediakan sementara bahaya terus menguntit di belakang.
Di tempat lain penonton disuguhi dengan segmen-segmen yang berbeda yang menggambarkan keputusasaan dan ketidakberdayaan orang banyak, perjuangan tak kenal lelah dan penuh risiko dari seorang penulis buku untuk menyelamatkan keluarganya (walaupun ia sudah bercerai), penggunaan uang yang licik oleh seorang pengusaha kaya, upaya gigih seorang penganut Lama dan kakaknya demi menyelamatkan orang tua, bahkan “kesiapan” penyiar radio yang aneh di suatu taman wisata. Semua segmen ini turut memperkaya beragam respons manusia dengan beragam latar belakang mereka terhadap problem yang sama.
Ketika bencana besar berupa badai tsunami global akibat pergeseran kerak bumi yang ekstrim benar-benar terjadi, pertaruhan hidup sedang berlangsung di seputar dermaga bahtera dan di dalam bahtera. Orang-orang yang ada di luar sedang berusaha dengan keras untuk masuk, sementara orang-orang yang sudah berada di dalam bahtera dan merasa nyawa mereka terancam mendesak untuk segera menutup pintu bahtera. Di sinilah peperangan filosofis-etis mendapat sorotan tajam. Pergumulan seputar nilai keadilan, arti peradaban dan rasa kemanusiaan benar-benar mengristal. Apakah hanya ilmuwan, politikus dan orang kaya yang berhak untuk selamat? Apa kelebihan mereka dibandingkan dengan orang-orang lain? Apakah motivasi untuk membentuk peradaban baru yang terdiri dari orang-orang bertalenta – namun dengan “mengorbankan peluang orang lain untuk diselamatkan – merupakan tindakan yang beradab? Apakah mengambil risiko demi orang lain adalah tindakan kemanusiaan yang terpuji atau spekulasi yang bodoh?
Dalam pertempuran filosofis-etis ini akhirnya belas kasihan, rasa keadilan dan kemauan untuk berkorban menjadi pemenang. Walaupun keputusan untuk membuka kembali gerbang bahtera tidak menyelamatkan semua orang (apalagi yang sudah diterjang badai dan gempa di tempat lain), namun paling tidak keputusan itu telah mengurangi korban jiwa yang lain. Hampir semua orang akhirnya bisa masuk ke dalam beberapa bahtera yang ada. Bagaimanapun, bahaya dan ketegangan belum usai.
Pintu bahtera tidak sepenuhnya bisa ditutup sehingga mesin tidak dapat dijalankan. Bahtera terombang-ombing dan hanya mengikuti arus air yang sangar deras. Celakanya, secara tidak terkendali bahtera menuju ke suatu pegunungan. Apabila mesin tetap tidak bisa dihidupkan, maka akan terjadi benturan yang sangat keras dan seluruh penumpang akan mati. Problem harus ditemukan dan dipecahkan.
Di sinilah semua orang berhutang pada sang penulis buku. Dengan menantang bahaya ia berupaya menyelamatkan keluarganya yang terjebak oleh air di bagian bawah bahtera. Dengan dibantu oleh anak laki-lakinya, sang penulis buku akhirnya bukan hanya berhasil mengatasi masalah dan menyelamatkan keluarga. Ia bahkan menjadi pahlawan bagi semua orang.
Situasi ini sangat kontras dengan posisinya dahulu. Di mata keluarganya ia tidak lebih dari seorang suami dan ayah yang egois, cuek, dan hanya berkutat dengan buku-bukunya yang tidak seberapa laris di pasaran. Anak laki-lakinya pun tidak bisa menghargai dia sebagai ayah. Perpisahan dan bahaya yang mengancam keluarganya ternyata mampu mengubah sosok pria ini sebagai orang yang sangat peduli dan berani mempertaruhkan apa pun bagi orang lain. Usaha ini akhirnya mendapatkan akhir yang manis. Ia dan keluarganya kembali bersatu dan semua menemukan arti keluarga yang sejati: kebersamaan adalah keluarga. Ia menjadi kebanggaan keluarga.
Analisa Sastra
Saya harus memulai bagian ini dengan sebuah pengakuan bahwa keahlian saya mungkin tidak mencukupi untuk memberikan analisa sastra yang akurat. Saya hanya mengandalkan pengalaman di teater selama SMP dan studi kritik narasi yang saya pelajari di bidang biblika. Dari sisi plot, cerita di film ini sangat baik. Beragam variasi nuansa dihadirkan silih berganti, dari ketegangan sampai drama yang menyentuh perasaan. Beberapa adegan di tempat yang berbeda ditampilkan secara simultan (misalnya orang-orang di bahtera yang sudah merasa aman, sedangkan sang presiden Amerika memilih untuk menemani rakyat yang tertinggal), sehingga penonton dipacu untuk membandingkan segala situasi tersebut. Hasilnya? Film ini kaya dengan perspektif.
Dari sisi setting (tempat kejadian) film ini patut diacungi jempol. Pemandangan di Yellowstone yang indah, Pegunungan Himalaya dan Everest yang bersalju cukup memperindah film yang indah ini. Suasana di terminal/stasiun bahtera yang sangat megah dan besar seakan-akan memberi kesan bahwa tempat itu terlalu kokoh untuk diluluhlantakkan badai. Kenyataannya, semua terbalik; dan itu mempertegas betapa besarnya kekuatan badai yang terjadi.
Aspek efek spesial komputer merupakan daya tarik yang lain dari film ini. Badai salju yang menerpa seorang Lama yang tengah bersemedi di sebuah bukit merupakan salah satu tontonan yang istimewa. Demikian pula dengan badai yang menerjang penyiar radio nyentrik. Belum lagi jalanan yang retak dan mengejar mobil maupun pesawat Jackson cs. Efeknya sangat oke, walaupun secara pribadi saya lebih menyukai yang disuguhkan di film Titanic.
Karakterisasi dalam film ini pun cukup baik. Beragam kelompok manusia dihadirkan, dari orang Asia, Eropa dan Amerika, dari orang miskin sampai orang kaya, dari anak kecil sampai anak-anak, dari politikus sampai penyiar radio yang aneh. Semua keberagaman ini pasti disengaja untuk menunjukkan satu hal: meskipun mereka semua berbeda tetapi respons mereka terhadap bahaya yang sama relatif cukup seragam. Mereka ketakutan, tak berdaya, saling menolong, dsb.
Ada beberapa tokoh yang termasuk flat characters (tidak mengalami perubahan), sedangkan yang lain termasuk progressive characters (mengalam i perubahan). Dari kelompok terakhir ini Jackson mungkin yang paling menonjol. Ia berubah dari seorang yang egois dan hanya memikirkan tulisannya, akhirnya ia berubah menjadi pahlawan bagi semua orang. Dari seorang yang tidak suka dengan pacar mantan isterinya, ia perlahan-lahan menjadi mitra yang baik dalam menghadapi bahaya.
Sebenarnya masih ada beberapa poin lagi dari sisi sastra yang menarik perhatian, namun terpaksa saya abaikan. Tulisan ini bukanlah tulisan sastra, sekalipun saya adalah penikmat narasi dan film. Saya akan memfokuskan pada analisa theologis di bawah ini. Analisa inilah yang paling penting.
Analisa Theologis
Sebelum memberikan paparan theologis saya ingin menegaskan dahulu bahwa film ini bukan tentang kiamat, sekalipun beberapa sinyal ke arah sana tetap muncul. Film ini lebih berbicara tentang bencana global akibat letupan matahari yang menyebabkan kerak bumi bergeser secara ekstrim sehingga terjadi badai super hebat di berbagai tempat dan posisi geografis bumi mengalami perubahan radikal. Tidak ada unsur menubuatkan kapan akhir zaman/kiamat tiba (kecuali mungkin disiratkan dalam mitos suku Maya). Semua bencana pun akhirnya terjadi lebih cepat daripada yang diprakirakan. Jika film ini tentang kiamat, maka usaha membangun bahtera akan tampak sebagai upaya ilmiah yang bodoh. Kenyataan bahwa sebagian manusia akhirnya masih bertahan hidup membuktikan bahwa film ini memang bukan menyorot kiamat secara khusus (pada waktu kiamat bukankah tidak ada seorang pun yang bisa bertahan hidup?).
Sekarang mari kita mulai dengan analisa yang positif lebih dahulu. Dalam kategori ini film 2012 sarat dengan muatan moral yang luhur. Ada beragam nilai moral yang ditampilkan dalam film ini:
· Kebersamaan dan perhatian untuk keluarga lebih penting daripada pekerjaan maupun ambisi personal. Di penghujung kisah kita diingatkan bahwa ”kebersamaan dalam sebuah keluarga adalah rumah yang sebenarnya”.
· Kelebihan tertentu yang dimiliki manusia – baik itu ilmu, jabatan maupun uang – tidak membuat orang itu memiliki hakekat kemanusiaan yang lebih daripada orang lain. Semua orang memiliki hak hidup dan nilai yang sama.
· Semua manusia adalah satu keluarga besar yang sudah sepantasnya saling menolong.
· Ketidakberdayaan manusia di hadapan Allah yang menggerakkan alam semesta. Prakiraan ilmiah meleset, seluruh pencapaian manusia luluh dalam sekejap, uang tidak menjamin keselamatan jiwa, negara adi kuasa pun tidak punya cukup kuasa untuk mengubah apa yang akan terjadi.
· Kedekatan dengan Tuhan ketika menghadapi masalah.. Walaupun film ini jelas bukan film Kristiani, namun ada banyak adegan yang menyiratkan usaha manusia untuk kembali kepada Tuhan. Sang presiden yang putus asa memilih menyendiri di kapel, seruan ”please, God” terdengar beberapa kali dari tokoh yang berbeda, pengemis jalanan pun memegang poster sederhana dengan seruan pertobatan.
· Pentingnya relasi yang baik di antara anggota keluarga. Sang presiden akhirnya memutuskan untuk mengumumkan keadaan darurat yang ada supaya setiap orang memiliki kesempatan untuk memperbaiki relasi dengan keluarga masing-masing, baik permintaan maaf maupun ungkapan cinta. Beberapa tokoh dalam cerita ini menelepon anggota keluarga, walaupun ada yang terlalu terlambat.
Di samping nilai positif di atas, kita juga perlu mewaspadai beberapa konsep theologis yang salah dalam film ini. Walaupun semua yang terlibat dalam film mungkin tidak memiliki agenda relijius khusus untuk mendiskriditkan suatu agama, namun apa yang diungkapkan tetap perlu diwaspadai. Apa saja yang salah dalam film ini?
Pertama,
indikasi implisit bahwa bencana global yang menyebabkan kemusnahan dunia dapat diprediksi sebelumnya, baik melalui ajaran kuno suatu suku maupun perhitungan ilmiah. Seperti sudah disinggung sebelumnya, film 2012 memang tidak secara khusus berbicara tentang kiamat. Bagaimanapun, pesan seperti itu memang tidak terhindarkan akan ditangkap oleh para penonton. Jika ini yang terjadi, maka kita perlu memahami hubungan antara bencana alam dan akhir zaman.
Beberapa bagian Alkitab mencatat bahwa akhir zaman akan didahului dengan beberapa tanda natural berupa bencana gempa bumi dan kelaparan (Mat. 24:7). Apakah petunjuk ini – yang dalam taraf tertentu dapat dideteksi secara ilmiah – merupakan tanda mutlak datangnya akhir zaman? Kita tampaknya perlu berhati-hati di sini. Apakah jumlah gempa bumi sekarang benar-benar lebih banyak daripada yang terjadi di masa lampau? Tentu saja tidak. Tanda-tanda ini harus dipahami dalam beberapa aspek: tanda ini harus simultan (berbarengan dengan tanda-tanda non-alamiah lain seperti perang, penyesatan, dsb), global ( terjadi di hampir semua tempat), intensif (frekwensi pemunculan yang lebih sering dan kualitas kerusakan yang meningkat). Satu hal lagi yang perlu diketahui adalah bahwa semua tanda ini ”barulah permulaanpen deritaan menjelang zaman baru” (Mat. 24:8). Kita tidak akan pernah tahu kapan Kristus akan kembali lagi. Bahkan Kristus sendiri setelah memberitahukan tanda-tanda akhir zaman (Mat. 24:1-35) pada akhirnya mengajarkan bahwa hanya Bapa sendiri yang tahu kapan semua itu akan terjadi (Mat. 24:36).
Sebagai tambahan, orang Kristen tidak boleh terlalu terpaku pada tanda-tanda alamiah tersebut, seolah-olah kita tidak memiliki pengharaan seperti orang-orang dalam film 2012. Sebaliknya, kita perlu lebih memperhatikan apa yang disebut Anthony Hoekema dalam bukunya The Bible and The Future sebagai ”tanda-tanda anugerah”. Yang termasuk tanda anugerah ini adalah ketabahan orang-orang pilihan di tengah penganiayaan dan kesesatan serta pemberitaan injil ke seluruh dunia (Mat. 24:13-14). Jika ini yang kita jadikan fokus, maka kita tidak akan sibuk dengan diri kita sendiri atau keluarga kita (seperti yang disiratkan dalam film 2012), namun pada kepentingan kerajaan Allah. Injil harus diberitakan ke mana-mana.
Kedua,
kebinasaan dunia dengan menggunakan air. Film 2012 memang memulai dengan perubahan tertentu di matahari yang mengakibatkan pergeseran kerak bumi. Pada gilirannya semua ini menyebabkan badai tsunami berskala internasional. Cara kepunahan dunia dengan menggunakan media air seperti ini jelas bertentangan dengan janji Tuhan bahwa Ia tidak akan memusnahkan dunia ini dengan air lagi (Kej. 9:12-16). Akhir zaman pasti terjadi. Dunia yang kita kenal sekarang akan musnah dengan cara yang dahsyat (2Ptr. 3:10-12). Walaupun demikian, media yang akan dipakai Tuhan waktu itu pasti bukan air. Sekali Ia berjanji, Ia akan menepati.
Ketiga,
spiritualitas bercorak postmodern yang pluralis. Spiritualitas postmodern lebih mengutamakan kesamaan antar agama daripada perbedaan yang ada. Semua agama dianggap sama, yang penting semua itu membawa dampak praktis yang positif. Perbuataan baik, rasa kemanusiaan dan belas kasihan adalah segala-galanya, bukan perbedaan doktrin. Hal inilah yang ditampilkan dalam film 2012.
Saya menyadari bahwa pemberian label ”spiritualitas yang postmodern” untuk film ini mungkin tidak terlalu adil, karena dalam hal lain film ini menunjukkan kontra terhadap postmodernisme. Sebagai contoh, ketika dua pilihan dihadapkan pada para pemimpin negara untuk memutuskan apakah pintu bahtera akan tetap ditutup atau akan dibuka bagi orang banyak terlihat dengan jelas bahwa ada standar moralitas yang akhirnya dipegang. Hal ini jelas bertentangan dengan konsep moralitas postmodern yang relatif. Bagaimanapun, kita tetap harus mewaspadai pesan pluralisme yang diusung oleh film ini.
Kekristenan dan semua agama lain sama-sama mengajarkan perbuatan baik, tetapi konsep di baliknya sangat berbeda.. Dalam agama lain diajarkan bahwa perbuatan baik diperlukansupaya seseorang diselamatkan. Dalam Kekristenan perbuatan baik tidak menyelamatkan. Manusia diselamatkan karena iman kepada karya penebusan Kristus di kayu salib (Ef. 2:8-9). Perbuatan baik menurut Alkitab merupakan respons atau ucapan syukur atas anugerah keselamatan yang kita terima (Ef. 2:10). Kta berbuat baik karena sudah diselamatkan (bukan supayadiselam atkan, seperti diajarkan dalam agama-agama yang lain). Perbuatan baik harus didasari dengan kesadaran bahwa sebagaimana kita sudah dikasihi Allah sedemikian rupa, maka kita pun harus membagi kasih yang sama itu. Tanpa dilandasi oleh motivasi seperti ini, maka semua perbuatan baik menjadi moralitas humanis yang tidak ada gunanya sama sekali.
Sumber:
http://www.gkri-exodus.org/page.php?PRAK-01-Film_2012
Profil Ev. Yakub Tri Handoko, M.A., Th.M., yang lahir di Semarang, 23 November 1974, adalah gembala sidang Gereja Kristus Rahmani Indonesia (GKRI) Exodus, Surabaya (www.gkri-exodus. org) dan dosen di Institut Theologi Abdiel Indonesia (ITHASIA) Pacet serta dosen tetap di Sekolah Theologi Awam Reformed (STAR) dari GKRI Exodus, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Theologi (S.Th.) di Sekolah Tinggi Alkitab Surabaya (STAS); Master of Arts (M.A.) in Theological Studies di International Center for Theological Studies (ICTS), Pacet–Mojokerto; dan Master of Theology (Th.M.) di International Theological Seminary, U.S.A. Mulai tahun 2007, beliau sedang mengambil program gelar Doctor of Philosophy (Ph.D.) part time di Evangelische Theologische Faculteit (ETF), Leuven–Belgia.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio.
"Mengenal Allah merupakan hal penting untuk menjalani hidup kita." (Prof. J. I. Packer, D.Phil.; Mengenal Allah, hlm. 5)
No comments:
Post a Comment