Refleksi : Kamis, 17/12/2009 by Ramdhania El Hida - detikFinance-Jakarta -
Sekitar 12,5 juta rumah tangga di Indonesia tercatat belum memiliki rumah. Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2007 mencatat sekitar 12.540.747 rumah tangga masih belum memiliki rumah.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Dedy Supriadi Priatna dalam Forum Bisnis Konstruksi Indonesia Tahun 2009 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (17/12/2009).
Menurut Dedy, jumlah tersebut terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan penduduk atau rumah tangga baru. "Di daerah perkotaan lebih banyak rumah tangga yang tidak memiliki rumah atau sekitar 8,7 juta dan di pedesaan sekitar 3,8 juta," jelas Dedy.
Hal ini, tambah Dedy, menunjukkan minimnya infrastruktur di Indonesia karena tidak adanya perbaikan dan pembangunan bidang infrastruktur pasca krisis 1997-1998 (akumulasi backlog).
Di samping itu, kapasitas tampungan air per kapita hanya sebesar 30 per meter kubik per jiwa. Tak hanya itu, akibat lambatnya pertumbuhan cakupan pelayanan air minum perpipaan, rasio air minum juga turun. Pada tahun 2001 tercatat mencapai 18,25 persen dan terus merosot menjadi 16,18 persen di tahun 2007.
"Artinya tidak ada air yang ditampung, lainnya langsung dibuang ke laut. Masa kalah sama Thailand yang seuprit gitu. Thailand bisa menampung 1200 meter kubik sedangkan Amerika 6000 meter kubik. Kemampuan suplai tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk," kata Dedy.
Sanitasi di Indonesia juga buruk. Sekitar 23,7 juta jiwa penduduk tercatat tanpa akses terhadap sanitasi dasar. Jumlah ini terbilang tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga. Di Filipina, misalnya, hanya tercatat 4,1 juta jiwa penduduk, Vietnam mencapai 4 juta jiwa, Myanmar mencapai 2,6 juta jiwa, dan Kamboja sebesar 1,3 juta jiwa.
Kemudian, sekitar 75 persen air sungai di Indonesia juga tercemar, 70 persen air tanah tercemar, dan 150 ribu orang menggal per tahun akibat diare. "Pencemaran ini menaikkan biaya produksi PDAM. Kerugian ekonomi yang terkait sanitasi buruk diperkirakan mencapai 6,3 miliar dollar AS per tahun atau sebesar 2,3 persen dari GDP," tegas Dedy.
Hal ini disampaikan Deputi Bidang Sarana dan Prasarana Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN) Dedy Supriadi Priatna dalam Forum Bisnis Konstruksi Indonesia Tahun 2009 di Hotel Borobudur, Jakarta, Kamis (17/12/2009).
Menurut Dedy, jumlah tersebut terus bertambah setiap tahunnya seiring dengan pertumbuhan penduduk atau rumah tangga baru. "Di daerah perkotaan lebih banyak rumah tangga yang tidak memiliki rumah atau sekitar 8,7 juta dan di pedesaan sekitar 3,8 juta," jelas Dedy.
Hal ini, tambah Dedy, menunjukkan minimnya infrastruktur di Indonesia karena tidak adanya perbaikan dan pembangunan bidang infrastruktur pasca krisis 1997-1998 (akumulasi backlog).
Di samping itu, kapasitas tampungan air per kapita hanya sebesar 30 per meter kubik per jiwa. Tak hanya itu, akibat lambatnya pertumbuhan cakupan pelayanan air minum perpipaan, rasio air minum juga turun. Pada tahun 2001 tercatat mencapai 18,25 persen dan terus merosot menjadi 16,18 persen di tahun 2007.
"Artinya tidak ada air yang ditampung, lainnya langsung dibuang ke laut. Masa kalah sama Thailand yang seuprit gitu. Thailand bisa menampung 1200 meter kubik sedangkan Amerika 6000 meter kubik. Kemampuan suplai tidak seimbang dengan pertumbuhan penduduk," kata Dedy.
Sanitasi di Indonesia juga buruk. Sekitar 23,7 juta jiwa penduduk tercatat tanpa akses terhadap sanitasi dasar. Jumlah ini terbilang tinggi bila dibandingkan dengan negara tetangga. Di Filipina, misalnya, hanya tercatat 4,1 juta jiwa penduduk, Vietnam mencapai 4 juta jiwa, Myanmar mencapai 2,6 juta jiwa, dan Kamboja sebesar 1,3 juta jiwa.
Kemudian, sekitar 75 persen air sungai di Indonesia juga tercemar, 70 persen air tanah tercemar, dan 150 ribu orang menggal per tahun akibat diare. "Pencemaran ini menaikkan biaya produksi PDAM. Kerugian ekonomi yang terkait sanitasi buruk diperkirakan mencapai 6,3 miliar dollar AS per tahun atau sebesar 2,3 persen dari GDP," tegas Dedy.
No comments:
Post a Comment