oleh Pdt. Dr. Paul Gunadi (dari milist)
Tuhan meminta kita untuk menikah dengan yang seiman. Namun untuk mendapatkan pasangan hidup yang sepadan diperlukan hikmat untuk menimbang dan memutuskan dengan tepat.
Emosi cinta adalah emosi yang kuat dan kerap mewarnai proses pertimbangan. Itu sebabnya ada pepatah yang berkata bahwa cinta itu buta, dalam pengertian oleh karena cinta akhirnya kita membutakan mata terhadap hal-hal yang buruk yang seharusnya diperhitungkan.
Berikut akan dipaparkan beberapa tipe pasangan yang mesti dihindari sampai mereka mengalami pemulihan.
I) Pasangan yang Suka Berbohong
Jika pada masa sebelum menikah ia telah kerap berbohong, besar kemungkinan ia akan melanjutkan kebiasaannya sampai pernikahan.
Ada orang yang berbohong karena takut; ada pula yang berbohong karena ingin memberi kesan yang lain tentang dirinya; namun ada pula yang berbohong karena ingin menutupi perbuatannya.
Apa pun alasannya kita mesti berhati-hati dengan orang yang dengan mudah berbohong. Setidaknya ada empat alasan mengapa kita mesti berhati-hati agar jangan sampai berpasangan dengan tipe pembohong.
1. Orang yang mudah berbohong cenderung mengambil jalan pintas yang mudah sebab kebohongan merupakan caranya untuk menghindar dari kesulitan.
2. Orang yang berbohong acap tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya; itu sebabnya berpasangan dengan tipe ini akan menyulitkan kita. Hidup menuntut tanggung jawab dan orang yang mengelak tanggung jawab adalah orang yang tidak dewasa. Besar kemungkinan ia menyalahkan orang lain agar dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab.
3. Orang yang berbohong pada akhirnya kehilangan hati nurani dan sekali nurani hilang, apa pun akan dihalalkannya. Banyak orang yang berbohong melakukannya karena ingin berbuat dosa. Dengan berbohong, ia akan dapat menutupi dosa sehingga bisa terus melakukannya tanpa terhalangi.
4. Orang yang berbohong tidak dapat dipercaya lagi dan tanpa kepercayaan, pernikahan ambruk. Kita akan selalu bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya ia lakukan atau tidak lakukan; apa pun yang dikatakan atau dilakukannya membuat kita meragukan ketulusannya.
Firman Tuhan :
"Mulut orang benar mengeluarkan hikmat tetapi lidah bercabang akan dikerat. Bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan, tetapi mulut orang fasik hanya tahu tipu muslihat." (Amsal 10:31-32)
II) Pasangan yang Pemarah dan Suka Memukul
Kebanyakan kasus pemukulan pasangan sesungguhnya berawal pada masa berpacaran namun kebanyakan kita mendiamkannya.
Sayangnya sekali terjadi pemukulan, maka lebih besar kemungkinan terjadinya pengulangan. Ada beberapa alasan yang umum dikemukakan yang membuat perilaku ini terus berlanjut.
1. Biasanya kita berdalih bahwa semua orang berdosa dan tidak ada yang sempurna, jadi, tidak beralasan bagi kita untuk memutuskan hubungan dengan orang tipe pemarah dan pemukul.
2. Kebanyakan pemukul menyesali perbuatannya dan meminta maaf.
Melihat ketulusannya menyesali tindak kasarnya, hati kita pun luluh dan menerimanya kembali. Kita berkata, bukankah Tuhan pun meminta kita untuk memaafkan orang yang telah bersalah kepada kita.
3. Pada umumnya kita berharap dan terus berharap bahwa dengan berjalannya waktu maka ia akan sadar dan tidak melakukannya lagi. Sayangnya harapan ini tidak terbukti; lebih banyak pemukul yang melanjutkan kebiasaan buruknya sampai setelah menikah. Sekali pola pemukulan terpancang, sukar sekali baginya untuk mencabutnya, apalagi mengingat bahwa kebanyakan pemukul mempunyai daya tampung stres yang tipis.
4. Pada akhirnya pemukulan menjadi alat untuk menguasai kita, dan bukan saja untuk membungkamkan kita. Hidup dengan pemukul begitu mencekam dan membuat kita ketakutan terus menerus. Anak-anak pun harus hidup dalam ketegangan akibat kekerasan yang dilihat dan dialaminya di rumah.
Firman Tuhan
"Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan tetapi orang bebal melampiaskan nafsunya dan merasa aman. Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar." (Amsal 14:16-17)
Kesimpulan :
Pernikahan dengan seorang pembohong dan pemukul adalah pernikahan yang berisiko tinggi dan berdaya merusak. Hindarilah, doronglah dia untuk menerima pertolongan dan pantaulah pemulihannya lewat rentang waktu yang panjang. Jangan cepat jatuh kasihan sebab pernikahan
bukanlah sebuah rumah sakit untuk merawat orang yang bermasalah. Sudah semestinyalah kita membereskan masalah sebelum menikah agar tidak menimpakannya pada pasangan.
III) Pasangan yang Beremosi Labil
Beremosi labil lebih dari sekadar ciri kepribadian sanguin dan melankolik; sesungguhnya kebanyakan kasus emosi labil merupakan buah dari akar kepahitan dan penderitaan di masa lalu.
Sesungguhnya kita semua lahir membawa sebuah tabung emosi yang kosong; di dalam keluarga yang sehat tabung ini akan terisi kasih sayang dan pengarahan dari orangtua.
Sekali tabung ini terisi penuh, maka pengalaman seburuk apa pun tidak akan dapat dengan mudah memecahkan isi yang padat dan penuh itu.
Jika kita tidak menerima isian yang positif melainkan negatif, tidak bisa tidak, tabung emosi kita akan terisi kepahitan dan derita. Sekali tabung terisi padat dengan kepahitan dan derita, akan sukar sekali bagi pengalaman positif untuk datang masuk dan menggantikan kepahitan.
Itu sebabnya pada akhirnya orang ini akan terus bereaksi dengan pahit dan negatif. Semua ditafsir dari kacamata buruk dan sebagai akibatnya, emosinya menjadi labil dan negatif.
Menikah dengan orang tipe ini sudah tentu akan sukar dan berikut akan dipaparkan kesukarannya.
1. Emosinya mudah terpancing: kadang naik dalam kemarahan, kadang anjlok dalam kesedihan. Pada akhirnya kita menjadi frustrasi karena tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Kita diam salah, bersuara pun salah.
2. Kita menjauh sedikit disangka ingin meninggalkannya dan sebagai akibatnya, ia akan makin mencengkeram dan membatasi ruang gerak kita.
3. Kita mengembangkan hobi atau pergaulan dituduh tidak lagi memberinya perhatian atau tidak lagi mencintainya.
4. Sudah tentu semua ini akan berdampak pada anak sehingga anak pun tertekan. Belum lagi bila terjadi pertengkaran di antara kita sebab kita tidak selalu kuat menahan diri. Akhirnya rumah sarat ketegangan dan ketidakpastian-sesuatu yang buruk bagi pertumbuhan anak.
Firman Tuhan
"Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota . Lebih baik sekerat roti yang kering disertai ketenteraman daripada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan." (Amsal 16:32; 17:1).
Orang yang beremosi labil adalah orang yang tidak dapat menguasai dirinya; hidup dengannya tidak pernah sepi perbantahan. Pada akhirnya relasi nikah retak sebab kita tidak nyaman berdekatan dengannya.
IV) Pasangan yang Hanya Mementingkan Diri Sendiri.
Pernikahan adalah tempat di mana diri harus ditanggalkan. Orang yang mementingkan dirinya adalah orang yang tidak memahami kasih dan tidak dapat mengasihi.
Berapa besarnya kasih ditentukan oleh berapa besarnya kepedulian kita pada perasaan orang yang dikasihi dan berapa relanya kita menyesuaikan diri dengannnya.
Jadi, orang yang hanya mementingkan dirinya sesungguhnya belumlah mengenal kasih dan belum dapat mengasihi dengan benar. Berikut akan dipaparkan masalah yang rawan timbul.
1. Orang yang mementingkan dirinya hanya dapat melihat segalanya dari sudut pandangnya. Ia kaku dalam bersikap dan menuntut kita untuk memahami dan melaksanakan kehendaknya.
2. Orang yang mementingkan dirinya sukar menjalin keintiman sebab keintiman dibangun di atas penyerahan dan pengorbanan diri: ia tidak berserah dan ia tidak berkorban. Pada akhirnya kitalah yang dituntut untuk terus berserah dan berkorban baginya.
3. Orang yang mementingkan dirinya biasanya membawa segudang masalah lainnya sebab sifat ini merupakan masalah yang berasal dari keluarga asalnya.
Misalnya bila ia adalah anak favorit sehingga selalu didahulukan, itu sebabnya ia menuntut kita untuk juga mendahulukan keinginannya. Ini berarti tingkat kedewasaannya rendah dan sudah tentu ini berdampak besar dalam membina rumah tangga.
Atau ia tidak dihargai sehingga bertumbuh besar dengan keinginan untuk dihargai. Itu sebabnya ia berlomba mendapatkan keberhasilan dan hal ini membuatnya berbangga hati. Alhasil dalam kebanggaan yang keluar dari kehausan ini terbentuk keegoisan yang tidak pernah dapat terpuaskan.
4. Pada akhirnya hidup dengan tipe ini sama dengan menghamba. Kita tidak dapat menjadi diri sendiri dan tidak dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan. Hidup berputar di sekelilingnya saja dan kita harus mengikutinya. Singkat kata, keberadaan kita hanyalah untuk mendukung dan menolongnya mengembangkan dirinya belaka.
Firman Tuhan :
"Kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (Amsal 16:18)
Orang yang mementingkan dirinya sesungguhnya adalah orang yang congkak; ia menganggap diri dan kepentingannya berada di atas orang lain.
Tuhan meminta kita untuk menikah dengan yang seiman. Namun untuk mendapatkan pasangan hidup yang sepadan diperlukan hikmat untuk menimbang dan memutuskan dengan tepat.
Emosi cinta adalah emosi yang kuat dan kerap mewarnai proses pertimbangan. Itu sebabnya ada pepatah yang berkata bahwa cinta itu buta, dalam pengertian oleh karena cinta akhirnya kita membutakan mata terhadap hal-hal yang buruk yang seharusnya diperhitungkan.
Berikut akan dipaparkan beberapa tipe pasangan yang mesti dihindari sampai mereka mengalami pemulihan.
I) Pasangan yang Suka Berbohong
Jika pada masa sebelum menikah ia telah kerap berbohong, besar kemungkinan ia akan melanjutkan kebiasaannya sampai pernikahan.
Ada orang yang berbohong karena takut; ada pula yang berbohong karena ingin memberi kesan yang lain tentang dirinya; namun ada pula yang berbohong karena ingin menutupi perbuatannya.
Apa pun alasannya kita mesti berhati-hati dengan orang yang dengan mudah berbohong. Setidaknya ada empat alasan mengapa kita mesti berhati-hati agar jangan sampai berpasangan dengan tipe pembohong.
1. Orang yang mudah berbohong cenderung mengambil jalan pintas yang mudah sebab kebohongan merupakan caranya untuk menghindar dari kesulitan.
2. Orang yang berbohong acap tidak mau mempertanggungjawabkan perbuatannya; itu sebabnya berpasangan dengan tipe ini akan menyulitkan kita. Hidup menuntut tanggung jawab dan orang yang mengelak tanggung jawab adalah orang yang tidak dewasa. Besar kemungkinan ia menyalahkan orang lain agar dapat membebaskan dirinya dari tanggung jawab.
3. Orang yang berbohong pada akhirnya kehilangan hati nurani dan sekali nurani hilang, apa pun akan dihalalkannya. Banyak orang yang berbohong melakukannya karena ingin berbuat dosa. Dengan berbohong, ia akan dapat menutupi dosa sehingga bisa terus melakukannya tanpa terhalangi.
4. Orang yang berbohong tidak dapat dipercaya lagi dan tanpa kepercayaan, pernikahan ambruk. Kita akan selalu bertanya-tanya akan apa yang sebenarnya ia lakukan atau tidak lakukan; apa pun yang dikatakan atau dilakukannya membuat kita meragukan ketulusannya.
Firman Tuhan :
"Mulut orang benar mengeluarkan hikmat tetapi lidah bercabang akan dikerat. Bibir orang benar tahu akan hal yang menyenangkan, tetapi mulut orang fasik hanya tahu tipu muslihat." (Amsal 10:31-32)
II) Pasangan yang Pemarah dan Suka Memukul
Kebanyakan kasus pemukulan pasangan sesungguhnya berawal pada masa berpacaran namun kebanyakan kita mendiamkannya.
Sayangnya sekali terjadi pemukulan, maka lebih besar kemungkinan terjadinya pengulangan. Ada beberapa alasan yang umum dikemukakan yang membuat perilaku ini terus berlanjut.
1. Biasanya kita berdalih bahwa semua orang berdosa dan tidak ada yang sempurna, jadi, tidak beralasan bagi kita untuk memutuskan hubungan dengan orang tipe pemarah dan pemukul.
2. Kebanyakan pemukul menyesali perbuatannya dan meminta maaf.
Melihat ketulusannya menyesali tindak kasarnya, hati kita pun luluh dan menerimanya kembali. Kita berkata, bukankah Tuhan pun meminta kita untuk memaafkan orang yang telah bersalah kepada kita.
3. Pada umumnya kita berharap dan terus berharap bahwa dengan berjalannya waktu maka ia akan sadar dan tidak melakukannya lagi. Sayangnya harapan ini tidak terbukti; lebih banyak pemukul yang melanjutkan kebiasaan buruknya sampai setelah menikah. Sekali pola pemukulan terpancang, sukar sekali baginya untuk mencabutnya, apalagi mengingat bahwa kebanyakan pemukul mempunyai daya tampung stres yang tipis.
4. Pada akhirnya pemukulan menjadi alat untuk menguasai kita, dan bukan saja untuk membungkamkan kita. Hidup dengan pemukul begitu mencekam dan membuat kita ketakutan terus menerus. Anak-anak pun harus hidup dalam ketegangan akibat kekerasan yang dilihat dan dialaminya di rumah.
Firman Tuhan
"Orang bijak berhati-hati dan menjauhi kejahatan tetapi orang bebal melampiaskan nafsunya dan merasa aman. Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar." (Amsal 14:16-17)
Kesimpulan :
Pernikahan dengan seorang pembohong dan pemukul adalah pernikahan yang berisiko tinggi dan berdaya merusak. Hindarilah, doronglah dia untuk menerima pertolongan dan pantaulah pemulihannya lewat rentang waktu yang panjang. Jangan cepat jatuh kasihan sebab pernikahan
bukanlah sebuah rumah sakit untuk merawat orang yang bermasalah. Sudah semestinyalah kita membereskan masalah sebelum menikah agar tidak menimpakannya pada pasangan.
III) Pasangan yang Beremosi Labil
Beremosi labil lebih dari sekadar ciri kepribadian sanguin dan melankolik; sesungguhnya kebanyakan kasus emosi labil merupakan buah dari akar kepahitan dan penderitaan di masa lalu.
Sesungguhnya kita semua lahir membawa sebuah tabung emosi yang kosong; di dalam keluarga yang sehat tabung ini akan terisi kasih sayang dan pengarahan dari orangtua.
Sekali tabung ini terisi penuh, maka pengalaman seburuk apa pun tidak akan dapat dengan mudah memecahkan isi yang padat dan penuh itu.
Jika kita tidak menerima isian yang positif melainkan negatif, tidak bisa tidak, tabung emosi kita akan terisi kepahitan dan derita. Sekali tabung terisi padat dengan kepahitan dan derita, akan sukar sekali bagi pengalaman positif untuk datang masuk dan menggantikan kepahitan.
Itu sebabnya pada akhirnya orang ini akan terus bereaksi dengan pahit dan negatif. Semua ditafsir dari kacamata buruk dan sebagai akibatnya, emosinya menjadi labil dan negatif.
Menikah dengan orang tipe ini sudah tentu akan sukar dan berikut akan dipaparkan kesukarannya.
1. Emosinya mudah terpancing: kadang naik dalam kemarahan, kadang anjlok dalam kesedihan. Pada akhirnya kita menjadi frustrasi karena tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Kita diam salah, bersuara pun salah.
2. Kita menjauh sedikit disangka ingin meninggalkannya dan sebagai akibatnya, ia akan makin mencengkeram dan membatasi ruang gerak kita.
3. Kita mengembangkan hobi atau pergaulan dituduh tidak lagi memberinya perhatian atau tidak lagi mencintainya.
4. Sudah tentu semua ini akan berdampak pada anak sehingga anak pun tertekan. Belum lagi bila terjadi pertengkaran di antara kita sebab kita tidak selalu kuat menahan diri. Akhirnya rumah sarat ketegangan dan ketidakpastian-sesuatu yang buruk bagi pertumbuhan anak.
Firman Tuhan
"Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya melebihi orang yang merebut kota . Lebih baik sekerat roti yang kering disertai ketenteraman daripada makanan daging serumah disertai dengan perbantahan." (Amsal 16:32; 17:1).
Orang yang beremosi labil adalah orang yang tidak dapat menguasai dirinya; hidup dengannya tidak pernah sepi perbantahan. Pada akhirnya relasi nikah retak sebab kita tidak nyaman berdekatan dengannya.
IV) Pasangan yang Hanya Mementingkan Diri Sendiri.
Pernikahan adalah tempat di mana diri harus ditanggalkan. Orang yang mementingkan dirinya adalah orang yang tidak memahami kasih dan tidak dapat mengasihi.
Berapa besarnya kasih ditentukan oleh berapa besarnya kepedulian kita pada perasaan orang yang dikasihi dan berapa relanya kita menyesuaikan diri dengannnya.
Jadi, orang yang hanya mementingkan dirinya sesungguhnya belumlah mengenal kasih dan belum dapat mengasihi dengan benar. Berikut akan dipaparkan masalah yang rawan timbul.
1. Orang yang mementingkan dirinya hanya dapat melihat segalanya dari sudut pandangnya. Ia kaku dalam bersikap dan menuntut kita untuk memahami dan melaksanakan kehendaknya.
2. Orang yang mementingkan dirinya sukar menjalin keintiman sebab keintiman dibangun di atas penyerahan dan pengorbanan diri: ia tidak berserah dan ia tidak berkorban. Pada akhirnya kitalah yang dituntut untuk terus berserah dan berkorban baginya.
3. Orang yang mementingkan dirinya biasanya membawa segudang masalah lainnya sebab sifat ini merupakan masalah yang berasal dari keluarga asalnya.
Misalnya bila ia adalah anak favorit sehingga selalu didahulukan, itu sebabnya ia menuntut kita untuk juga mendahulukan keinginannya. Ini berarti tingkat kedewasaannya rendah dan sudah tentu ini berdampak besar dalam membina rumah tangga.
Atau ia tidak dihargai sehingga bertumbuh besar dengan keinginan untuk dihargai. Itu sebabnya ia berlomba mendapatkan keberhasilan dan hal ini membuatnya berbangga hati. Alhasil dalam kebanggaan yang keluar dari kehausan ini terbentuk keegoisan yang tidak pernah dapat terpuaskan.
4. Pada akhirnya hidup dengan tipe ini sama dengan menghamba. Kita tidak dapat menjadi diri sendiri dan tidak dapat melakukan apa yang ingin kita lakukan. Hidup berputar di sekelilingnya saja dan kita harus mengikutinya. Singkat kata, keberadaan kita hanyalah untuk mendukung dan menolongnya mengembangkan dirinya belaka.
Firman Tuhan :
"Kecongkakan mendahului kehancuran dan tinggi hati mendahului kejatuhan." (Amsal 16:18)
Orang yang mementingkan dirinya sesungguhnya adalah orang yang congkak; ia menganggap diri dan kepentingannya berada di atas orang lain.
No comments:
Post a Comment