Wednesday, October 18, 2006

Kesaksian Eksekusi TIBO CS

Ditembus Peluru, Dominggus Teriak ''Ya Bapaku, Ampunilah Mereka'' Sungguh mengenaskan sekaligus mengharukan! Detik-detik akhir Tibo cs menjemput ajal di ujung bedil eksekusi mati pada Jumat (22/9) pukul 01:35 wita lalu, ternyata menyimpan kisah mengharukan. Uskup Manado Mgr Yoseph Suwatan MSC kepada koran ini tadi malam menuturkan sejumlah kisah terakhir ketiga terpidana mati itu,masing-masing Fabianus Tibo, Marinus Riwu dan Dominggus da Silva.

"Saya mau kisahkan ini dengan tujuan agar masyarakat mengetahui persis bahwa mereka bertiga sudah sangat siap batin," tutur Suwatan yang juga pemimpin umat Katolik hingga ke wilayah Sulteng dan Gorontalo itu. "Yang tak kalah penting," lanjut Suwatan yang jelang eksekusi intens mendampingi Tibo cs itu, "Saya mau meluruskan banyaknya isu yang menyebutkan kalau Om Tibo dan teman-temannya itu dianiaya atau malah mati lebih dulu sebelum dieksekusi. Itu isu tidak benar," tegasnya. Sebab, berdasarkan laporan resmi yang diterima pihaknya, ketiganya sebelum diekskusi diperlakukan baik hingga ditembak mati.

"Meski yang kami sesalkan adalah prosedur pemakaman Dominggus serta jelang eksekusi jenazah mereka tak diijinkan dimisakan sesuai tradisi gereja," tutur Uskup.

Menyinggung kisah terkait detik-detik akhir ketiganya, Suwatan dengan nada bergetar menyatakan kalau, baik Tibo, Marinus dan Dominggus, punya cerita menyentuh. Tibo misalnya. Ketika mengikuti Misa khusus yang digelar di Lapas Palu pada pukul 11:00 wita, sekalian menanti eksekusi malam, berulangkali memeluk istri dan anak-anaknya. Dengan nada bijak dan tanpa tekanan, kisah Suwatan, Tibo berpesan panjang lebar, "Jangan ada dendam setelah eksekusi papa. Biarkan papa pergi dengan tenang dan damai. Papa sudah sangat siap.Sudah begini jalan hidup papa. Mari diimani saja," tutur Suwatan mengutip kisah ketiganya.

Perayaan Misa khusus dipenjara dipimpin langsung tiga pastor dari Manado yang bertugas di Palu. Yakni, Pastor Melky Toreh MSC dan Pastor Jemmy Tumbelaka MSC. Usai misa dan ditinggal keluarga, ketiga terpidana mati, memilih berada di ruangan mereka. Ketiganya secara khusuk memilih berdoa dan terus berdoa serta bernyanyi. Ini dilakukan hingga menjelang sore. Yang menyedihkan, kisah Suwatan, menjelang persiapan eksekusi sore, suasana Lembaga Pemasyarakatan diwarnai isak tangis dari para petugas Lapas. "Semua minta maaf kepada Om Tibo, Dominggus dan Marinus," kisahnya. Saat itu, ketiganya menolak tawaran makan malam. "Kecuali minta dibuatkan gorengan buah sukun campur gula aren."
Setelah itu? Ketiganya kian khusuk berdoa hingga kemudian dijemput petugas. "Saat itu, Marinus mendadak minta sisir dan parfum."
Ketika ditanya kenapa harus berpakaian rapi. Marinus dengan tenang menjawab.
"Ya, saya ini orang Katolik. Saya harus rapi dan harum karena sedikit lagi mau menghadap Tuhan saya."

Sedangkan Dominggus, sebelum naik ke kendaraan yang akan membawa mereka dieksekusi, mendadak turun dari mobil dan menemui salah seorang pegawai Lapas yang ternyata berteman baik dengannya. "Heh, kau lihat baik-baik ya kau punya anak. Kau harus rawat dia," kisah Suwatan. Dominggus ternyata selama bertahun-tahun tinggal di Lapas dekat dengan anak-anak para pegawai Lapas.

TERIAK AMPUNI
Sementara, sumber lain koran ini di Polda Sulteng di Palu menyebutkan, jelang dieksekusi, ketiga terpidana tidak langsung menempati posisi penembakan. Sebaliknya, mereka ditanya apakah akan ditembak dengan berdiri atau duduk.

"Mereka serempak menjawab memilih ditembak saat duduk saja," tutur sumber. Uskup Suwatan membenarkan keterangan sumber ini. "Memang benar saat sebelum ditembak, mereka memilih duduk saat ditanya petugas," kata Uskup. Lalu, saat mata ketiganya akan ditutup, mendadak Marinus menolak, "Saya ingin mata tetap terbuka. Ijinkan saya menyaksikan langsung." Permintaan Marinus dikabulkan.

Sedangkan Tibo dan Dominggus tetap ditutup matanya. Tepat pukul 01:50 wita, bunyi bedil dari tim eksekutor terdengar. Hanya dalam hitungan detik, begitu prosesi maut selesai, tiga anggota tim dokter yang sudah berada di lokasi, salah satunya adalah dokter asal Langowan, Minahasa yang bertugas di Palu, langsung diminta untuk memeriksa mereka.

"Menurut dokter perempuan itu yang asal Langowan kepada saya, eksekusi ketiganya memang sesuai. Ketiganya langsung diproses dan otopsi," tambah Uskup. Sementara, sumber lain di lokasi kejadian mengisahkan bahwa saat peluru maut itu menancap di tubuh ketiganya, tubuh ketiganya tersentak dan kepala mereka sempat terangkat lalu lunglai, ambruk, tewas. Berbeda dengan Tibo dan Marinus yang tampak tenang dan diam. Tapi, suara yang diperkirakan dari Dominggus sempat berkata setengah berteriak, "Ya Bapa Ampunilah mereka!"

Semburan Lumpur Lapindo akan Habis 31 Tahun Kemudian

Jakarta (ANTARA News) - Semburan lumpur Sidoarjo dengan total volume lumpur secara keseluruhan mencapai 1.155 miliar m3, mungkin baru bisa berakhir 31 tahun kemudian, jika kondisi tekanan, suhu, dan lain-lain sama seperti kondisi saat ini.

"Dari analisis data seismik, jika debit semburan sebesar 100 ribu m3 per hari konstan dan kondisi lainnya sama, sementara total volume lumpur yang ada di bawah Sidoarjo mencapai 1.155 miliar m3, maka lumpur di dalamnya baru habis 31 tahun kemudian," kata Direktur Pusat Pengkajian dan Penerapan Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT, Yusuf Surachman pada jumpa pers Solusi Permasalahan dan Penanganan Semburan Lumpur Sidoarjo, di Jakarta, Rabu.

Berhentinya semburan lumpur tersebut, ujarnya, bisa lebih cepat atau lambat, tergantung tercapainya keseimbangan tekanan hidrostatiknya yang secara alami menyesuaikan diri antara kondisi lumpur di bawah bumi dan yang sudah dikeluarkan.

Karena semburan itu merupakan bagian dari proses pembentukan "mud volcano" atau gunung api lumpur, ujarnya, maka selain berdampak berupa luapan lumpur yang berlangsung lama juga mengakibatkan terjadinya penurunan muka tanah (subsidence) di sekitar pusat semburan yang terus-menerus.

Lumpur tersebut, urainya, merupakan campuran fluida dan padatan dalam bentuk air asin (88.200 m3 per hari) dan sedimen laut (37.800 m3 per hari) berupa lumpur, pasir, gas, serta uap dengan suhu 100 derajat Celcius di permukaan.

Sementara itu Kepala BPPT, Said Djauharsjah Djenie mengatakan, lumpur panas Sidoarjo diperkirakan berasal dari batuan gunung api dengan temperatur dan tekanan tinggi berusia tak lebih tua dari 4,9 juta tahun yang mengendap pada lingkungan laut.

"Karena itu solusinya dengan cara mengembalikan lumpur yang berasal dari lingkungan laut yang terjadi 4,9 juta tahun yang lalu itu ke lingkungan laut masa kini, ini merupakan pengembalian lumpur ke habitatnya," katanya.

Metode pengembalian semburan lumpur ke lingkungan laut itu, lanjut dia, dengan mengalirkan lumpur ke perairan dangkal pesisir delta Porong sehingga terbentuk dataran lumpur bagi mangrove belt dan kawasan tambak.

Caranya, tambah dia, bisa disalurkan melalui talang lumpur yang ditempatkan di atas tanggul sungai Porong ke muara suangai Porong jika debit air kurang dari 100 m3 per detik seperti pada musim panas Mei-Oktober.

"Tetapi untuk musim hujan November hingga April ketika debit air lebih dari 100 m3 per detik, lumpur bisa dialirkan ke banjiran sungai Porong secara langsung," katanya.

Di muara sungai Porong diusulkan dibangun slufter tertutup, kolam bertanggul untuk menampung lumpur yang dialirkan melalui talang lumpur dan slufter terbuka, sebagai perangkap lumpur yang dialirkan langsung ke sungai Porong.

"Cara ini sudah digunakan di Rotterdam, Belanda yang limbahnya lebih banyak lagi," katanya.(*)

Copyright © 2006 ANTARA