Berikut adalah pidato Presiden Obama yang disalin dari situs resmi gedung putih, whitehouse.gov:
Terima kasih. Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih kepada semuanya. Selamat pagi. (saat mengucapkan kata-kata ini dalam bahasa Indonesia, Obama disambut tepuk tangan meriah).   Merupakan hal ini yang indah dan menyenangkan berada di sini, di   Universitas Indonesia. Kepada pihak fakultas, staf, dan mahasiswa, dan   untuk Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, terima kasih banyak atas keramahan   Anda. (lagi-lagi peserta kuliah umum bertepuk tangan)
Assalamu Alaikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang   indah ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih   kepada masyarakat Indonesia.
Pulang kampung nih. (Diucapkan dalam Bahasa Indonesia, tepuk tangan bergemuruh lagi)   Saya sangat senang karena saya berhasil kembali ke Indonesia dan   Michelle bisa datang bersama saya. Kami sempat beberapa kali membatalkan   kunjungan sejak awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi   negara yang sangat berarti bagi saya. Dan sayangnya, kunjungan ini   terlalu singkat, tapi saya berharap bisa datang kembali tahun depan   ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (Tepuk tangan)
Sebelum melanjutkan pidato ini, saya ingin mengajak semuanya untuk   mendoakan warga Indonesia yang terkena dampak tsunami baru-baru ini dan   letusan gunung berapi, terutama mereka yang telah kehilangan orang yang   dicintai, dan mereka yang telah kehilangan segalanya. Dan saya ingin   Anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika Serikat akan berdiri   berdampingan berdiri dengan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Dan   kami akan senang hati membantu jika diperlukan. Sebagai tetangga, dan   keluarga, pasti akan saling membantu sesama pengungsi. Saya tahu bahwa   rakyat Indonesia memiliki kekuatan dan ketahanan untuk bisa melewati ini   semua.
Saya akan mulai sambutan ini dengan pernyataan   sederhana: Indonesia bagan dari diri saya. (Tepuk tangan) Saya pertama   kali datang ke negara ini ketika ibu saya menikah dengan seorang   Indonesia bernama Lolo Soetoro. Dan sebagai anak muda, saya datang ke   bagian dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia dengan cepat membuat   saya merasa berada di rumah sendiri.
Jakarta sekarang, tampak   sangat berbeda dengan dulu. Kota ini penuh dengan bangunan tinggi. Pada   tahun 1967, '68, sebagian besar dari Anda belum lahir (Obama  mengucapkan  ini sambil tertawa), Hotel Indonesia adalah salah satu  bangunan tinggi  dan hanya ada satu department store besar bernama  Sarinah. Itu dia.  (Tepuk tangan) Becak dan bemo, bisa kita temukan  dengan mudah di sekitar  kita. Tidak ada jalan raya besar seperti yang  Anda miliki saat ini.  Kebanyakan dari mereka jalan di jalan beraspal  dan kampung-kampung.
Jadi kami pindah ke Menteng Dalam, dimana -  (tepuk tangan) - hei,  beberapa orang dari Menteng Dalam yang datang ke  sini? (Tepuk tangan)  Dan kami tinggal di sebuah rumah kecil. Kami  memiliki pohon mangga di  depan rumah. Dan saya belajar untuk mencintai  Indonesia dengan  menerbangkan layang-layang dan berjalan di sepanjang  pematang sawah dan  menangkap capung, membeli sate dan bakso dari  pedagang kaki lima. (Tepuk  tangan) Saya masih ingat teriakan dari  penjualnya. Sate! (Tertawa) Saya  ingat itu. Bakso! (Tertawa) Tapi  sebagian besar dari semua, saya ingat  orang-orang, - orang tua dan  wanita yang menyambut kami dengan senyum,  anak-anak yang membuat anak  asing merasa seperti seorang tetangga dan  seorang teman, dan guru yang  membantu saya belajar tentang negara ini.
Karena Indonesia  terdiri dari ribuan pulau, dan ratusan bahasa, dan  orang-orang dari  sejumlah daerah dan kelompok etnis, hal itu membantu  saya ketika saya  di sini, untuk menghargai hubungan antar manusia dan  kemanusiaan dari  semua orang. Dan ayah tiri saya, seperti sebagian besar  orang  Indonesia, dibesarkan oleh seorang Muslim, ia sangat yakin bahwa  semua  agama layak dihormati. Dan dengan cara ini - (tepuk tangan) -  dengan  cara ini ia mencerminkan semangat toleransi umat beragama yang   diabadikan dalam konstitusi Indonesia, dan tetap menjadi salah satu   karakteristik yang inspiratif. (Tepuk tangan)
Saya tinggal di   sini selama empat tahun - waktu yang cukup membantu membentuk masa kecil   saya. Ada waktu melihat kelahiran adik saya yang luar biasa, Maya, ada   waktu yang membuat saya terkesan pada ibu saya karena dia terus  kembali  ke Indonesia selama 20 tahun berikutnya untuk hidup dan bekerja  dan  melakukan perjalanan - demi kecintaannya dengan berkesempatan   mempromosikan berbagai hal di desa-desa di Indonesia, terutama   kesempatan bagi perempuan dan anak-anak. Dan saya sangat tersanjung -   (tepuk tangan) - Saya sangat tersanjung ketika Presiden Yudhoyono tadi   malam saat makan malam, negara memberikan penghargaan atas nama ibuku,   mengakui pekerjaan yang dia lakukan. Dan dia akan sangat bangga, karena   ibu saya berpegang pada Indonesia dan sangat dekat dengan   orang-orangnya, seumur hidupnya. (Tepuk tangan)
Begitu banyak   yang berubah dalam empat dasawarsa sejak saya naik pesawat untuk pindah   kembali ke Hawaii. Jika Anda meminta saya - atau dari sekolahku saya   yang mengenal saya saat itu - Saya tidak berpikir bahwa suatu hari nanti   saya akan kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika Serikat. (Tepuk   tangan) Dan bisa berbagi kisah yang luar biasa dari Indonesia selama   empat dekade terakhir.
Jakarta, seperti yang pernah saya kenal,   telah tumbuh menjadi sebuah kota yang dipenuhi hampir 10 juta orang,   dengan gedung pencakar langit seperti Hotel Indonesia, dan berkembang   menjadi pusat budaya dan perdagangan. Sementara teman Indonesia saya,   dan saya yang dulu berlari-lari dengan kerbau dan kambing - (tertawa) -   generasi baru Indonesia termasuk yang paling aktif online di dunia -   terhubung melalui telepon seluler dan jaringan sosial. Dan sementara   Indonesia sebagai bangsa muda terfokus ke dalam, Indonesia yang   berkembang saat ini memainkan peran kunci di Asia Pasifik dan di ekonomi   global. (Tepuk tangan)
Sekarang, perubahan ini juga meluas ke   politik. Ketika ayah tiri saya masih kecil, ia melihat ayahnya sendiri   dan kakak meninggalkan rumah untuk berjuang dan mati dalam perjuangan   kemerdekaan Indonesia. Dan aku senang berada di sini pada Hari Pahlawan   untuk menghormati sejarah Indonesia yang telah begitu banyak berkorban   untuk nama negara besar ini. (Tepuk tangan)
Ketika saya  pindah  ke Jakarta, tahun 1967, itu adalah masa-masa terjadinya  penderitaan dan  konflik besar di berbagai bagian negara ini. Dan  meskipun ayah tiriku  pernah bertugas di Angkatan Darat, kekerasan dan  pembunuhan selama  pergolakan politik di masa itu, sebagian besar tidak  saya ketahui karena  itu tak terucapkan oleh keluarga dan teman-teman  Indonesia saya. Dalam  rumah tangga saya, seperti begitu banyak orang  lain di seluruh  Indonesia, kenangan itu tak terlihat. Indonesia  memiliki kemerdekaannya,  tetapi seringkali mereka takut untuk berbicara  dan mengeluarkan pikiran  mereka tentang berbagai isu-isu.
Pada tahun-tahun sejak waktu  itu, Indonesia kini bisa melakukan  transformasi demokratis yang luar  biasa - dari aturan tangan besi  menjadi rakyat yang berdaulat. Dalam  beberapa tahun terakhir, dunia  telah menyaksikan dengan harapan dan  kekaguman bahwa orang Indonesia  berjalan dalam damai saat terjadi  pengalihan kekuasaan dan pemilihan  langsung pemimpin-pemimpin. Dan  sebagaimana halnya sebuah demokrasi,  Anda memilih presiden dan  legislatif, demokrasi Anda ditopang oleh  sebuah masyarakat sipil yang  dinamis, partai politik, media massa, dan  warga, bergerak bersama dan  memastikan bahwa - di Indonesia - tidak  akan ada berbalik dari  demokrasi.
Bahkan di tanah muda saya  ini, saya belajar untuk  mencintai Indonesia - bahwa semangat toleransi  yang ditulis ke dalam  Konstitusi; dilambangkan di masjid-masjid dan  gereja dan kuil-kuil yang  berdiri berampingan satu sama lain; yang  semangatnya terkandung pada  Anda semua. (Tepuk tangan) Bhinneka Tunggal  Ika - kesatuan dalam  keragaman. (Tepuk tangan) Ini adalah dasar dari  contoh Indonesia untuk  dunia, dan ini mengapa Indonesia akan memainkan  peranan penting dalam  abad ke-21.
Jadi hari ini, saya kembali  ke Indonesia sebagai  teman, tetapi juga sebagai seorang Presiden yang  mencari kemitraan yang  dalam dan kekal antara kedua negara kita. (Tepuk  tangan) Karena  negara-negara yang luas dan beragam; sebagai tetangga  di kedua sisi  Pasifik, dan di atas semua sebagai demokrasi - Amerika  Serikat dan  Indonesia terikat bersama oleh kepentingan bersama dan  nilai-nilai  bersama.
Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya  mengumumkan  kemitraan komprehensif baru antara Amerika Serikat dan  Indonesia. Kami  meningkatkan hubungan antar pemerintah kita di berbagai  daerah, dan -  sama pentingnya - kita akan meningkatkan hubungan antara  orang-orang  kami. Ini adalah kemitraan yang setara, didasarkan pada  kepentingan  bersama dan saling menghormati.
Jadi dengan sisa  waktu saya  hari ini, saya ingin berbicara tentang kisah Indonesia di  hari-hari  ketika saya tinggal di sini - sangat penting bagi Amerika  Serikat dan ke  seluruh dunia. Saya akan fokus pada tiga daerah yang  terkait erat, dan  fundamental untuk kemajuan manusia - pembangunan,  demokrasi dan religi.
Pertama, persahabatan antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan kepentingan bersama dalam pembangunan.
Ketika saya pindah ke Indonesia, itu akan sulit membayangkan masa depan   di mana kesejahteraan keluarga di Chicago dan Jakarta akan  dihubungkan.  Tapi ekonomi kita sekarang global, dan Indonesia telah  mengalami  berbagai hal global: dari shock krisis keuangan Asia di 90,  untuk  mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan karena peningkatan   perdagangan. Apa artinya - dan apa yang kita pelajari dalam krisis   ekonomi baru-baru ini - adalah bahwa kita memiliki sumbangsih dalam   keberhasilan masing-masing.
Amerika memiliki kepentingan di   Indonesia tumbuh dan berkembang, dengan kemakmuran yang secara luas   dibagi di antara rakyat Indonesia - karena kelas menengah di Indonesia   meningkat berarti pasar baru untuk barang-barang kami, seperti halnya   Amerika merupakan pasar untuk barang-barang yang berasal dari Indonesia.   Jadi kita berinvestasi lebih di Indonesia, dan ekspor kami telah  tumbuh  hampir 50 persen, dan kami membuka pintu bagi Amerika dan  Indonesia  untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain.
Amerika memiliki  kepentingan di Indonesia yang memainkan peran yang sah  dalam membentuk  ekonomi global. Lewatlah sudah hari-hari ketika tujuh  atau delapan  negara akan datang bersama untuk menentukan arah pasar  global. Itu  sebabnya G20 sekarang menjadi pusat kerjasama ekonomi  internasional,  sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia  memiliki suara lebih  besar dan juga memikul tanggung jawab yang lebih  besar untuk  mengarahkan ekonomi global. Dan melalui kepemimpinannya  kelompok  anti-korupsi G20, Indonesia harus memimpin di panggung dunia  dan dengan  contoh dalam merangkul transparansi dan akuntabilitas.  (Tepuk tangan)
Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang  mengejar pembangunan  berkelanjutan, karena cara kita tumbuh akan  menentukan kualitas hidup  kita dan kesehatan planet kita. Dan itulah  sebabnya kami sedang  mengembangkan teknologi energi bersih yang dapat  kekuatan industri dan  melestarikan sumber daya alam Indonesia yang  berharga - dan Amerika  menyambut kepemimpinan yang kuat di negara Anda  dalam upaya global untuk  memerangi perubahan iklim.
Di atas  segalanya, Amerika memiliki  kepentingan dalam keberhasilan masyarakat  Indonesia. Di bawah berita  utama hari itu, kita harus membangun  jembatan antara orang-orang kami,  karena keamanan masa depan kita dan  kemakmuran bersama. Dan itu persis  apa yang kita lakukan - dengan  meningkatkan kerjasama antar para ilmuwan  dan peneliti, dan dengan  bekerja sama untuk mengembangkan  kewirausahaan. Dan saya sangat senang  bahwa kami telah berkomitmen untuk  meningkatkan dua kali lipat jumlah  mahasiswa Amerika dan mahasiswa  Indonesia belajar di negara  masing-masing. (Tepuk tangan) Kita ingin  mahasiswa lebih banyak bahasa  Indonesia di sekolah-sekolah Amerika, dan  kami ingin lebih banya siswa  Amerika untuk datang belajar di negeri ini.  (Tepuk tangan) Kami ingin  menjalin kerja baru dan pemahaman yang lebih  besar antara kaum muda di  abad muda.
Ini adalah isu-isu yang  benar-benar penting dalam  kehidupan kita sehari-hari. Pengembangan,  setelah semua, bukan hanya  tentang tingkat pertumbuhan dan angka pada  neraca. Ini tentang apakah  seorang anak bisa belajar keterampilan yang  mereka butuhkan untuk  membuatnya hidup dalam dunia yang terus berubah.  Ini tentang apakah ide  yang bagus diperbolehkan untuk tumbuh menjadi  bisnis, dan tidak  dicekik oleh korupsi. Ini tentang apakah  kekuatan-kekuatan yang  mengubah Jakarta, saya pernah tahu - teknologi  dan perdagangan dan  aliran orang dan barang - dapat mengejawantah dalam  kehidupan yang  lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk semua  manusia,  kehidupan yang ditandai oleh martabat dan kesempatan.
Saat ini, pembangunan tidak terlepas dari peran demokrasi.
Saat ini, kita kadang-kadang mendengar bahwa demokrasi berjalan sejajar   dengan kemajuan ekonomi. Ini bukan sebuah argumen baru. Khususnya  dalam  masa perubahan dan ketidakpastian ekonomi, beberapa orang akan  berkata  bahwa lebih mudah untuk mengambil jalan pintas untuk  pembangunan dengan  perdagangan jauh hak manusia untuk kekuasaan negara.  Tapi bukan itu yang  saya lihat di perjalanan saya ke India, dan itu  tidak saya lihat di  sini di Indonesia. prestasi Anda menunjukkan bahwa  demokrasi dan  pembangunan memperkuat satu sama lain.
Amerika  tidak berbeda.  Konstitusi kita sendiri berbicara tentang upaya untuk  menempa sebuah  "persatuan yang sempurna," dan itu adalah perjalanan  yang kami tempuh  selama ini. Kami telah mengalami perang saudara dan  kami berjuang untuk  memperoleh hak yang sama bagi semua warga negara  kita. Tapi justru upaya  yang telah memungkinkan kita untuk menjadi  lebih kuat dan lebih  sejahtera, sementara juga menjadi lebih adil dan  masyarakat yang lebih  bebas.
Seperti negara-negara lain yang  muncul dari penjajahan  pada abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban  untuk menentukan nasib  Anda. Hari Pahlawan adalah semua tentang -  sebuah Indonesia yang  dimiliki rakyat Indonesia. Tapi Anda juga yang  akhirnya memutuskan bahwa  kebebasan tidak berarti mengganti tangan yang  kuat dari penjajah yang  dengan kuat Anda sendiri.
Tentu saja,  demokrasi berantakan.  Tidak semua orang menyukai hasil setiap pemilu.  Namun itu adalah  perjalanan yang berharga. Dibutuhkan lembaga-lembaga  yang kuat untuk  memeriksa kekuatan - konsentrasi kekuasaan. Dibutuhkan  pasar terbuka  untuk memungkinkan individu untuk berkembang. Dibutuhkan  pers bebas dan  sistem peradilan yang independen untuk membasmi  pelanggaran, dan  mendesak akuntabilitas. Dibutuhkan masyarakat yang  terbuka dan warga  yang aktif untuk menolak ketimpangan dan  ketidakadilan.
Ini  adalah kekuatan yang akan memajukan  Indonesia. Dan dibutuhkan penolakan  untuk mentolerir korupsi, sebuah  komitmen terhadap transparansi dalam  pemerintahan, dan keyakinan bahwa  kebebasan orang Indonesia adalah hasil  perjuangan rakyat secara  bersama-sama.
Itu adalah pesan dari  orang Indonesia yang sudah  mahir cerita demokrasi - dari orang-orang  yang berperang dalam  Pertempuran Surabaya 55 tahun yang lalu hari ini,  untuk para mahasiswa  yang berunjuk rasa damai untuk demokrasi pada  1990-an, untuk para  pemimpin yang telah melalui jalan damai dalam masa  transisi kekuasaan  di abad ini. Karena pada akhirnya, itu akan menjadi  hak-hak warga  negara yang akan menjahit bersama Nusantara yang luar  biasa ini, yang  membentang dari Sabang sampai Merauke, sebuah desakan -  (tepuk tangan) -  penekanan bahwa setiap anak yang lahir di negeri ini  harus  diperlakukan sama, apakah mereka datang dari Jawa atau Aceh; dari  Bali  atau Papua. (Tepuk tangan) Semua orang Indonesia mempunyai hak yang   sama.
Upaya tersebut meluas ke contoh bahwa Indonesia sekarang   berperan di luar negeri. Indonesia mengambil inisiatif untuk mendirikan   Forum Demokrasi Bali, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk   berbagi pengalaman dan praktek-praktek terbaik dalam mengembangkan   demokrasi. Indonesia juga berada di garis depan mendorong untuk lebih   memperhatikan hak asasi manusia di ASEAN. Negara-negara Asia Tenggara   harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, dan Amerika   Serikat akan sangat mendukung hak itu. Tetapi orang-orang Asia Tenggara   harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri juga. Dan   itulah mengapa kita mengutuk pemilu di Burma baru-baru ini yang tidak   bebas dan adil. Itulah sebabnya kami mendukung pemberdayaan masyarakat   sipil dalam bekerja dengan mitra di seluruh wilayah ini. Karena tidak   ada alasan untuk berhenti menghormati hak asasi manusia dengan   batasan-batasan negara manapun.
Bergandengan tangan, adalah   jalan membangun demokrasi dan nilai-nilai tertentu yang universal.   Kemakmuran tanpa kebebasan hanya bentuk lain dari kemiskinan. Karena   manusia adalah makhluk sosial - kebebasan Anda mengetahui bahwa pemimpin   bertanggung jawab kepada Anda, dan bahwa Anda tidak akan dipenjara   karena tidak setuju dengan mereka, kesempatan untuk mendapatkan   pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan bermartabat, kebebasan untuk   mempraktekkan iman anda tanpa rasa takut atau dihalang-halangi. Itu   adalah nilai-nilai universal yang harus diperhatikan di mana-mana.
Sekarang, agama adalah topik terakhir yang ingin saya bicarakan hari   ini, dan - seperti demokrasi dan pembangunan - itu adalah hal   fundamental di Indonesia.
Seperti negara-negara Asia lain yang   saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia kental dengan   spiritualitas - tempat di mana orang menyembah Allah dalam berbagai   cara. Seiring dengan ini keragaman yang kaya, juga rumah bagi penduduk   Muslim terbesar di dunia - kebenaran yang saya kenal sebagai seorang   anak ketika aku mendengar panggilan doa (azan) di penjuru Jakarta.
Sama seperti individu yang tidak didefinisikan semata-mata oleh iman   mereka, Indonesia didefinisikan oleh lebih dari populasi Muslim. Tapi   kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat   Muslim telah terbakar selama bertahun-tahun. Sebagai Presiden, saya   telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini. (Tepuk   tangan) Sebagai bagian dari upaya itu, saya pergi ke Kairo Juni lalu,   dan saya menelepon untuk sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan   umat Islam di seluruh dunia - satu yang membuat jalan bagi kita untuk   bergerak melampaui perbedaan-perbedaan kita.
Saya mengatakan   hal itu, dan saya akan mengulangi sekarang, bahwa tidak ada satu pidato   yang bisa membasmi ketidakpercayaan. Tapi saya percaya itu, dan saya   percaya hari ini, bahwa kita memang memiliki pilihan. Kita bisa memilih   untuk didefinisikan oleh perbedaan kami, dan menyerah pada kecurigaan   dan ketidakpercayaan. Atau kita dapat memilih untuk bekerja keras dan   berkomitmen untuk terus mengejar kemajuan. Dan saya bisa menjanjikan   pada Anda - tidak peduli apa kemunduran mungkin datang, Amerika Serikat   berkomitmen untuk kemajuan manusia. Itulah siapa kita. Itulah yang kami   lakukan. Dan itulah yang akan kita lakukan. (Tepuk tangan)
Sekarang, kita tahu juga isu-isu yang telah menimbulkan ketegangan   selama bertahun-tahun - dan ini adalah masalah yang saya bahas di Kairo.   Dalam 17 bulan yang lalu sejak pidato itu, kami telah membuat beberapa   kemajuan, tetapi kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.
Warga sipil di Amerika, di Indonesia dan seluruh dunia masih menjadi   target pelaku kekerasan. Saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak, dan   tidak akan pernah, berperang dengan Islam. Sebaliknya, kita semua  harus  bekerja sama untuk mengalahkan al Qaeda dan afiliasinya, yang  tidak  mengklaim menjadi pemimpin agama apapun --- pasti bukan yang  besar,  agama dunia seperti Islam. Tetapi mereka yang ingin membangun  tidak  boleh menyerahkan tanah untuk teroris yang berusaha untuk  menghancurkan.  Dan ini bukan tugas Amerika saja. Di sini di Indonesia,  anda telah  membuat kemajuan dalam membasmi ekstremis dan memerangi  kekerasan  tersebut.
Di Afghanistan, kami terus bekerja dengan  koalisi  negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan  untuk  mengamankan masa depan dalam membangun perdamaian di negeri yang  dilanda  perang - damai yang tidak memberikan tempat yang aman bagi  ekstremis  kekerasan, dan yang memberi harapan bagi rakyat Afghanistan.
Sementara itu, kami telah membuat kemajuan pada salah satu komitmen   utama kami - upaya kami untuk mengakhiri perang di Irak. Hampir 100.000   pasukan Amerika sekarang meninggalkan Irak, sejak saya menjadi  presiden.  (Tepuk tangan) Irak telah mengambil tanggung jawab penuh atas  keamanan  mereka. Dan kami akan terus mendukung Irak untuk membentuk  pemerintahan  inklusif, dan kami akan membawa pulang semua tentara kami.
Di  Timur Tengah, kita menghadapi pasang surut perdamaian, tapi kami  akan  tetap gigih pengupayakan perdamaian. Israel dan Palestina memulai   kembali pembicaraan tetapi tetap ada hambatan. Seharusnya tidak ada   hayalan bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan mudah. Tapi   bila ada keraguan: Amerika tidak akan mengampuni upaya untuk hasil yang   adil, dan itu adalah demi kepentingan semua pihak yang terlibat - dua   negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan   keamanan. Itu adalah tujuan kami. (Tepuk tangan)
Taruhannya   tinggi dalam menyelesaikan semua masalah ini. Untuk dunia kita telah   tumbuh lebih kecil, dan sedangkan kekuatan yang menghubungkan kita telah   melepaskan kesempatan dan kekayaan besar, mereka juga memberdayakan   orang-orang yang berusaha untuk menggelincirkan kemajuan. Satu bom di   pasar bisa melenyapkan hiruk pikuk perdagangan harian. Satu rumor   berbisik dapat mengaburkan kebenaran dan menimbulkan kekerasan antara   masyarakat yang pernah hidup bersama dalam damai. Di zaman yang serba   cepat dan perubahan budaya bertabrakan, apa yang kita miliki sebagai   umat manusia terkadang bisa hilang.
Tapi saya percaya bahwa   sejarah baik Amerika dan Indonesia harus memberi kita harapan. Ini   adalah cerita yang ditulis ke dalam motto nasional kita. Di Amerika   Serikat, moto kami adalah E Pluribus Unum - berbeda/plural tapi satu.   Bhinneka Tunggal Ika - bersatu dalam keragaman. (Tepuk tangan) Kami   adalah dua bangsa, yang memiliki jalan yang berbeda. Namun bangsa kita   menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki keyakinan berbeda   dapat bersatu dalam kebebasan di bawah satu bendera. Dan kita sekarang   membangun kemanusiaan bersama - melalui orang-orang muda yang akan   belajar di sekolah masing-masing, melalui pengusaha yang dapat   mendatangkan kesejahteraan yang lebih besar, dan melalui kami merangkul   nilai-nilai demokrasi yang fundamental dan aspirasi manusia.
Sebelum saya datang ke sini, saya mengunjungi masjid Istiqlal - tempat   ibadah yang masih dalam pembangunan ketika saya tinggal di Jakarta. Dan   saya mengagumi menara yang membumbung tinggi dan kubah yang mengesankan   dan ruang ramah. Tapi nama dan sejarah juga berbicara dengan apa yang   membuat Indonesia hebat. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan konstruksi   yang berada di bagian bukti perjuangan bangsa untuk kebebasan. Selain   itu, rumah ibadah bagi ribuan Muslim dirancang oleh arsitek Kristen.   (Tepuk tangan)
Tempat tersebut adalah roh Indonesia. Tempat   tersebut adalah pesan filsafat inklusif Indonesia, Pancasila. (Tepuk   tangan) Di negara kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Allah yang   paling indah, pulau di atas samudra bernama perdamaian, orang memilih   untuk menyembah Allah sesuka mereka. Islam berkembang, tetapi begitu   juga agama lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasil. Tradisi kuno   bertahan, bahkan meningkat.
Itu tidak berarti bahwa Indonesia   adalah tanpa ketidaksempurnaan. Tidak ada negara yang sempurna. Tetapi   di sini kita bisa menemukan kemampuan untuk menjembatani berbagai ras   dan wilayah dan agama - dengan kemampuan untuk melihat diri Anda pada   orang lain. Sebagai anak dari ras yang berbeda yang datang ke sini dari   sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat dalam sambutannya yang   saya terima pada saat pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai seorang   Kristen mengunjungi sebuah masjid pada kunjungan kali ini, saya   menemukan itu dalam kata-kata seorang pemimpin yang bertanya tentang   kunjungan saya dan berkata, "Muslim juga diperbolehkan dalam gereja.   Kami adalah pengikut semua Tuhan. "
Cahaya ilahi ada dalam   kehidupan kita masing-masing. Kita tidak bisa menyerah pada keraguan   atau rasa sinis atau putus asa. Cerita dari Indonesia dan Amerika   seharusnya membuat kita optimis, karena hal itu mengingatkan kita bahwa   sejarah, di samping memajukan manusia, mempererat persatuan dari   berbagai bidang, dan bahwa orang di dunia ini dapat hidup bersama dalam   damai. Kami, dua negara, akan bekerja sama, dengan iman dan tekad,   berbagi kebenaran dengan seluruh umat manusia.
Sebagai Penutup   saya, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: Terima kasih   atas...terima kasih. Assalamualaikum. (kalimat ini semuanya diucapkan   dalam Bahasa Indonesia) Thank You.
 HAYATI MAULANA NUR
Pidato Lengkap Obama dalam Bahasa Inggris
Remarks by the President at the University of Indonesia in Jakarta, Indonesia
University of Indonesia
Jakarta, Indonesia
9:30 A.M. WIT
THE PRESIDENT: Terima kasih. Terima kasih, thank you so much, thank you, everybody. Selamat pagi. (Applause.) It is wonderful to be here at the University of Indonesia. To the faculty and the staff and the students, and to Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, thank you so much for your hospitality. (Applause.)
Assalamualaikum dan salam sejahtera. Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta and thank you to the people of Indonesia.
Pulang kampung nih. (Applause.) I am so glad that I made it back to Indonesia and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that’s meant so much to me. And unfortunately, this visit is too short, but I look forward to coming back a year from now when Indonesia hosts the East Asia Summit. (Applause.)
Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians who are affected by the recent tsunami and the volcanic eruptions -- particularly those who’ve lost loved ones, and those who’ve been displaced. And I want you all to know that as always, the United States stands with Indonesia in responding to natural disasters, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and the resilience of the Indonesian people will pull you through once more.
Let me begin with a simple statement:  Indonesia bagian dari didi saya.    (Applause.)  I first came to this country when my mother married an   Indonesian named Lolo Soetoro.  And as a young boy I was -- as a young   boy I was coming to a different world.  But the people of Indonesia   quickly made me feel at home.
Jakarta -- now, Jakarta looked  very different in those days.  The city  was filled with buildings that  were no more than a few stories tall.   This was back in 1967, ‘68 --  most of you weren’t born yet.   (Laughter.)  The Hotel Indonesia was one  of the few high rises, and  there was just one big department store  called Sarinah.  That was it.  (Applause.)  Betchaks and bemos,   that’s how you got around.  They outnumbered automobiles in those   days.  And you didn’t have all the big highways that you have today.    Most of them gave way to unpaved roads and the kampongs.
So we moved to Menteng Dalam, where -- (applause) -- hey, some folks from Menteng Dalam  right here.  (Applause.)  And we lived in a small house.  We had a   mango tree out front.  And I learned to love Indonesia while flying   kites and running along the paddy fields and catching dragonflies,   buying satay and baso from the street vendors.  (Applause.)  I still remember the call of the vendors.  Satay!  (Laughter.)  I remember that.  Baso!    (Laughter.)  But most of all, I remember the people -- the old men and   women who welcomed us with smiles; the children who made a foreign  child  feel like a neighbor and a friend; and the teachers who helped me  learn  about this country.
Because Indonesia is made up of  thousands of islands, and hundreds of  languages, and people from scores  of regions and ethnic groups, my time  here helped me appreciate the  common humanity of all people.  And while  my stepfather, like most  Indonesians, was raised a Muslim, he firmly  believed that all religions  were worthy of respect.  And in this way --  (applause) -- in this way  he reflected the spirit of religious tolerance  that is enshrined in  Indonesia’s Constitution, and that remains one of  this country’s  defining and inspiring characteristics.  (Applause.)
Now, I  stayed here for four years -- a time that helped shape my  childhood; a  time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; a  time that made  such an impression on my mother that she kept returning  to Indonesia  over the next 20 years to live and to work and to travel --  and to  pursue her passion of promoting opportunity in Indonesia’s  villages,  especially opportunity for women and for girls.  And I was so  honored  -- (applause) -- I was so honored when President Yudhoyono last  night  at the state dinner presented an award on behalf of my mother,   recognizing the work that she did.  And she would have been so proud,   because my mother held Indonesia and its people very close to her heart   for her entire life.  (Applause.)
So  much has changed in the four decades since I boarded a plane to move   back to Hawaii.  If you asked me -- or any of my schoolmates who knew   me back then -- I don’t think any of us could have anticipated that one   day I would come back to Jakarta as the President of the United  States.   (Applause.)  And few could have anticipated the remarkable  story of  Indonesia over these last four decades.
The Jakarta  that I once knew has grown into a teeming city of nearly 10  million,  with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving  centers  of culture and of commerce.  While my Indonesian friends and I  used to  run in fields with water buffalo and goats -- (laughter) -- a  new  generation of Indonesians is among the most wired in the world --   connected through cell phones and social networks. And while Indonesia   as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key   role in the Asia Pacific and in the global economy.  (Applause.)
Now, this change also extends to politics.  When my stepfather was a   boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and   die in the struggle for Indonesian independence.  And I’m happy to be   here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have   sacrificed on behalf of this great country.  (Applause.)
When I moved to Jakarta, it was 1967, and it was a time that had   followed great suffering and conflict in parts of this country.  And   even though my stepfather had served in the Army, the violence and   killing during that time of political upheaval was largely unknown to me   because it was unspoken by my Indonesian family and friends.  In my   household, like so many others across Indonesia, the memories of that   time were an invisible presence.  Indonesians had their independence,   but oftentimes they were afraid to speak their minds about issues.
In the years since then, Indonesia has charted its own course through   an extraordinary democratic transformation -- from the rule of an iron   fist to the rule of the people.  In recent years, the world has watched   with hope and admiration as Indonesians embraced the peaceful transfer   of power and the direct election of leaders.  And just as your  democracy  is symbolized by your elected President and legislature, your  democracy  is sustained and fortified by its checks and balances:  a  dynamic civil  society; political parties and unions; a vibrant media  and engaged  citizens who have ensured that -- in Indonesia -- there  will be no  turning back from democracy.
But even as this land  of my youth has changed in so many ways, those  things that I learned to  love about Indonesia -- that spirit of  tolerance that is written into  your Constitution; symbolized in mosques  and churches and temples  standing alongside each other; that spirit  that’s embodied in your  people -- that still lives on.  (Applause.)  Bhinneka Tunggal Ika  -- unity in diversity.  (Applause.)  This is the foundation of   Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play   such an important part in the 21st century.
So today, I return  to Indonesia as a friend, but also as a President  who seeks a deep and  enduring partnership between our two countries.   (Applause.)  Because  as vast and diverse countries; as neighbors on  either side of the  Pacific; and above all as democracies -- the United  States and  Indonesia are bound together by shared interests and shared  values.
Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new Comprehensive   Partnership between the United States and Indonesia.  We are increasing   ties between our governments in many different areas, and -- just as   importantly -- we are increasing ties among our people.  This is a   partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.
So with the rest of my time today, I’d like to talk about why the story   I just told -- the story of Indonesia since the days when I lived here   -- is so important to the United States and to the world.  I will  focus  on three areas that are closely related, and fundamental to human   progress -- development, democracy and religious faith.
First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.
When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future   in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be   connected.  But our economies are now global, and Indonesians have   experienced both the promise and the perils of globalization:  from the   shock of the Asian financial crisis in the ‘90s, to the millions lifted   out of poverty because of increased trade and commerce.  What that  means  -- and what we learned in the recent economic crisis -- is that  we have  a stake in each other’s success.
America has a stake  in Indonesia growing and developing, with  prosperity that is broadly  shared among the Indonesian people -- because  a rising middle class  here in Indonesia means new markets for our  goods, just as America is a  market for goods coming from Indonesia.  So  we are investing more in  Indonesia, and our exports have grown by nearly  50 percent, and we are  opening doors for Americans and Indonesians to  do business with one  another.
America has a stake in an  Indonesia that plays its rightful role in  shaping the global economy.   Gone are the days when seven or eight  countries would come together to  determine the direction of global  markets.  That’s why the G20 is now  the center of international economic  cooperation, so that emerging  economies like Indonesia have a greater  voice and also bear greater  responsibility for guiding the global  economy.  And through its  leadership of the G20’s anti-corruption group,  Indonesia should lead on  the world stage and by example in embracing  transparency and  accountability.  (Applause.)
America has a stake in an  Indonesia that pursues sustainable  development, because the way we grow  will determine the quality of our  lives and the health of our planet.   And that’s why we’re developing  clean energy technologies that can  power industry and preserve  Indonesia’s precious natural resources --  and America welcomes your  country’s strong leadership in the global  effort to combat climate  change.
Above all, America has a  stake in the success of the Indonesian  people.  Underneath the  headlines of the day, we must build bridges  between our people, because  our future security and prosperity is  shared.  And that is exactly  what we’re doing -- by increasing  collaboration among our scientists  and researchers, and by working  together to foster entrepreneurship.   And I’m especially pleased that we  have committed to double the number  of American and Indonesian students  studying in our respective  countries.  (Applause.)  We want more  Indonesian students in American  schools, and we want more American  students to come study in this  country.  (Applause.)  We want to forge  new ties and greater  understanding between young people in this young  century.
These are the issues that really matter in our daily lives.    Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a   balance sheet.  It’s about whether a child can learn the skills they   need to make it in a changing world.  It’s about whether a good idea is   allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption.   It’s  about whether those forces that have transformed the Jakarta I  once  knew -- technology and trade and the flow of people and goods --  can  translate into a better life for all Indonesians, for all human  beings, a  life marked by dignity and opportunity.
Now, this kind of development is inseparable from the role of democracy.
Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic   progress.  This is not a new argument.  Particularly in times of change   and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a   shortcut to development by trading away the right of human beings for   the power of the state.  But that’s not what I saw on my trip to India,   and that is not what I see here in Indonesia.  Your achievements   demonstrate that democracy and development reinforce one another.
Like any democracy, you have known setbacks along the way.  America is   no different.  Our own Constitution spoke of the effort to forge a  “more  perfect union,” and that is a journey that we’ve traveled ever  since.   We’ve endured civil war and we struggled to extend equal rights  to all  of our citizens.  But it is precisely this effort that has  allowed us to  become stronger and more prosperous, while also becoming a  more just  and a more free society.
Like other countries that  emerged from colonial rule in the last  century, Indonesia struggled and  sacrificed for the right to determine  your destiny.  That is what  Heroes Day is all about -- an Indonesia that  belongs to Indonesians.   But you also ultimately decided that freedom  cannot mean replacing the  strong hand of a colonizer with a strongman of  your own.
Of  course, democracy is messy.  Not everyone likes the results of every   election.  You go through your ups and downs.  But the journey is   worthwhile, and it goes beyond casting a ballot.  It takes strong   institutions to check the power -- the concentration of power.  It takes   open markets to allow individuals to thrive.  It takes a free press  and  an independent justice system to root out abuses and excess, and to   insist on accountability.  It takes open society and active citizens  to  reject inequality and injustice.
These are the forces that  will propel Indonesia forward.  And it will  require a refusal to  tolerate the corruption that stands in the way of  opportunity; a  commitment to transparency that gives every Indonesian a  stake in their  government; and a belief that the freedom of Indonesians  -- that  Indonesians have fought for is what holds this great nation  together.
That is the message of the Indonesians who have advanced this   democratic story -- from those who fought in the Battle of Surabaya 55   years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in   the 1990s; to leaders who have embraced the peaceful transition of   power in this young century.  Because ultimately, it will be the rights   of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara  that stretches from Sabang to Merauke, an insistence -- (applause) --   an insistence that every child born in this country should be treated   equally, whether they come from Java or Aceh; from Bali or Papua.    (Applause.)  That all Indonesians have equal rights.
That  effort extends to the example that Indonesia is now setting  abroad.   Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy  Forum, an  open forum for countries to share their experiences and best  practices  in fostering democracy.  Indonesia has also been at the  forefront of  pushing for more attention to human rights within ASEAN.   The nations  of Southeast Asia must have the right to determine their own  destiny,  and the United States will strongly support that right.  But  the people  of Southeast Asia must have the right to determine their own  destiny  as well.  And that’s why we condemned elections in Burma  recently that  were neither free nor fair.  That is why we are supporting  your vibrant  civil society in working with counterparts across this  region.   Because there’s no reason why respect for human rights should  stop at  the border of any country.
Hand in hand, that is what  development and democracy are about -- the  notion that certain values  are universal.  Prosperity without freedom is  just another form of  poverty.  Because there are aspirations that human  beings share -- the  liberty of knowing that your leader is accountable  to you, and that you  won’t be locked up for disagreeing with them; the  opportunity to get  an education and to be able to work with dignity; the  freedom to  practice your faith without fear or restriction.  Those are  universal  values that must be observed everywhere.
Now,  religion is the final topic that I want to address today, and --  like  democracy and development -- it is fundamental to the Indonesian  story.
Like the other Asian nations that I’m visiting on this trip, Indonesia   is steeped in spirituality -- a place where people worship God in many   different ways.  Along with this rich diversity, it is also home to the   world’s largest Muslim population -- a truth I came to know as a boy   when I heard the call to prayer across Jakarta.
Just as  individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is  defined  by more than its Muslim population.  But we also know that  relations  between the United States and Muslim communities have frayed  over many  years.  As President, I have made it a priority to begin to  repair  these relations.  (Applause.)  As part of that effort, I went to  Cairo  last June, and I called for a new beginning between the United  States  and Muslims around the world -- one that creates a path for us to  move  beyond our differences.
I said then, and I will repeat now,  that no single speech can eradicate  years of mistrust.  But I believed  then, and I believe today, that we  do have a choice.  We can choose to  be defined by our differences, and  give in to a future of suspicion and  mistrust.  Or we can choose to do  the hard work of forging common  ground, and commit ourselves to the  steady pursuit of progress.  And I  can promise you -- no matter what  setbacks may come, the United States  is committed to human progress.   That is who we are.  That is what  we’ve done.  And that is what we will  do.  (Applause.)
Now, we  know well the issues that have caused tensions for many years  -- and  these are issues that I addressed in Cairo.  In the 17 months  that have  passed since that speech, we have made some progress, but we  have much  more work to do.
Innocent civilians in America, in Indonesia  and across the world are  still targeted by violent extremism.  I made  clear that America is not,  and never will be, at war with Islam.   Instead, all of us must work  together to defeat al Qaeda and its  affiliates, who have no claim to be  leaders of any religion –--  certainly not a great, world religion like  Islam.  But those who want  to build must not cede ground to terrorists  who seek to destroy.  And  this is not a task for America alone.  Indeed,  here in Indonesia,  you’ve made progress in rooting out extremists and  combating such  violence.
In Afghanistan, we continue to work with a coalition  of nations to  build the capacity of the Afghan government to secure its  future.  Our  shared interest is in building peace in a war-torn land  -- a peace that  provides no safe haven for violent extremists, and that  provide hope for  the Afghan people.
Meanwhile, we’ve made  progress on one of our core commitments -- our  effort to end the war in  Iraq.  Nearly 100,000 American troops have now  left Iraq under my  presidency.  (Applause.)  Iraqis have taken full  responsibility for  their security.  And we will continue to support Iraq  as it forms an  inclusive government, and we will bring all of our  troops home.
In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we’ve   been persistent in our pursuit of peace.  Israelis and Palestinians   restarted direct talks, but enormous obstacles remain.  There should be   no illusion that peace and security will come easy.  But let there be  no  doubt:  America will spare no effort in working for the outcome that  is  just, and that is in the interests of all the parties involved --  two  states, Israel and Palestine, living side by side in peace and   security.  That is our goal.  (Applause.)
The stakes are high  in resolving all of these issues.  For our world  has grown smaller, and  while those forces that connect us have unleashed  opportunity and  great wealth, they also empower those who seek to  derail progress.  One  bomb in a marketplace can obliterate the bustle of  daily commerce.   One whispered rumor can obscure the truth and set off  violence between  communities that once lived together in peace.  In an  age of rapid  change and colliding cultures, what we share as human  beings can  sometimes be lost.
But I believe that the history of both  America and Indonesia should  give us hope.  It is a story written into  our national mottos.  In the  United States, our motto is E pluribus unum -- out of many, one.  Bhinneka Tunggal Ika  -- unity in diversity.  (Applause.)  We are two nations, which have   traveled different paths.  Yet our nations show that hundreds of   millions who hold different beliefs can be united in freedom under one   flag.  And we are now building on that shared humanity -- through young   people who will study in each other’s schools; through the  entrepreneurs  forging ties that can lead to greater prosperity; and  through our  embrace of fundamental democratic values and human  aspirations.
Before I came here, I visited Istiqlal  mosque -- a place of  worship that was still under construction when I  lived in Jakarta.  And I  admired its soaring minaret and its imposing  dome and welcoming space.   But its name and history also speak to what  makes Indonesia great.  Istiqlal means independence, and its  construction was in part a testament to the  nation’s struggle for  freedom.  Moreover, this house of worship for  many thousands of Muslims  was designed by a Christian architect.   (Applause.)
Such is Indonesia’s spirit.  Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila.    (Applause.)  Across an archipelago that contains some of God’s most   beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace,   people choose to worship God as they please.  Islam flourishes, but so   do other faiths.  Development is strengthened by an emerging democracy.    Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.
That is not to say that Indonesia is without imperfections.  No country   is.  But here we can find the ability to bridge divides of race and   region and religion -- by the ability to see yourself in other people.    As a child of a different race who came here from a distant country, I   found this spirit in the greeting that I received upon moving here:  Selamat Datang.    As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the  words  of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are  also  allowed in churches.  We are all God’s followers.”
That  spark of the divine lives within each of us.  We cannot give in to   doubt or cynicism or despair.  The stories of Indonesia and America   should make us optimistic, because it tells us that history is on the   side of human progress; that unity is more powerful than division; and   that the people of this world can live together in peace.  May our two   nations, working together, with faith and determination, share these   truths with all mankind.
Sebagai penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: terima kasih atas. Terima kasih. Assalamualaikum. Thank you.
END
10:31 A.M. WIT
 
 
No comments:
Post a Comment