Friday, July 02, 2010

Menjawab Gary Hoge

Seorang teman memperlihatkan kepada saya sebuah artikel yang katanya ditulis oleh seorang mantan Baptis yang kini menjadi Katolik. Berikut tanggapan saya.


Menjawab Gary Hoge

Kesaksian Saya: Dari Ateis Menjadi Baptis Dan Akhirnya Katolik oleh Gary Hoge

(tulisan Calibri italics oleh Gary Hoge)

oleh Dr. Steven E. Liauw (tulisan Times Roman normal)


Seorang teman saya mengirimkan tulisan berikut karya Gary Hoge (yang rupanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia), yang isinya menjelaskan alasan-alasan Hoge memilih agama Katolik sebagai imannya. Yang sangat menarik bagi saya adalah pernyataan Hoge bahwa dia berubah dari seorang atheis menjadi seorang Baptis, namun lalu meninggalkan "iman" Baptis karena melihat Katolik sebagai iman yang lebih "benar." Tentu kesaksian Hoge ini cukup menggelitik saya yang adalah seorang Baptis. Saya menjadi ingin tahu apa yang dikatakan oleh Hoge, si mantan Baptis itu. Saya ingin tahu apakah memang Katolik itu lebih benar daripada Baptis atau gereja Kristen lainnya? Jika Hoge benar, maka saya sendiri pun perlu untuk meninjau ulang kepercayaan saya. Pencarian akan kebenaran, itulah yang mendorong saya untuk menganalisis kesaksian Hoge secara teliti, dan hasilnya saya tuang dalam karya tulis ini.



Satu hal yang perlu dipahami sebelum saya mulai menganalisa kesaksian Hoge adalah bahwa saya mendukung penuh kebebasan seseorang untuk memilih imannya. Apa yang dipercaya oleh Hoge adalah pilihan Hoge, dan saya adalah orang pertama yang akan membela haknya untuk percaya apa yang dia inginkan. Tidak boleh ada pihak manapun yang memaksa orang lain untuk percaya sesuatu. Namun demikian, saya juga percaya bahwa ada hal-hal yang benar dan ada hal-hal yang salah. Tidak semua jalan menuju kepada kebenaran. "Ada jalan yang disangka orang lurus, tetapi ujungnya menuju maut" (Amsal. 14:12). Alkitab tidak pernah mengajarkan relativisme kebenaran (bahwa semuanya benar, hanya berbeda pendekatan), melainkan absolutisme kebenaran Allah dan FirmanNya (Yohanes 17:17). Jadi, jika saya mendapatkan bahwa apa yang dikatakan Hoge itu salah, saya tidak dapat memaksa dia untuk memilih yang benar, karena itu adalah hak asasinya. Tetapi saya punya kewajiban untuk menyingkapkan kesalahan dan memperjuangkan kebenaran, agar semua orang memiliki kesempatan untuk memilih kebenaran.


Ketika saya masih kecil, ayah saya mengajarkan saya hal-hal yang mendasar tentang Allah dan dia membacakan saya dan saudara saya Alkitab versi anak-anak. Saya sangat suka mendengarnya, dan melihat gambar-gambarnya yang indah, tetapi entah mengapa, saya tidak pernah sungguh-sungguh membangun iman kepada Allah. Mungkin karena waktu itu saya pikir pergi ke gereja itu sangat membosankan, atau mungkin karena pengaruh ibu saya yang agnostik (tidak peduli akan Allah). Meskipun dia tidak pernah secara terbuka menghalangi saya untuk beriman pada Allah, akan tetapi dari dialah sejak kecil saya tahu bahwa ada orang-orang yang tidak percaya eksistensi Allah. Dan tampaknya bagi saya sewaktu umur saya makin bertambah, bahwa biasanya orang-orang yang pintar itu tidak percaya akan Allah.


Memang banyak sekali orang yang sewaktu kecil merasakan pengaruh baik Alkitab, tetapi yang tidak pernah benar-benar percaya Alkitab itu sendiri.


Saya tidak ingat pada umur berapa akhirnya saya kehilangan sedikit iman yang saya miliki, tetapi sewaktu saya menginjak sekolah menengah umum, saya telah mengaku sebagai seorang ateis. Mungkin lebih tepat kalau saya dianggap agnostik, karena kalau anda mendesak saya mungkin saya harus mengakui bahwa saya tidak dapat yakin 100% bahwa Allah itu tidak ada, walau saya sungguh percaya memang tidak ada Allah. Saya merasa agama cuma buat orang-orang yang lemah yang tidak dapat menghadapi kenyataan. Sejauh pemikiran saya, manusia telah menciptakan Allah seperti gambaran dirinya berabad-abad lalu demi untuk menjelaskan alam semesta. Tetapi ilmu pengetahuan berkembang, dan kita mulai mengerti proses alam yang mengatur alam semesta. Seiring perjalanan waktu, kita mendapat kemajuan-kemajuan di bidang astronomi, fisika, dan biologi, dan tampak bagi saya bahwa makin berkurang keperluan menggunakan Allah untuk menjelaskan berbagai hal-hal. Saya dapat melihat saat dimana kita akhirnya mengerti sepenuhnya mekanika dunia materi ini sehingga Allah sama sekali tidak diperlukan lagi. Saya merindukan saat itu, karena saya percaya dunia akan menjadi jauh lebih baik tanpa adanya agama. Lebih enak buat saya, karena saya dapat melakukan apa saja yang saya sukai tanpa perlu diingatkan bahwa saya adalah seorang berdosa dan bahwa tindakan-tindakan tertentu adalah salah. Apa hak orang-orang ini untuk menghakimi saya?


Gary Hoge tidak kehilangan "iman"nya itu, karena ia memang belum pernah beriman. Pengalamannya dengan Alkitab atau gereja pada masa kecil tidak otomatis membuat dia beriman. Di lain sisi, Hoge memberikan gambaran yang baik tentang pola pikir kebanyakan orang yang telah menolak Tuhan. Banyak orang yang mempergunakan ilmu pengetahuan untuk mengenyahkan Tuhan. Sebagai seorang dokter, saya tidak bisa mengerti pemikiran seperti itu. Semakin saya mendalami ilmu pengetahuan, semakin Tuhan terlihat. Semakin saya mengerti kompleksitas tubuh manusia, semakin saya berdecak kagum dan berpikir, "Tidak mungkin itu semua jadi dengan sendirinya." Kalau diperlukan ilmu, pengetahuan, dan kecakapan yang begitu tinggi untuk bisa menghasilkan satu hal kecil saja, misalnya katup jantung buatan atau tulang protesis, betapa hebatnya pikiran yang menjadikan benda aslinya!

Tetapi sikap saya mulai berubah sewaktu musim dingin tahun 1985. Pada waktu itu saya adalah seorang mahasiswa di Virginia Tech, di Blacksburg, Virginia. Untuk pertama kalinya, saya mulai menyadari sisi gelap dari falsafah ateisme. Saya tadinya berpikir ateisme telah melepaskan dari belenggu agama supaya saya dapat hidup semau saya, tetapi saya mulai merasakan bahwa hidup sekehendak hati sebetulnya tidak sungguh-sungguh menyenangkan. Bahkan tampak hampa yang tidak memiliki arah. Meskipun saya tidak tahu apa alasannya, saya mulai merasa tidak tenang dan tidak puas. Saya menginginkan sesuatu yang lebih, tetapi saya tidak tahu apakah itu. Saya rasa saya menginginkan supaya hidup ini bermakna. Toh saya percaya bahwa semua manusia adalah sekedar kejadian biologis, hasil dari berjuta-juta proses acak yang secara spontan dan faktor kebetulan, menciptakan kehidupan. Kita hidup, kita tumbuh, dan kita mati, dan setelah itu kita menghilang dari keberadaan. Pada akhirnya, apa poinnya? Di masa lalu saya tidak memperhatikan hal ini karena saya sibuk mencari kesenangan-kesenang an pribadi. Tetapi tampak ada semacam hukum alam yang tidak dapat dipungkiri. Saya menemukan bahwa semakin saya memiliki, semakin saya mengingini, dan semakin saya mendapatkan, semakin kurang kepuasan yang didapat. Seolah seperti sebuah lelucon yang kejam, dan saya mendapatkan diri saya semakin tenggelam ke dalam keputus-asaan. Secara eksternal, saya memiliki segala hal, secara internal saya tidak memiliki apa-apa. Saya mulai ragu apakah saya akan pernah merasa bahagia lagi.


Gary Hoge, sebagaimana para atheis lainnya, lambat laun akan menyadari bahwa hidup tanpa Allah adalah hidup yang tidak berarti.


Lalu pada suatu hari saya sedang duduk di restoran fast-food dan makan semangkuk makanan. Tiba-tiba sekilas muncul dalam pikiran saya: "Bagaimana dengan Allah?" Saya tidak tahu darimana munculnya pikiran itu, tetapi untuk pertama kali dalam hidup saya merenungkannya dengan serius. Ada secercah harapan dalam pikiran itu, pengharapan pertama yang saya lihat dalam kurun waktu lama, dan memancar sekilas seperti sebuah mercu suar. Saya menyadari bahwa banyak orang merasa hidup mereka bermakna lewat hubungan mereka dengan Allah, dan saya cukup nekat untuk mempertimbangkan kemungkinan tersebut. Tentunya, saya tidak ingin mengakui ide keberadaan Allah, sekedar untuk menyemangati diri sendiri, tetapi saya merenungkan, apakah ada sesuatu yang berharga dibaliknya? Bagaimana jika Allah itu sungguh-2 nyata? Maka saya lanttas memutuskan untuk mencari tahu. Teman sekamar saya adalah seorang Kristen yang menghadiri sebuah gereja Baptis yang kecil di luar kota, dan saya memutuskan untuk pergi bersamanya pada hari minggu berikutnya. Saya membayangkan bahwa keinginan yang timbul mendadak untuk pergi ke gereja pasti cukup mengejutkannya, tetapi dia berusaha menutup-nutupi keheranannya. Mungkin dia tidak ingin membuat saya mengurungkan niat.


Ketika hari yang dijanjikan tiba, saya berada di Gateway Baptist Church, mendengarkan seorang bernama Dewey Weaver, yang merupakan bentuk nyata stereotip seorang pengkotbah Baptis. Aksennya, gaya rambutnya, dan cara dia melambaikan Alkitabnya adalah hal-hal yang dulunya saya jadikan bahan olok-olok. Saya merasa seperti seorang idiot karena berada disana. Apa yang saya pikirkan? Saya berharap teman saya tidak tahu. Tetapi pasti ada hal yang menarik dari kata-kata pastor Weaver, karena minggu berikutnya, saya pergi lagi kesana. Bahkan saya terus kembali minggu demi minggu. Setelah beberapa lama saya tidak lagi memperhatikan gaya pastor Weaver, dan saya menyukai rasa humornya, dan terlebih penting, pesan yang dikotbahkan menunjukkan mengapa saya berada dalam keputus-asaan: Yaitu karena saya adalah seorang berdosa yang sangat membutuhkan seorang juru selamat. Saya telah pernah mendengarnya sebelum nya, tentunya, dan meremehkannya sebagai omongan yang bodoh, tetapi kali ini omongan tersebut mulai terekam dalam benak saya. Yesus bukan seorang pengkotbah dari Galilea yang mengumandangkan sejumlah ajaran tentang menjadi baik, dan Dia juga bukan seorang nasionalis Yahudi yang terlibat kesulitan dengan penguasa Romawi. Menurut pastor Weaver, Dia adalah Allah dalam rupa manusia, yang mengasihi kita sedemikian besar sehingga Dia menyerahkan nyawaNya sendiri untuk menebus dosa-dosa saya, supaya saya dapat dimaafkan.


Kesaksian Gary Hoge sepertinya baik. Tetapi satu hal yang menggelitik saya di sini adalah kata-kata dia sendiri: "Menurut pastor Weaver, Dia adalah Allah dalam rupa manusia...." Entah kesalahan pastor Weaver atau kesalahan Hoge, tetapi dasarnya sudah salah. Hoge tidak seharusnya menjadi percaya karena kata-kata Weaver. Dia seharusnya menjadi percaya karena kesaksian Alkitab. Perbedaan ini mungkin tampak sepele, tetapi akhirnya menjadi penting. Belakangan Hoge akan menyerang prinsip sola scriptura. Itu menandakan bahwa dari awalnya Hoge tidak mengerti akan peran sentral Kitab Suci (Alkitab) dalam iman Kristen. Kalau dasar kepercayaan anda adalah perkataan orang, maka tidak heran jika suatu ketika anda beralih kepada perkataan orang lain.


Saya sedang memikirkan pesan injil pada suatu malam waktu saya berangkat tidur, dan untuk pertama kalinya buat saya semua menjadi masuk akal. Saya terheran-heran oleh logika dibaliknya, dan betapa itu dapat menjelaskan dengan tepat kondisi manusia, terutama saya sendiri. Saya sungguh mempercayai pesan yang aneh dan bodoh, yang dulu pernah saya heran kenapa ada orang-orang yang mempercayainya. Dan sekarang, semua tampak begitu jelas, dan saya merenungkan mengapa selama ini saya begitu buta.


Malam itu saya meminta Yesus untuk mengampuni semua dosa-dosa saya, dan saya memintaNya untuk datang ke dalam hati saya, seperti dijelaskan oleh pastor Weaver. Saya berjanji untuk mengikuti Tuhan sejak hari itu, sebaik mungkin.


Beberapa hari sesudahnya saya mendatangi sebuah toko buku Kristen untuk mendapatkan bahan bacaan untuk menolong saya memahami iman yang baru ini. Saya menyukai ide tentang Yesus, tetapi saya masih tidak peduli tentang konsep agama yang terorganisir. Maka secara alami buku-buku seperti "How to Be a Christian without being Religius, oleh Fritz Ridenour, menarik hati saya dan saya membelinya. Saya juga membeli buku karangan D. James Kennedy, "Why I Believe, and Truths that Transform." Buku-buku seperti ini membentuk fondasi teologi Kristen saya, yang secara alami menyerupai teologi Calvinis dan Injili para pengarangnya. Saya juga membaca sejumlah buku membela iman, buku-buku yang menjelaskan dasar rasional dari kebenaran Kristiani. Penting buat saya untuk mengetahui kenapa saya percaya apa yang saya percaya, baik untuk saya sendiri dan juga karena saya ingin dapat membela diri terhadap orang-orang yang berasumsi seperti saya dulu, bahwa orang Kristen pasti orang yang bodoh.


Kalau Hoge memang sungguh menerima Yesus, maka itu adalah hal yang baik. Tetapi saya tidak yakin. Mengapa? Kata-katanya sendiri: "Saya menyukai ide tentang Yesus, tetapi saya masih tidak peduli tentang konsep agama yang terorganisir. " Seseorang tidak hanya "menyukai ide tentang Yesus" untuk diselamatkan. Ia harus mengerti apa yang Yesus lakukan, bertobat dari segala dosa dan konsep-konsepnya yang salah sebelumnya, dan berpaling untuk percaya kepada segala yang Yesus lakukan dan ajarkan. Jadi, seseorang yang sungguh-sungguh percaya kepada Yesus, satu paket percaya juga kepada segala pengajaran Yesus Kristus. Salah satu pengajaran Yesus adalah mengenai gereja, atau apa Hoge sebut "agama yang terorganisir. " Seseorang tidak dapat percaya Yesus tanpa juga percaya mengenai apa yang Yesus ajarkan tentang gereja. Yang lucu bagi saya adalah, pada akhirnya Hoge malah beralih kepada Katolik yang merupakan suatu organisasi "agama" yang paling besar.


Saya berhasil lulus dari universitas dan setahun sesudahnya Tuhan memberkati saya dengan seorang istri yang terbaik. Beberapa tahun kemudian Dia memberkati saya kembali dengan seorang anak laki-laki. Saya membaca Alkitab dan bahkan belajar sedikit bahasa Yunani supaya dapat membaca Perjanjian Baru dalam bahasa aslinya. Tetapi satu hal yang tidak pernah dapat saya lakukan adalah mencari sebuah gereja diman saya merasa nyaman sepenuhnya. Menurut hitungan saya, saya dan istri telah mengunjungi dua belas gereja yang berbeda di wilayah Virginia Utara. Ada gereja Baptis, Assemblies of God, Presbiterian, satu diantaranya bahkan Messianic Jewish, tetapi umumnya adalah "gereja non-denominasi" yang biasanya umumnya berarti semi-Baptis. Saya menemukan hal-hal yang baik di setiap gereja-gereja ini, dan orang-orang yang baik, tetapi saya perhatikan bahwa setiap kali saya pergi ke sebuah gereja baru, saya mendengar teologi yang baru pula. Dan cepat atau lambat saya menemukan sesuatu dalam teologi itu yang bertentangan dengan keyakinan saya. Mungkin mereka punya pandangan tentang akhir jaman yang saya anggap aneh, atau mereka menolak kemungkinan tentang karunia-karunia karismatis (saya sendiri bukan karismatis, tetapi saya pikir salah kalau orang menolak ide ini, apalagi begitu jelas diajarkan dalam Alkitab). Kita menghadiri sebuah gereja Episcopal yang semi-karismatik yang sangat kami sukai, sampai saya mendapatkan bahwa mereka membaptis bayi-bayi. Akhirnya kami pindah ke sebuah gereja "berdasarkan Alkitab". Kami tidak puas sepenuhnya, tetapi kami sudah capai pindah-pindah gereja.


Dari sini jelas bahwa Gary Hoge tidak pernah diajar dengan benar dalam iman. Dia mungkin saja membuat "pengakuan iman" di sebuah gereja Baptis. Tetapi tidak semua gereja Baptis adalah benar. Yang jelas, sepertinya Gary Hoge sendiri tidak pernah sepenuhnya diajar dalam gereja Baptis, dan tidak pernah sepenuhnya memegang doktrin Baptis. Jika ia sungguh orang Baptis, maka tidak mungkin ia pindah-pindah gereja hingga 12 kali. Pernyataan dia bahwa beralih dari Baptis menjadi Katolik mungkin benar secara umum, tetapi sebenarnya dia tidak sungguh-sungguh mengerti apa yang diajarkan oleh kaum Baptis. Sebagian kesalahan pastilah karena gereja Baptis yang pertama dikunjungi oleh Gary Hoge adalah gereja Baptis yang tidak sepenuhnya mengajarkan kebenaran. Walaupun saya sendiri adalah orang Baptis, tetapi saya sadar bahwa banyak gereja dengan nama Baptis yang telah berkompromi.


Sepanjang tahun-tahun tersebut, satu gereja yang sama sekali tidak pernah masuk hitungan saya adalah Gereja Katolik. Saya tidak percaya bahwa Sri Paus adalah sang anti-Kristus, ataupun hal-hal seperti demikian, tetapi saya tidak percaya bahwa iman Katolik penuh dengan ajaran-ajaran yang tidak terdapat di Alkitab. Baiklah mungkin saya mau mengakui bahwa Katolik adalah sebuah Gereja Kristen, tetapi nyaris tidak memenuhi syarat (dan hanya karena saya ketemu seorang Katolik yang menunjukkan rasa tertarik akan Allah). Secara umum, saya merasa siapapun yang membaca dan percaya pada Alkitab akan menjauh dari iman Katolik. Saya berasumsi berjuta-juta orang Katolik karena terlahir sebagai Katolik, dan nyata bahwa mereka tidak tahu sama sekali tentang Alkitab. Saya kasihan kepada mereka dan saya berharap mereka suatu hari membaca Alkitab sendiri tanpa bantuan Sri Paus. Kalau itu terjadi, pasti status mereka akan segera berubah menjadi mantan-Katolik.


Sayangnya, umumnya orang Katolik yang saya kenal sama-sama tidak tertarik pada Alkitab, Yesus, atau Allah. Mereka sepenuhnya sekuler, sama sekali tidak berbeda dengan orang bukan Kristen, kecuali bahwa mereka pergi ke gereja sekali-sekali, yang agaknya seperti sebuah beban bagi mereka. (Seorang teman saya mengatakan tujuannya setiap hari minggu adalah masuk gereja, "memberikan satu jamnya", dan keluar). Saya sungguh tidak ingin menjadi bagian dari sebuah gereja yang menghasilkan kualitas rohani yang sekarat seperti itu.


Apa yang Gary Hoge katakan tentang mayoritas orang Katolik adalah benar. Itu adalah observasi dia sendiri, dan memang mayoritas Katolik tidak tahu apa-apa tentang Alkitab.


Tetapi suatu hari seorang teman Kristen di tempat kerja muncul di ruang kantor saya dengan sebuah buku di tangannya. Dia mengatakan seorang Katolik sahabatnya telah memberikan buku itu. Judulnya "Catholicism and Fundamentalism" oleh Karl Keating. Katanya isinya membela iman Katolik terhadap serangan-serangan kaum Fundamentalis anti-Katolik, dan sekaligus menunjukkan bahwa iman Katolik menawarkan penjelasan Alkitab yang lebih baik dan lebih koheren ketimbang Fundamentalisme Protestan. Jujurnya, saya merasa geli bahwa seseorang punya keberanian untuk mencoba membela iman Katolik dengan berdasarkan Alkitab. Saya yakin pasti mudah untuk membantah argumen-argumen Karl Keating karena saya tahu bahwa teologi Katolik sangat tidak sesuai dengan Alkitab.


Maka saya membaca buku itu dan saya gembiara bahwa Mr.Keating adalah seorang penulis yang punya rasa humor yang besar. Pertama, saya membacanya seolah sebagai seorang jaksa penuntut, mencari kelemahannya. Tetapi saya terheran bahwa orang ini ternyata rasional dan pintar bicara, dan apa yang dikatakannya sungguh masuk akal. Saya mulai membacanya dengan lebih simpatik, dan saya sungguh mencoba untuk mengerti apa yang dikatakan Mr.Keating. Setelah mendengar sendiri teologi Katolik dari sumber Katolik, menjadi jelas apa yang tidak saya pahami sebelumnya. Saya heran menemukan bahwa Gereja Katolik tidak mengajarkan hal-hal yang tidak sesuai dengan Alkitab seperti yang pernah saya percayai, dan apa yang sesungguhnya diajarkan sesungguhnya punya dasar Alkitab yang kuat. Saya menyadari bahwa selama ini saya telah menyerap banyak kesalah-pahaman tentang iman Katolik. Masalahnya, karena selama ini yang saya dengar semua berasal dari sumber Protestan. Dengan heran saya juga menemukan bahwa sekali saya mengerti dasar-dasar iman Katolik, saya tidak dapat membantahnya. Boleh jadi saya tidak yakin hal itu benar, tetapi saya juga tidak dapat membuktikan bahwa itu salah, dan ini membuat saya jengkel. Kalau ada suatu hal yang saya ingin merasa yakin, maka itulah iman saya. Saya ingin tahu apa yang saya yakini dan mengapa saya meyakininya. Tetapi sekarang setelah membaca buku ini, saya merasa tidak nyaman di lubuk hati bahwa ternyata interpretasi Katolik atas Kitab Suci sesungguhnya lebih masuk akal ketimbang interpretasi saya sendiri.


Sayang sekali Hoge tidak memberikan lebih banyak detil mengenai hal-hal yang Keating tulis yang membuat dia simpati dengan Katolik. Bahwa Keating seorang yang humoris, pintar bicara, dan tampak rasional, sama sekali tidak mengindikasikan bahwa dia benar. Justru orang seperti itulah yang paling berbahaya, karena mereka bisa membuat suatu kesalahan tampak seperti kebenaran. Sepertinya itulah yang terjadi kepada Hoge. Tambahan lagi, Hoge sendiri mengakui bahwa dia tidak memiliki gereja yang kuat yang dapat mendukungnya dan menjelaskan kesalahan Keating kepadanya. Keating juga melakukan suatu kesalahan ketika ia menyamakan atau menggolongkan kelompok Baptis ke dalam Protestan. Kelompok Baptis tidak sama dengan Protestan. Di Indonesia hanya ada dua pilihan: Katolik atau Protestan, sehingga semua yang tidak Katolik, dikelompokkan menjadi "Protestan." Padahal Baptis sama sekali bukan Protestan, karena kelompok Baptis sudah ada jauh sebelum Martin Luther melakukan protes terhadap Roma Katolik. Kelompok Protestan bahkan sempat menganiaya kelompok Baptis. Pernyataan Hoge bahwa "sekali saya mengerti dasar-dasar iman Katolik, saya tidak dapat membantahnya, " membuktikan bahwa dia memang belum mengerti Alkitab dengan sungguh-sungguh.


Seperti saya katakan, saya tidak begitu saya diyakinkan bahwa Katolik benar, tetapi saya tahu saya tidak akan dapat beristirahat sampai saya mendapatkan jawabannya. Maka saya mulai membaca segala yang bisa saya dapatkan. Saya mencari buku-buku apologetika Katolik maupun Protestan. Saya membaca buku karangan James Akin, Dave Armstrong, Scott Hahn, Mark Shea, diantara banyak lainnya di sisi Katolik, dan Geisler, Kennery, Ridenour dan Scott, di sisi Protestan. Secara umum, kesan saya adalah bahwa para pengarang Protestan tidak mengerti teologi Katolik dengan baik, karena mereka terus mengkritik hal-hal yang tidak diajarkan oleh Gereja Katolik. Argumen-argumen Katolik tampak bagus dan saya berharap salah satu pengarang Protestan dapat menandinginya, tetapi mereka tidak pernah bisa. Setelah saya semakin memahami argumen teologi Katolik, saya menemukan bahwa saya dengan mudah melawan argumen Protestan terhadapnya, di lain pihak saya tidak dapat melawan argumen Katolik terhadap teologi Protestan.


Hoge tentunya memiliki hak untuk percaya apa yang dia inginkan. Tetapi yang jelas, saya pribadi juga telah banyak memperbandingkan doktrin Katolik dibandingkan dengan Alkitab. Saya mendapatkan bahwa doktrin Katolik sangatlah melenceng dari Alkitab. Apakah saya tidakmengerti teologi Katolik? Saya membaca para pengarang Katolik secara langsung. Apakah Geisler, Scott, dll., semuanya tidak mengerti teologi Katolik? Saya yakin mereka telah melakukan riset yang memadai. Apakah teologi Katolik sulit untuk dipahami? Tujuan saya menulis ini bukanlah untuk menghalangi Hoge untuk menyatakan apa yang ia percaya, tetapi agar jangan ada orang yang percaya begitu saja tanpa menyelidiki kebenaran. Hanya karena Hoge berkata para pengarang Protestan tidak dapat menandingi para pengarang Katolik, tidak berarti itu benar. Itu adalah pendapat Hoge, yang adalah seorang Katolik. Setiap orang patut menyelidikinya. Dari penyelidikan saya, argumen Katolik sama sekali tidak dapat dipertahankan berdasarkan Alkitab.


Saya mulai mempertanyakan secara serius fondasi doktrin-doktrin Protestanisme: sola fide dan sola scriptura. Gereja Katolik memberikan argumen kuat bahwa doktrin ini tidak diajarkan dalam Alkitab, dan bahkan keduanya ditolak oleh Alkitab. Tidak hanya itu, kedua doktrin tersebut tidak diajarkan oleh siapapun sebelum gerakan Reformasi Protestan. Saya merasa argumen Protestan dalam hal ini tidak meyakinkan. Mereka tampak mengambil Alkitab diluar konteks dan mengenyampingkan ayat-ayat yang bertentangan dengan interpretasi mereka. Kadang mereka mengutip dari sumber Kristen perdana yang tampak mendukung posisi mereka, tetapi mereka mengabaikan hal-hal lain oleh penulis yang sama yang menjadikan jelas bahwa mereka tidak mendukung argumen Protestanisme. Karena Protestan adalah pihak yang memisahkan diri dari Gereja dan menuduh Gereja telah terkorupsi, saya tahu bahwa beban untuk membuktikan hal ini ada pada pundak mereka, dan sejujurnya, saya merasa mereka tidak berhasil membuat argumen yang kuat.


Saya merasa sangat sayang sekali bahwa Hoge tidak menjelaskan dengan rinci apa argumen Katolik melawan sola fide dan sola scriptura. Kedua argumen ini teranyam dengan rapi dalam halaman-halaman Kitab Suci. Sola Fide mengatakan bahwa keselamatan hanya diperoleh melalui iman pertobatan, bukan melalui usaha manusia, perbuatan baik, ataupun ritual keagamaan seperti baptisan, misa, dll. Apakah ini berasal dari Alkitab?

"Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri" (Efesus 2:8-9).

Apakah Alkitab tidak mengajarkan perbuatan baik? Tentu Alkitab mengajarkannya. Tetapi Alkitab mengajarkan bahwa perbuatan baik bukanlah untuk masuk Surga, melainkan perbuatan baik adalah buah/hasil yang mengalir dari iman yang benar. Iman yang benar itulah yang menyelamatkan. Perbuatan baik pasti menyertai iman yang benar, tetapi perbuatan tidaklah menyelamatkan. Saya herang dengan Hoge yang mengaku "Baptis" tetapi tidak mengerti hal sederhana ini. Saya yakin ia tidak pernah sungguh-sungguh mengerti tentang keselamatan sebelumnya.

Sola Scriptura adalah pernyataan bahwa otoritas tertinggi iman kekristenan hanyalah Kitab Suci (Alkitab). Apakah ini posisi yang Alkitabiah? Tentu saja! Kitab Suci adalah perwakilan dari Allah sendiri.

"Sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah" (2 Petrus 1:21). Saya yakin bahwa setiap orang Kristen percaya Allah adalah otoritas tertinggi. Tetapi Allah bukanlah seperti manusia yang bisa nampak setiap saat di mata jasmani kita. Bagaimanakah otoritas pribadi Allah dapat diterapkan dalam kehidupan ini? Jawabannya adalah melalui Firman Allah. Firman Allah adalah perwakilan dari Allah sendiri. FirmanNya menyatakan apa yang Ia inginkan. Jadi, jelaslah bahwa Alkitab sebagai Firman Allah adalah otoritas tertinggi dalam kekristenan. Doktrin Sola Scriptura dengan jelas tertera dalam perikop berikut ini:

"Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran. Dengan demikian tiap-tiap manusia kepunyaan Allah diperlengkapi untuk setiap perbuatan baik" (2 Timotius 3:16-17). Jadi, tulisan diilhamkan Allah (Alkitab), cukup untuk memperlengkapi orang percaya untuk setiap perbuatan baik.

Mengapa Katolik tidak suka dengan sola scriptura? Karena sola scriptura menghilangkan kekuasaan mereka untuk menetapkan sesuatu di luar Alkitab. Dalam Katolik, ada empat otoritas yang dianggap kurang lebih berimbang: Paus, tradisi, pengajaran "bapa-bapa gereja," dan Alkitab. Jangankan mengajarkan, Alkitab bahkan tidak pernah menyinggung tentang seorang "Paus" yang punya kuasa untuk mendekritkan pengajaran baru kepada orang percaya. Sebagai contoh adalah pengajaran Katolik bahwa Maria tidak meninggal melainkan diangkat ke Surga. Apakah Alkitab mengajarkan hal ini? Sama sekali tidak! Adalah Paus Pius XII yang mengumumkan doktrin ini sebagai dogma resmi Katolik pada tanggal 1 November 1950! Bayangkan! Hampir 2000 tahun setelah saksi mata terakhir, tanpa ada dukungan Alkitab setitik pun, seorang "Paus" bisa mendekritkan suatu dogma seperti itu! Tidak heran mereka tidak suka dengan Sola Scriptura! Mereka tidak bisa melakukan hal seperti ini dengan Sola Scriptura. Saya heran jika orang Katolik tidak merasa risih bahwa iman mereka dapat dengan mudah sekali berubah, bertambah, atau melenceng sama sekali, hanya karena dekrit seorang manusia belaka!


Makin saya mengerti teologi Katolik, semakin saya merasa bahwa Katolik lebih sesuai dengan Alkitab ketimbang teologi saya. Kenyataan ini sangat mengganggu saya karena saya sangat menjunjung tinggi Alkitab. Saya bangga sebagai Protestan Injili karena kita punya reputasi sebagai kaum yang meninterpretasi ayat Kitab Suci secara literal, dan kita sering dijulusi "Bible Christian". Tetapi setelah saya mempelajari interpretasi Katolik, saya merasa bahwa interpretasi Katolik lebih benar dan sesuai dengan arti teks Kitab Suci, dan memang benar adanya apa yang dituliskan oleh Mr.Keating dalam bukunya.


Pada kenyataanya, Hoge tidak menjunjung tinggi Alkitab. Kalau Hoge menjunjung tinggi Alkitab, ia tidak akan setuju dengan sistem kepausan yang membawahi semua kekristenan. Katolik percaya Petrus adalah Paus pertama. Tetapi apa yang Petrus sendiri katakan?

"Aku menasihkatkan para penatua di antara kamu, aku sebagai teman penatua dan saksi penderitaan Kristus, yang juga akan mendapat bagian dalam kemuliaan yang akan dinyatakan kelak. Gembalakanlah kawanan domba Allah yang ada padamu, jangan dengan paksa, tetapi dengan sukarela sesuai dengan kehendak Allah, dan jangan karena mau mencari keuntungan, tetapi dengan pengabdian diri. Janganlah kamu berbuat seolah-olah kamu mau memerintah atas mereka yang dipercayakan kepadamu, tetapi hendaklah kamu menjadi teladan bagi kawanan domba itu" (1 Petrus 5:1-3).

Petrus sama sekali tidak merasa bahwa dirinya berada di atas "teman penatua" lainnya. Ia bahkan dengan spesifik menentang sistem hirarki kepausan yang ada dalam Katolik, yang menempatkan "Paus" sebagai "raja" dengan para kardinal sebagai "gubernur-gubernur" nya.


Kalau Hoge menjunjung tinggi Alkitab, maka ia tidak akan menolak Sola Scriptura. Kalau Hoge menjunjung tinggi Alkitab, ia tidak akan menerima pengajaran Katolik tentang Maria. Pada kenyataannya, Hoge tidak mengerti Alkitab.


Kaum Fundamentalis menggunakan Alkitab untuk melindungi ajaran-ajaran yang tidak sesuai dengan Kitab Suci, yang di-interpretasikan sedemikian supaya membenarkan apa yang mereka pegang, meskipun umumnya kaum Fundamentalis percaya bahwa apa yang mereka percaya datang langsung dari teks Kitab Suci. Mereka tidak ragu-ragu untuk membaca secara diluar konteks kalau perlu demi untuk memelihara posisi mereka - posisi yang mendahului interpretasi atas Kitab Suci (pre-konsepsi) .


Ah, Hoge boleh saja percaya demikian, tetapi ini adalah kasus "maling teriak maling." Setiap pembaca tentunya harus membandingkan untuk dirinya sendiri, ayat-ayat Firman Tuhan yang berbicara mengenai topik-topik yang diperdebatkan. Kaum Baptis pastinya akan lebih Alkitabiah, karena Alkitab dijadikan satu-satunya standar. Katolik, sebaliknya, tidak mungkin sepenuhnya Alkitabiah, karena penafsiran mereka sudah diwarnai oleh otoritas-otoritas lain yang mereka junjung.


Saya menemukan bahwa pada kasus-kasus dimana Katolik dan Protestan tidak setuju menyangkut interpretasi Kitab Suci, ironisnya, justru adalah Katolik yang menginerpretasikan Kitab Suci secara literal, sedangkan kita Protestan memberikan interpretasi yang figuratif dan alegori. Beberapa contoh untuk menggambarkan ini:


Ketika Yesus berkata, "Kamu harus dilahirkan lewat air dan Roh," Katolik meninterpretasikan secara literal: "air" ya maksudnya "air", yakni pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa air menunjuk pada sesuatu hal yang lain, mungkin kotbah Injil, ataupun cairan ketuban dari kelahiran seorang bayi.


Contoh dari Yohanes 3:5 yang dipakai oleh Hoge ini sungguh aneh. "Air" ditafsirkan menjadi "pembaptisan" bukanlah sesuatu yang literal, melainkan penafsiran. Kalau ayat itu berbunyi "Kamu harus dilahirkan lewat baptisan dan Roh," maka "pembaptisan" secara literal adalah "pembaptisan. " Tetapi mengklaim bahwa "air" secara literal adalah "pembaptisan, " wow, itu adalah cara pintar untuk mengelabui mereka yang tidak cermat.


Yang jelas, Katolik salah ketika mereka mengatakan bahwa seseorang harus dibaptis agar diselamatkan.

"Kepala penjara itu menyuruh membawa suluh, lalu berlari masuk dan dengan gemetar tersungkurlah ia di depan Paulus dan Silas. Ia mengantar mereka ke luar, sambil berkata, 'Tuan-tuan, apakah yang harus aku perbuat, supaya aku selamat?' Jawab mereka, 'Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus dan engkau akan selamat, engkau dan seisi rumahmu'" (Kisah Para Rasul 16:29-31). Paulus sama sekali tidak menyinggung baptisan dalam jawabannya ini. Demikian juga penjahat di samping Yesus yang bertobat, bisa masuk Surga tanpa dibaptis.


Ketika Paulus berkata Yesus membersihkan gerejaNya dengan "pembasuhan air," Katolik meng-interpretasika n ini secara literal. "Pembasuhan dengan air" sama dengan "pembasuhan dengan air", satu lagi referensi terhadap pembaptisan. Tetapi sebagian Protestan mengatakan hal ini menunjuk pada sesuatu yang lain, mungkin maksudnya Kitab Suci.


Saya rasa ayat yang dimaksud oleh Hoge adalah Efesus 5:25-26:

"Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya untuk menguduskannya, sesudah Ia menyucikannya dengan memandikannya dengan air dan firman"

Tetapi Hoge, apakah dengan sengaja atau karena ia sendiri memang tidak tahu dan tertipu, lupa memberitahu bahwa ayat ini lebih jelas dalam bahasa aslinya. Frase "memandikannya dengan air dan firman" secara literal adalah: "memandikannya dengan air melalui Firman." Tidak ada kata "dan" dalam teks Yunani, melainkan preposisi "en" yang berarti "melalui" atau "dengan perantaraan. " Hal ini juga terlihat dalam Alkitab bahasa Inggris KJV:

"Husbands, love your wives, even as Christ also loved the church, and gave himself for it; That he might sanctify and cleanse it with the washing of water by the word"

Jadi, ayat ini sudah menjelaskan dirinya sendiri. Pemandian dengan air itu adalah "melalui Firman." Seseorang yang ingin mengerti ayat ini secara literal justru tidak akan melihat danya baptisan di sini. Katolik justru "menafsir" bahwa air mengacu kepada Baptisan. Itu hak mereka, tetapi mereka tidak dapat bilang bahwa ayat ini secara literal mengatakan "baptisan," karena tidak ada kata "baptis" dalam ayat ini.


Ketika Yesus berkata, "Jika kamu mengampuni dosanya, maka mereka diampuni; jika kamu tidak mengampuni, maka mereka tidak diampuni, " Katolik lagi-lagi memahaminya secara literal dan percaya bahwa Yesus memberikan otoritas kepada para rasul-rasulNya untuk mengampuni dosa dalam nama-Nya. Tetapi sebagian Protestan mengatakan bahwa ini cuma sebuah referensi atas otoritas para rasul untuk mengabarkan Injil.


Ah, sering kali sangatlah menggelitik melihat seorang Katolik berusaha mempertahankan dogma pengakuan dosa Katolik. Mereka yang bukan Katolik mungkin tidak tahu bahwa dalam pengajaran Katolik, setiap umat haruslah mengaku dosa kepada seorang imam Katolik. Pengakuan dosa ini biasanya difasilitasi oleh suatu bilik pengakuan dosa. Imam Katolik itu akan mendengarkan pengakuan dosa si orang Katolik awam, sambil mengarahkannya untuk mengaku sebanyak mungkin dosa. Pada akhir pengakuan dosa, imam itu akan menyatakan bahwa dosa sudah diampuni. Tanpa pengumuman itu dari seorang imam, maka jiwa yang berdosa itu terancam masuk neraka atau api penyucian.

Tidak sulit untuk dibayangkan bahwa dogma seperti ini sangatlah rentan untuk disalahgunakan. Pengampuan dosa atas seorang manusia, yang dapat menentukan keselamatan jiwanya yang kekal, diletakkan pada seorang manusia yang fana yang juga berdosa. Sudah tidak terbilang skandal-skandal yang terjadi karena dogma ini. Para imam mantan Katolik sendiri telah membongkarnya, bagaimana para wanita yang mengaku dosa kepada para "pater" sering justru dijerumuskan ke dalam dosa yang lebih besar lagi. Chiniquy, seorang imam Katolik yang bertobat, telah mendokumentasikanny a dalam buku The Priest, The Woman and The Confessional.

Apakah ada dukungan Alkitab untuk dogma "pengakuan dosa" seperti ini? Sama sekali tidak ada. Dalam Kisah Para Rasul, tidak ada seorangpun yang mengaku dosa kepada seorang Rasul atau seorang "hamba Tuhan" manapun untuk mendapatkan pengampunan. Dalam surat-surat Paulus dan surat-surat lainnya, sama sekali tidak ada disinggung masalah mengaku dosa kepada seorang imam. Sebaliknya:

"Karena itulah hendaklah kamu saling mengaku dosamu dan saling mendoakan... " (Yakobus 5:16). Orang percaya disuruh untuk SALING mengaku dosa. Jika seseorang berlaku salah terhadap saudaranya, ia harus mengaku salah kepada saudara itu. Jadi, barangsiapa yang salah, ia patut mengaku salah kepada yang telah ia rugikan. Ini bertentangan alur Katolik yang satu arah: umat mengaku kepada imam dalam sakramen "pengakuan dosa." Lalu jika imam salah, apakah ia mengaku kepada umat? Hmmm, tidak dalam Katolik.

"Jika kita mengaku dosa kita, maka Ia adalah setia dan adil, sehingga Ia akan mengampuni segala dosa kita dan menyucikan kita dari segala kejahatan" (1 Yohanes 1:9).

Perhatikan kata "Ia" dalam ayat ini, yang mengacu kepada Yesus Kristus. "Ia" bukan mengacu kepada Rasul atau imam, tetapi kepada Yesus! Perhatikan konteksnya, dan anda akan tahu siapa yang mengambil ayat di luar konteks. Jadi Alkitab mengajarkan kita untuk mengaku dosa kepada Yesus, dan kepada orang yang telah kita salahi. Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk mengaku dosa kepada "imam" atau "rasul" dan bahwa mereka punya kuasa untuk menyatakan dosa kita diampuni atau tidak.

Lalu bagaimana dengan ayat yang dikutip oleh Hoge dalam Yohanes 20:23? "Jikalau kamu mengampuni dosa orang, dosanya diampuni, dan jikalau kamu menyatakan dosa orang tetap ada, dosanya tetap ada."

Pertama, sekali lagi perhatikan konteks ayat ini. Katolik ingin menafsirkan bahwa ayat ini hanya berlaku untuk para "rasul" dan orang-orang yang mewarisi kuasa rasul. Tetapi ayat ini bukanlah ditujukan kepada para Rasul, melainkan kepada murid-murid Yesus pada umumnya (lihat ayat 19). Lagipula, Alkitab tidak mengajarkan bahwa kuasa Rasul bisa diturunkan.

Kedua, frase "dosanya diampuni" dan "dosanya tetap ada" berada dalam Perfect Tense. Berarti, pengampunan dosa itu bukan terjadi saat pengakuan dosa itu di hadapan imam, melainkan, bahwa pengampunan dosa itu sebenarnya sudah diselesaikan oleh Yesus Kristus di atas salib.

Ketiga, baiklah para Rasul sendiri menjadi penafsir ayat ini. Apakah kita membaca di Kisah Para Rasul bahwa Petrus dan teman-temannya ada menerima pengakuan dosa umat dalam bilik-bilik tertutup? Jauhlah dari pada itu! Sebaliknya, pengampunan apakah yang mereka serukan?

Petrus berseru: "Karena itu sadarlah dan bertobatlah, supaya dosa dihapuskan.. ." (Kisah Para Rasul 3:19). Saya rasa cukup jelas bagaimana para Rasul mengartikan kata-kata Yesus.


Lagi, ketika Yesus berkata, "Inilah tubuh-Ku," dan "barangsaiapa makan dagingKu dan minum darahKu mendapat hidup yang kekal, " Katolik memahaminya secara literal. Ekaristi adalah tubuh-Nya dan sungguh-sungguh daging dan darah-Nya, meskipun tidak tampak demikian. Tetapi umumnya Protestan mengatakn roti dan anggur tetap sebagai roti dan anggur dan bahwa sekali lagi kita tidak boleh mengambil kata-kata Yesus secara literal.


Ah, Katolik berpura-pura untuk menjunjung tinggi literalitas di sini. Alkitab, sebagai suatu karya tulis pastilah memiliki elemen-elemen ilustrasi atau simbolik. Apakah orang Katolik percaya bahwa Yesus terbuat dari kayu, ketika Tuhan berkata "Akulah pintu" (Yohanes 10:9)? Saya harap mereka belum segila itu. Terjadi kekacauan yang sangat besar karena ketika suatu perikop seharusnya menafsirkan secara literal, Katolik menafsirkannya secara alegoris. Sedangkan ketika perikop itu jelas bersifat alegoris, mereka menafsirkannya secara literal.

Apakah benar bahwa roti dan anggur yang dikonsumsi saat Perjamuan Tuhan adalah literal daging dan darah Yesus? Jelas tidak.

Pertama, tekstur dan rasanya tetaplah tekstur dan rasa roti dan anggur. Bagaimanakah itu bisa disebut daging dan darah secara "literal" kalau secara kimiawi masih roti dan anggur? Katolik mengatakan bahwa perubahan itu terjadi secara misterius dan tidak dapat dideteksi oleh manusia. Wah...sungguh alasan yang sangat jitu untuk menghindari penyelidikan yang teliti.

Kedua, jika diartikan secara literal, maka orang-orang Katolik yang ikut "ekaristi" itu telah menjadi pemakan daging manusia! Ini tentunya bertentangan dengan bagian Firman Tuhan lainnya yang sangat mengecam kanibalisme!

Ketiga, dogma "transubstansiasi" ini (bahwa roti dan anggur berubah menjadi daging dan darah Yesus secara literal) berarti Yesus harus terkoyak lagi dagingNya dan tercurah lagi darahNya setiap dilakukan "ekaristi." Artinya, Yesus terus menderita hingga saat ini, pengorbananNya belum selesai! Artinya Yesus berulang-ulang kali mengorbankan diriNya, lagi dan lagi, setiap kali "ekaristi" dilakukan. Tetapi apa kata Alkitab?

"Dan Ia bukan masuk untuk berulang-ulang mempersembahkan diriNya sendiri, sebagaimana Imam Besar setiap tahun masuk ke dalam tempat kudus dengan darah yang bukan darahnya sendiri. Sebab jika demikian Ia harus berulang-ulang menderita sejak dunia ini dijadikan. Tetapi sekarang Ia hanya satu kali saja menyatakan diriNya, pada zaman akhir untuk menghapuskan dosa oleh korbanNya. Dan sama seperti manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi, demikian pula Kristus hanya satu kali saja mengorbankan diriNya untuk menanggung dosa banyak orang. Sesudah itu Ia akan menyatakan diriNya sekali lagi tanpa menanggung dosa untuk menganugerahkan keselamatan kepada mereka, yang menantikan Dia" (Ibrani 9:25-28).

Pembaca silakan memutuskan, manakah yang lebih sesuai dengan Alkitab, bahwa Yesus dagingNya tercabik dan darahNya tercurah lagi setiap kali "ekaristi" atau bahwa roti dan anggur itu hanyalah simbol dari daging dan darahNya saja!


Ketika Yakobus berkata, "Kamu lihat bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatan nya dan bukan hanya karena iman," Katolik memahaminya secara literal. "Bukan hanya karena iman" sama dengan "bukan hanya karena iman." Tetapi Protestan bersikeras bahwa "bukan hanya karena iman" sesungguhnya artinya kita dibenarkan oleh iman saja. Ini sebenarnya adalah salah satu doktrin inti Protestanisme, yakni Sola Fide.


Betapa Hoge tidak mengerti tentang keselamatan yang sedemikian sederhana! Saya sudah kutipkan Efesus 2:8-9 yang dengan tegas mengatakan bahwa keselamatan itu adalah melalui iman, bukan melalui perbuatan atau usaha manusia. Bagaimana dengan pernyataan Yakobus bahwa manusia dibenarkan karena perbuatan-perbuatan nya? Kunci ada pada konteksnya, dan pembaca silakan membaca keseluruhan Yakobus pasal 2. Yakobus sedang berhadapan dengan orang-orang yang berpura-pura beriman (seperti Hoge), tetapi yang sebenarnya tidak beriman. Ketika Paulus menulis bahwa keselamatan itu hanyalah melalui iman, ia berasumsi bahwa iman tersebut adalah iman yang benar! Sebaliknya, Yakobus berhadapan dengan orang-orang yang beriman palsu! Apakah yang dapat membedakan iman benar dari iman palsu? Produknya! Produk dari iman yang benar adalah perbuatan yang benar. Produk dari iman yang salah adalah perbuatan yang tidak benar. Jadi, Yakobus merumuskan bahwa perbuatan seseorang dapat menjadi indikator apakah orang itu dibenarkan atau tidak. Alkitab tidak mungkin bertentangan dengan bagian Alkitab lainnya. Paulus benar ketika mengatakan bahwa hanya iman yang menyelamatkan, karena memang usaha manusia tidak mungkin memadai di mata Tuhan. Yakobus juga benar, ketika ia berkata bahwa hanya "pengakuan iman" saja tidak menyelamatkan, itu hanya omongan belaka! Iman yang benar akan diikuti oleh perbuatan yang benar, dan itulah yang membenarkan manusia, karena perbuatan yang benar muncul dari iman yang benar. Dan cocok dengan Paulus, iman yang benar itulah yang menyelamatkan.


Sungguh ironis! Tampak bagi saya bahwa teologi Katolik biasanya membiarkan ayat Kitab Suci memiliki arti sebagaimana tertulis, tanpa tafsiran dan pelintiran bahasa yang ruwet yang kadang diperlukan untuk mendukung teologi Protestan. Saya merasa tidak nyaman bahwa banyak ayat-ayat yang problematis dalam Kitab Suci, muncul karena saya memaksakan pengertian Protestan terhadap Kitab Suci. Pemahaman Katolik tampak lebih cocok dengan mudahnya.


Ah, betapa Hoge mengambil contoh-contoh yang sangat selektif. Ia tidak menyinggung tentang:

1. Katolik tidak percaya secara literal bahwa "semua manusia sudah berdosa" (Rom. 3:10, 23), karena mereka punya doktrin Immaculate Conception yang mengatakan bahwa Maria lahir dan hidup tanpa dosa.

2. Katolik tidak percaya bahwa Yesus punya saudara-saudara kandung (Matius 13:55-56), karena mereka mengajarkan bahwa Maria tetap perawan setelah melahirkan Yesus (bertentangan juga dengan Matius 1:24-25).

3. Katolik tidak percaya bahwa orang percaya tidak akan lagi dihukum (Roma 8:1), karena mereka berpegang pada doktrin api penyucian.

4. Masih banyak lagi yang lain.


Dalam riset saya, saya juga membaca sejumlah tulisan-tulisan perdana orang-orang Kristen, yakni orang-orang yang belajar injil langsung dari para rasul, atau dari penerus sesudahnya. Sebagai seorang Protestan saya tidak pernah mendengar hal ini. Saya tidak pernah mendengar tentang murid rasul Yohanes, Ignatius dari Antiokia dan Polycarpus dari Smyrna. Saya juga tidak pernah mendengar tentang Irenaus ataupun Yustinus Martir. Saya tidak tahu bahwa orang-orang ini dan sejumlah orang lainnya meninggalkan tulisan-tulisan yang dapat memberi pencerahan menyangkut iman Gereja perdana. Dalam masa 12 tahun saya sebagai Protestan tidak seorangpun pernah memberitahukan saya bahwa murid-murid para rasul meninggalkan kita tulisan-tulisan yang menjadi saksi atas iman apostolik yang sejati. Tidakkah ini hal yang aneh? Kita sesungguhnya memiliki komentar Kitab Suci dari abad ke-2, yang sebagian ditulis oleh orang-orang yang mengenal para penulis Kitab Suci secara pribadi. Mengapa kita mengabaikan sumber yang luar biasa ini? Kita Protestan percaya bahwa Roh Kudus berbicara pada kita, maka bukankah sudah sepantasnya melihat apa yang Dia katakan kepada murid-murid dari para rasul-rasulNya, yang banyak diantaranya menyerahkan nyawanya ketimbang menyangkal iman mereka?


Tentu saja Hoge akan mendapatkan lebih banyak pembahasan tentang tulisan "Bapa Gereja" dari Katolik, karena para "Bapa Gereja" ini adalah salah satu otoritas Katolik. Bagi orang Baptis, Alkitab adalah standar tertinggi. Membaca karya para Kristen pendahulu boleh saja, tetapi mereka bukanlah standar yang tidak dapat salah. Bahwa Hoge tidak pernah mendengar tentang Ignatius dan Polycarpus, mengindikasikan bahwa memang dia belum banyak mendapat pengajaran sewaktu masih di Protestan. Di gereja saya, tokoh-tokoh ini disinggung dalam khotbah-khotbah, terutama dalam hal keberanian mereka menjadi martir bagi Kristus.


Saya pribadi jelas ingin mengetahui apa yang mereka katakan. Orang-orang ini mengenal para rasul, hidup dalam kultur yang sama, berbicara dalam bahasa yang sama, dan sangat mungkin membaca salinan-salinan asli dari kitab-kitab Perjanjian Baru dalam bahasa asli mereka. Kalau ada seseorang yang tahu interpretasi Kitab Suci yang benar, maka mereka pastilah orangnya. Maka saya membaca semua surat-surat Ignatius dari Antiokia, dan Polycarpus dari Smyrna, keduanya adalah murid-murid rasul Yohanes. Saya membaca tulisan Irenaeus dari Lyons, yang adalah murid Polycarpus. Saya membaca surat kepada jemaat di Korintus yang ditulis oleh Clement. Saya juga membaca bagian dari surat Yustinus Martir kepada kaisar Romawi, Antonius Pius, yang ditulis dalam memori para rasul, dan yang mencoba menjelaskan iman Kristen kepada seorang bukan Kristen.


Memang inilah mentalitas yang ingin dibangun oleh Katolik. Tidak pelru anda memikirkan sendiri apa kata Alkitab, tetapi ada orang-orang yang jauh lebih tahu, apakah karena mereka hidup dekat para Rasul, ataukah mereka telah ditunjuk langsung oleh Allah (Paus). Penafsiran mereka PASTI benar, bukan?


Tampak sangat jelas bagi saya bahwa Gereja abad ke-2 sangat menyerupai Gereja Katolik dalam hal kepercayaannya ketimbang gereja saya yang mengaku berdasarkan Alkitab. Ignatius, murid rasul Yohanes, bahkan mengidentifikasi Gereja sebagai "Gereja Katolik". Mereka memiliki uskup-uskup, imam-imam dan deakon-deakon; mereka percaya mereka bisa kehilangan keselamatannya; mereka percaya regenerasi pembaptisan (membawa kelahiran baru); mereka menganggap Ekaristi sebagai suatu kurban, dan bahwa Ekaristi sungguh-sungguh adalah Tubuh dan Darah Kristus, dan mereka percaya suksesi para uskup di Gereja adalah standar keortodoksan iman Kristen. Mereka memporak-porandakan asumsi saya mengenai Gereja perdana. Saya selama ini selalu berasumsi bahwa Gereja perdana intinya adalah Protestan dalam doktrin-doktrinnya dan doktrin-doktrin Katolik adalah hasil korupsi iman yang muncul sekitar abad ke-5. Ternyata tidak demikian halnya. Bahkan saya tidak dapat menemukan bukti-bukti bahwa doktrin-doktrin Protestan seperti Sola Scriptura dan Sola Fide sudah ada sejak jaman Gereja perdana. Ini sungguh membuat saya tercengang-cengang, dan mengingatkan saya pada kata-kata terkenal dari mendiang mantan Anglikan terkenal, John Henry Newman, "Untuk mendalami sejarah adalah untuk berhenti menjadi seorang Protestan."


Penyelewengan sejarah memang mudah dilakukan terhadap mereka yang tidak mengecek langsung kebenarannya. "Uskup" dalam bahasa abad kedua mengacu kepada gembala sidang. Diaken memang dimiliki dalam Alkitab, dan diterapkan oleh gereja Baptis. Alkitab mengajarkan keimamatan semua orang percaya (1 Petrus 2:9), dan demikianlah dimengerti oleh gereja mula-mula. Permasalahnnya adalah, banyak gereja di abad kedua sudah menyimpang. Mengapakah saya harus puas untuk meniru gereja abad kedua, yang dikenal melalui tulisan-tulisan rapuh yang bisa salah dan bisa benar? Padahal saya bisa meniru gereja abad pertama sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci yang pasti benar? Yang jelas gereja-gereja dalam Alkitab (Efesus, Filipi, Kolose, dll.) tidak mengenal istilah ekaristi, melainkan Perjamuan Tuhan, yang adalah suatu peringatan simbolik, bukan kurban. Tidak ada hirarki gereja dalam Alkitab, dan tidak ada suksesi Rasul. Sola Scriptura dan Sola Fide teranyam dalam seluruh halaman Kitab Suci sebagaimana sudah saya terangkan. Sejak abad kedua, telah ada dua alur, yaitu gereja yang sesat yang akan semakin kuat secara politis tetapi mati secara rohani, dan gereja yang benar, yang lemah secara politis tetapi memiliki kebenaran. Banyak orang berpikir bahwa gereja non-Katolik baru mulai di zaman Martin Luther. Betapa salah konsep ini! Oleh sebab itulah saya tegaskan bahwa gereja Baptis bukanlah gereja Protestan. Gereja Baptis sudah ada sejak zaman para Rasul, dan tidak pernah bergabung dengan Katolik. Di abad keempat hingga kelimabelas, gereja Baptis (dengan berbagai nama lain: Bogomil, Novatian, Waldensis, Ana-Baptis) sudah eksis di bawah tanah, dianiaya dan dikejar oleh Katolik yang berkuasa (ingat inkuisisi). Tidak benar bahwa Katolik adalah ibu dari semua gereja. Gereja Baptis tidak pernah berasal dari Katolik!


Semua ini mengguncangkan saya tetapi saat ini saya berusaha melihat secara obyektif. Saya merasa beruntung karena saya datang pada iman Kristen sebagai orang dewasa. Karena saya tidak dibesarkan dalam iman Kristen Baptis, tidak tertutup kemungkinan buat saya bahwa ada kesalahan. Oleh karena itu saya keluar dari lingkaran dan mencoba melihat denominasi saya dan teologi saya secara seobyektif mungkin. Saya heran menyadari bahwa teologi injili yang saya pegang ada fenomena di Amerika yang umurnya tidak lebih dari seratus lima puluh tahun, jauh lebih muda dari jaman para rasul. Setelah membaca tulisan umat Kristen perdana, saya tahu bahwa mereka pasti menolak teologi yang saya anut sebagai "injil yang lain" (Gal 1:6-8).


Hoge tidak pernah benar-benar mengerti iman Kristen Baptis. Dia bahkan pindah gereja 12 kali menurut pengakuan dia sendiri. Dia bahkan tidak tahu sejarah Baptis, jika dia mengatakan bahwa "fenomena" ini baru ada 150 tahun. Jika pembaca ingin tahu sejarah Baptis hingga ke zaman para Rasul, bacalah sejarah Baptis, seperti: Cermin para Martir, I Will Build My Church, dan Tak Kenal Maka Tak Cinta.


Setelah semua yang saya pelajari, saya harus mengakui bahwa penjelasan Katolik menyangkut Kitab Suci dan sejarah jauh lebih benar ketimbang penjelasan denominasi saya, dan saya menyadari bahwa jika saya ingin terus menjadi "umat Kristen yang percaya Alkitab", saya harus menjadi Katolik. Sejauh yang dapat saya katakan, penjelasan Katolik tentang iman Kristen adalah konsisten dengan makna sederhana dari Alkitab, dan konsisten dengan apa yang dipercaya oleh umat Kristen perdana dari jaman apostolik hingga ke jaman Reformasi.


Protestantisme, di lain pihak, berlandaskan pada dua doktrin yang tidak didukung oleh Kitab Suci, dan yang sepenuhnya absen dari sejarah Kristen sebelum Reformasi. Saya tidak melihat bahwa Protestanisme adalah kembali ke kemurnian Kristen perdana, seperti telah diajarkan kepada saya sebelumnya, karena Gereja perdana adalah Gereja Katolik. Oleh karena itu saya menyimpulkan, dengan perasaan sedih, bahwa Protestanisme bukanlah "reformasi" iman sama sekali, tetapi korupsi iman. Meskipun begitu, meskipun pemecah-belahan Gereja adalah suatu hal yang tragis, Allah telah membawa hal yang baik daripadanya. Sekarang ini, Protestan Injili adalah termasuk umat Kristen yang terbaik dan paling berdedikasi di dunia. Sulit untuk menyalahkan dalam hal ini. Oleh karena itu saya membuat suatu website untuk membantu orang-orang baik ini, para saudara-saudari saya dalam Kristus, untuk mengerti sebenarnya tentang Gereja Katolik.


Hoge bebas untuk menarik kesimpulan dia sendiri, walaupun kesimpulan itu salah total. Pembaca kiranya memiliki hikmat untuk bisa merenungkan Firman Tuhan, dan melihat betapa jauhnya Katolik telah bergeser dari Alkitab.

Saya heran, mengapa Hoge sama sekali tidak menyinggung tentang Maria dalam kesaksiannya ini? Padahal Maria merupakan salah satu topik paling utama dalam hal-hal yang berkaitan dengan Katolik. Saya rasa Hoge tahu bahwa akan sulit baginya untuk mempertahankan doktrin Katolik tentang Maria, makanya lebih baik ia tidak singgung. Sayang sekali, karena saya sangat penasaran, bagaimana Hoge akan menyocokkan pengajaran Katolik tentang Maria ke dalam Alkitab:

1. Katolik mengajar dan menghimbau umatnya untuk berdoa kepada Maria. Hal ini absen sama sekali dalam Alkitab, bahkan tindakan berdoa kepada Maria adalah tindakan penghujatan dan menuhankan Maria. Doa adalah komunikasi seseorang dengan Tuhan. Doa dapat dilakukan dalam hati. Dapatkah Maria tahu hati seseorang? Ia haruslah Tuhan jika demikian. Bisa jadi beribu-ribu orang berdoa pada saat yang sama. Jika Maria mampu mendengarkan semua itu, ia harus menjadi Tuhan.

2. Katolik memberikan gelar-gelar yang tidak Alkitabiah kepada Maria: Queen of Heaven, Mother of God, Immaculate (tidak bercacat), Co-Redemptrix (ko-Penyelamat) , Seat-of-Wisdom, Most Holy (maha kudus, suatu gelar yang hanya bagi Allah), dll. Semua ini menuhankan Maria, dan sama sekali tidak Alkitabiah.

3. Katolik mengajarkan bahwa Maria maha hadir dan maha tahu, padahal sifat ini hanyalah milik Allah. Lihat di http://graphe- ministry. org/articles/ ?p=371

4. Katolik mengajarkan bahwa Maria tetap perawan (tidak bersetubuh dengan Yusuf), padahal Alkitab mengajarkan sebaliknya (Matius 1:25; 13:55-56).

5. Katolik mengajarkan bahwa Maria adalah perantara antara kita dengan Yesus atau dengan Bapa. Alkitab tidak pernah mengajarkan bahwa Maria adalah pegantara. Malah, Alkitab mengajarkan bahwa hanya ada satu pengantara antara Allah dan manusia, yaitu Yesus Kristus (1 Timotius 2:5).

6. Katolik mengajarkan bahwa Maria diangkat ke Surga. Dogma ini baru ditetapkan tahun 1950 oleh Paus Pius XII, dan tidak perlu dijelaskan lagi sama sekali tidak ada dalam Alkitab.

Saya sungguh ingin Hoge menjelaskan bagaimana semua ini membuat Katolik lebih Alkitabiah. Satu hal yang pasti, setiap orang akan mempertanggungjawab kan apa yang ia percaya di hadapan Tuhan. Oleh karena itu, janganlah mendasarkan iman pada perkataan orang, atau pada suatu "gereja," tetapi kepada Firman Tuhan yang tidak mungkin salah.

No comments: