Anda tidak merasa asing dengan judul di atas? Pertama kali saya melihatnya terpampang dalam sebuah iklan di pinggir jalan. Saat itu pikiran saya jadi sulit konsentrasi berkendaraan. Iklan ini bukan hanya promosi produk tetapi filsafat hidup. Justru karena itulah pikiran Kristen saya terus berkecamuk. Mengapa? Karena Kekristenan saya adalah sebuah filsafat hidup dan saya melihat pesaing dari filsafat hidup saya dipromosikan dengan segar plus vulgar di mana-mana.
Benarkah kegagalan = enjoy yang tertunda dan bukan sukses yang tertunda?
Suatu kali saya pergi ke sebuah toko buku terkenal dan mengecek jumlah buku yang judulnya mengandung kata “sukses” dan “bahagia”. Hasilnya, buku tentang kesuksesan lebih banyak daripada buku tentang kebahagiaan. Apakah itu berarti manusia lebih suka sukses daripada bahagia? Rasanya tidak! Justru banyak orang berpikir bahwa kebahagiaan adalah akibat dari kesuksesan. Pola pikir ini rasanya sedang didepak oleh iklan yang kita bahas.
Dengan mencoret kata “sukses” dan menggantinya dengan “enjoy” secara jelas filsafat hidup ini menolak bahwa segala sesuatu harus dikaitkan dengan kesuksesan. Hidup bukanlah untuk sukses tetapi untuk kenikmatan. Kenikmatan lebih penting dari pada sukses. Singkatnya, enjoy merupakan sesuatu yang perlu kita kejar lebih daripada sukses. Bukankah sukses dikejar justru untuk enjoy? Iklan dari produk yang sama pernah digambarkan dengan – seorang pria dan seorang wanita yang berbicara kepadanya, tetapi kata-kata wanita itu hanya lewat kuping kiri keluar kuping kanan. Kemudian “enjoy aja” muncul sebagai ekspresi dari pria tersebut. Apa yang mau ditawarkan jelas sekali “kenikmatan saya, tidak akan saya ijinkan untuk direbut oleh cerewetnya omonganmu”. Bahkan tidak lulus ujian pun tidak perlu dipusingkan. Hidup ini kan singkat jadi enjoy aja apa pun yang terjadi.
Filsafat di balik iklan ini amat berbahaya. Enjoyment is the ultimate good! Apa yang terbaik untuk diraih oleh manusia adalah kenikmatan. Ini bukan barang baru! Kita bisa menelusurinya sejak 4 abad sebelum masehi. Saat itu, filsuf Yunani bernama Aristippus sudah mempropagandakannya . Ia percaya bahwa kenikmatan adalah tujuan hidup manusia. Lebih jelas lagi, kenikmatan yang dimaksudkannya adalah kenikmatan jasmani. Ajaran Aristippus ini dilengkapi oleh Epicurus yang percaya bahwa kenikmatan secara moral benar dan ketidaknikmatan secara moral salah. Sederhananya, jika Anda hidup kurang senang, kurang nikmat anda bukannya kurang beruntung tetapi salah secara moral!
Filsafat ini kerennya disebut HEDONISME. Filsafat ini benar-benar racun yang manis bagi jiwa! Racun karena konsep benar dan salah dibuat tidak relevan oleh iklan ini (mirip postmodernisme aja!). Bukan benar atau salah yang penting, tetapi nikmat atau tidak nikmat, senang atau tidak senang itulah yang terpenting. Jika merokok, main game seharian, ngerjain orang, berjudi bola, free seks dapat membuat Anda nikmat… abaikan saja kata-kata peringatan dari pemerintah atau siapa pun. Peduli amat! Selanjutnya, filsafat ini jelas manis karena masuk akal, menyenangkan hati sehingga banyak orang terpikat olehnya.
Sebagai pesaing dari filsafat hidup menurut Alkitab, hedonisme ini harus disingkirkan dari pikiran orang Kristen, jika tidak, jelas bahwa kita adalah orang Kristen yang tidak konsisten. Agar tidak salah paham, beberapa komentar perlu diberikan disini.
Pertama-tama, perlu kita tegaskan bahwa Kekristenan tidak anti kenikmatan, kesenangan dan kebahagiaan. Orang-orang Kristen yang konsisten banyak yang hidup bahagia di dunia ini. Kenikmatan dalam dirinya sendiri tidaklah salah. Alkitab juga tidak pernah menghambat kenikmatan kita. Kitab Kidung Agung berbicara tentang kenikmatan cinta dan seks yang diberikan Allah dalam konteks pernikahan. Kitab Pengkotbah berbicara tentang menikmati makanan, minuman, pekerjaan dan kekayaan sebagai berkat dari Allah (Pkh. 2:24; 5:18).
Jadi, kita tidak perlu menjadi orang Kristen yang menyiksa diri seperti yang diteladankan beberapa tokoh gereja dalam sejarah. Banyak di antara mereka berpikir bahwa dengan menyiksa diri maka mereka akan semakin serupa Kristus. Spritualitas asketisme semacam ini jelas tidak sesuai Alkitab. Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk mengejar penderitaan. Alkitab mengajarkan bahwa penderitaan adalah fakta universal (Rm. 8:18-22) dan khususnya menderita karena kebenaran adalah sebuah kebahagiaan (Mat. 5:10-11).
Di sisi lain, Alkitab juga tidak mengajarkan kita untuk mengejar kesenangan dan kenikmatan. Sebaliknya, Alkitab mengajar kita untuk menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Yesus (Mrk. 8:34). Dalam penyangkalan diri ini kita dituntut untuk mengutamakan kebenaran di atas kesenangan. Teladan Yesus telah tersedia bagi kita! Ia jelas tidak merasakan kenikmatan ketika mati di kayu salib! Ia menderita! Peluhnya menjadi seperti titik-titik darah yang bertetesan ke tanah pada malam sebelum ia disalibkan (Luk. 22:44). Namun Ia menderita dengan satu misi yaitu menyelamatkan orang berdosa! Jika Yesus adalah penganut hedonisme, ia pasti tidak akan mau mati bagi kita.
Jadi, “apakah kegagalan adalah enjoy yang tertunda” merupakan pernyataan yang salah total? Tidak juga! Gagal makan es krim karena tak sengaja menjatuhkannya memang mengakibatkan nikmatnya makan es krim jadi tertunda. Tetapi jika “enjoy aja” telah merasuki pikiran kita sebagai suatu filsafat hidup, hal yang terpenting dalam hidup, maka itu berarti kita adalah pengikut Aristippus dan Epicurus, bukan Yesus. Jika kita mengutamakan kesenangan daripada kebenaran, maka kita harus berganti agama menjadi semacam Aristippunian atau Epicurian, bukan Kristen.
Semoga refleksi sederhana ini mengasah akal budi Kristiani kita. Sambil mengingat nasehat Paulus kepada Timotius “Awasilah dirimu sendiri dan awasilah ajaranmu. Bertekunlah dalam semuanya itu, karena dengan berbuat demikian engkau akan menyelamatkan dirimu dan semua orang yang mendengar engkau” (1Tim. 4:16).
Profil Penulis: Ev. Bedjo Lie, S.E., M.Div. adalah Kepala Pusat Kerohanian (Pusroh) dan dosen Filsafat Agama dan Christian Worldview di Universitas Kristen Petra, Surabaya. Beliau menyelesaikan studi Sarjana Ekonomi (S.E.) di UK Petra, Surabaya dan Master of Divinity (M.Div.) di Seminari Alkitab Asia Tenggara (SAAT) Malang. Beliau mendapat sertifikat dari Ravi Zacharias International Ministry, Academy of Apologetics, India.
Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio
“The evil in our desires often lies not in what we want, but in the fact that we want it too much.”
(Dr. John Calvin; paraphrased by Dr. David Powlison; as quoted in Rev. C. J. Mahaney, Worldliness: Resisting the Seduction of a Fallen World, ed. C. J. Mahaney, p. 20)
No comments:
Post a Comment