Thursday, November 11, 2010

Pidato Lengkap Obama di Balairung Universitas Indonesia

TEMPO Interaktif, Jakarta - Presiden Amerika Barack Obama sekitar pukul 09.30 tadi pagi memberikan kuliah umum di Universitas Indonesia. Kuliah umum di Balairung Universitas Indonesia tersebut dihadiri sekitar 6.000 orang dari berbagai kalangan.

Berikut adalah pidato Presiden Obama yang disalin dari situs resmi gedung putih, whitehouse.gov:

Terima kasih. Terima kasih, terima kasih banyak, terima kasih kepada semuanya. Selamat pagi. (saat mengucapkan kata-kata ini dalam bahasa Indonesia, Obama disambut tepuk tangan meriah). Merupakan hal ini yang indah dan menyenangkan berada di sini, di Universitas Indonesia. Kepada pihak fakultas, staf, dan mahasiswa, dan untuk Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, terima kasih banyak atas keramahan Anda. (lagi-lagi peserta kuliah umum bertepuk tangan)

Assalamu Alaikum dan salam sejahtera. Terima kasih atas sambutan yang indah ini. Terima kasih kepada masyarakat Jakarta dan terima kasih kepada masyarakat Indonesia.

Pulang kampung nih. (Diucapkan dalam Bahasa Indonesia, tepuk tangan bergemuruh lagi) Saya sangat senang karena saya berhasil kembali ke Indonesia dan Michelle bisa datang bersama saya. Kami sempat beberapa kali membatalkan kunjungan sejak awal tahun ini, tapi saya bertekad untuk mengunjungi negara yang sangat berarti bagi saya. Dan sayangnya, kunjungan ini terlalu singkat, tapi saya berharap bisa datang kembali tahun depan ketika Indonesia menjadi tuan rumah KTT Asia Timur. (Tepuk tangan)

Sebelum melanjutkan pidato ini, saya ingin mengajak semuanya untuk mendoakan warga Indonesia yang terkena dampak tsunami baru-baru ini dan letusan gunung berapi, terutama mereka yang telah kehilangan orang yang dicintai, dan mereka yang telah kehilangan segalanya. Dan saya ingin Anda semua tahu bahwa seperti biasa, Amerika Serikat akan berdiri berdampingan berdiri dengan Indonesia dalam menghadapi bencana ini. Dan kami akan senang hati membantu jika diperlukan. Sebagai tetangga, dan keluarga, pasti akan saling membantu sesama pengungsi. Saya tahu bahwa rakyat Indonesia memiliki kekuatan dan ketahanan untuk bisa melewati ini semua.

Saya akan mulai sambutan ini dengan pernyataan sederhana: Indonesia bagan dari diri saya. (Tepuk tangan) Saya pertama kali datang ke negara ini ketika ibu saya menikah dengan seorang Indonesia bernama Lolo Soetoro. Dan sebagai anak muda, saya datang ke bagian dunia yang berbeda. Tetapi rakyat Indonesia dengan cepat membuat saya merasa berada di rumah sendiri.

Jakarta sekarang, tampak sangat berbeda dengan dulu. Kota ini penuh dengan bangunan tinggi. Pada tahun 1967, '68, sebagian besar dari Anda belum lahir (Obama mengucapkan ini sambil tertawa), Hotel Indonesia adalah salah satu bangunan tinggi dan hanya ada satu department store besar bernama Sarinah. Itu dia. (Tepuk tangan) Becak dan bemo, bisa kita temukan dengan mudah di sekitar kita. Tidak ada jalan raya besar seperti yang Anda miliki saat ini. Kebanyakan dari mereka jalan di jalan beraspal dan kampung-kampung.

Jadi kami pindah ke Menteng Dalam, dimana - (tepuk tangan) - hei, beberapa orang dari Menteng Dalam yang datang ke sini? (Tepuk tangan) Dan kami tinggal di sebuah rumah kecil. Kami memiliki pohon mangga di depan rumah. Dan saya belajar untuk mencintai Indonesia dengan menerbangkan layang-layang dan berjalan di sepanjang pematang sawah dan menangkap capung, membeli sate dan bakso dari pedagang kaki lima. (Tepuk tangan) Saya masih ingat teriakan dari penjualnya. Sate! (Tertawa) Saya ingat itu. Bakso! (Tertawa) Tapi sebagian besar dari semua, saya ingat orang-orang, - orang tua dan wanita yang menyambut kami dengan senyum, anak-anak yang membuat anak asing merasa seperti seorang tetangga dan seorang teman, dan guru yang membantu saya belajar tentang negara ini.

Karena Indonesia terdiri dari ribuan pulau, dan ratusan bahasa, dan orang-orang dari sejumlah daerah dan kelompok etnis, hal itu membantu saya ketika saya di sini, untuk menghargai hubungan antar manusia dan kemanusiaan dari semua orang. Dan ayah tiri saya, seperti sebagian besar orang Indonesia, dibesarkan oleh seorang Muslim, ia sangat yakin bahwa semua agama layak dihormati. Dan dengan cara ini - (tepuk tangan) - dengan cara ini ia mencerminkan semangat toleransi umat beragama yang diabadikan dalam konstitusi Indonesia, dan tetap menjadi salah satu karakteristik yang inspiratif. (Tepuk tangan)

Saya tinggal di sini selama empat tahun - waktu yang cukup membantu membentuk masa kecil saya. Ada waktu melihat kelahiran adik saya yang luar biasa, Maya, ada waktu yang membuat saya terkesan pada ibu saya karena dia terus kembali ke Indonesia selama 20 tahun berikutnya untuk hidup dan bekerja dan melakukan perjalanan - demi kecintaannya dengan berkesempatan mempromosikan berbagai hal di desa-desa di Indonesia, terutama kesempatan bagi perempuan dan anak-anak. Dan saya sangat tersanjung - (tepuk tangan) - Saya sangat tersanjung ketika Presiden Yudhoyono tadi malam saat makan malam, negara memberikan penghargaan atas nama ibuku, mengakui pekerjaan yang dia lakukan. Dan dia akan sangat bangga, karena ibu saya berpegang pada Indonesia dan sangat dekat dengan orang-orangnya, seumur hidupnya. (Tepuk tangan)

Begitu banyak yang berubah dalam empat dasawarsa sejak saya naik pesawat untuk pindah kembali ke Hawaii. Jika Anda meminta saya - atau dari sekolahku saya yang mengenal saya saat itu - Saya tidak berpikir bahwa suatu hari nanti saya akan kembali ke Jakarta sebagai Presiden Amerika Serikat. (Tepuk tangan) Dan bisa berbagi kisah yang luar biasa dari Indonesia selama empat dekade terakhir.

Jakarta, seperti yang pernah saya kenal, telah tumbuh menjadi sebuah kota yang dipenuhi hampir 10 juta orang, dengan gedung pencakar langit seperti Hotel Indonesia, dan berkembang menjadi pusat budaya dan perdagangan. Sementara teman Indonesia saya, dan saya yang dulu berlari-lari dengan kerbau dan kambing - (tertawa) - generasi baru Indonesia termasuk yang paling aktif online di dunia - terhubung melalui telepon seluler dan jaringan sosial. Dan sementara Indonesia sebagai bangsa muda terfokus ke dalam, Indonesia yang berkembang saat ini memainkan peran kunci di Asia Pasifik dan di ekonomi global. (Tepuk tangan)

Sekarang, perubahan ini juga meluas ke politik. Ketika ayah tiri saya masih kecil, ia melihat ayahnya sendiri dan kakak meninggalkan rumah untuk berjuang dan mati dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dan aku senang berada di sini pada Hari Pahlawan untuk menghormati sejarah Indonesia yang telah begitu banyak berkorban untuk nama negara besar ini. (Tepuk tangan)

Ketika saya pindah ke Jakarta, tahun 1967, itu adalah masa-masa terjadinya penderitaan dan konflik besar di berbagai bagian negara ini. Dan meskipun ayah tiriku pernah bertugas di Angkatan Darat, kekerasan dan pembunuhan selama pergolakan politik di masa itu, sebagian besar tidak saya ketahui karena itu tak terucapkan oleh keluarga dan teman-teman Indonesia saya. Dalam rumah tangga saya, seperti begitu banyak orang lain di seluruh Indonesia, kenangan itu tak terlihat. Indonesia memiliki kemerdekaannya, tetapi seringkali mereka takut untuk berbicara dan mengeluarkan pikiran mereka tentang berbagai isu-isu.

Pada tahun-tahun sejak waktu itu, Indonesia kini bisa melakukan transformasi demokratis yang luar biasa - dari aturan tangan besi menjadi rakyat yang berdaulat. Dalam beberapa tahun terakhir, dunia telah menyaksikan dengan harapan dan kekaguman bahwa orang Indonesia berjalan dalam damai saat terjadi pengalihan kekuasaan dan pemilihan langsung pemimpin-pemimpin. Dan sebagaimana halnya sebuah demokrasi, Anda memilih presiden dan legislatif, demokrasi Anda ditopang oleh sebuah masyarakat sipil yang dinamis, partai politik, media massa, dan warga, bergerak bersama dan memastikan bahwa - di Indonesia - tidak akan ada berbalik dari demokrasi.

Bahkan di tanah muda saya ini, saya belajar untuk mencintai Indonesia - bahwa semangat toleransi yang ditulis ke dalam Konstitusi; dilambangkan di masjid-masjid dan gereja dan kuil-kuil yang berdiri berampingan satu sama lain; yang semangatnya terkandung pada Anda semua. (Tepuk tangan) Bhinneka Tunggal Ika - kesatuan dalam keragaman. (Tepuk tangan) Ini adalah dasar dari contoh Indonesia untuk dunia, dan ini mengapa Indonesia akan memainkan peranan penting dalam abad ke-21.

Jadi hari ini, saya kembali ke Indonesia sebagai teman, tetapi juga sebagai seorang Presiden yang mencari kemitraan yang dalam dan kekal antara kedua negara kita. (Tepuk tangan) Karena negara-negara yang luas dan beragam; sebagai tetangga di kedua sisi Pasifik, dan di atas semua sebagai demokrasi - Amerika Serikat dan Indonesia terikat bersama oleh kepentingan bersama dan nilai-nilai bersama.

Kemarin, Presiden Yudhoyono dan saya mengumumkan kemitraan komprehensif baru antara Amerika Serikat dan Indonesia. Kami meningkatkan hubungan antar pemerintah kita di berbagai daerah, dan - sama pentingnya - kita akan meningkatkan hubungan antara orang-orang kami. Ini adalah kemitraan yang setara, didasarkan pada kepentingan bersama dan saling menghormati.

Jadi dengan sisa waktu saya hari ini, saya ingin berbicara tentang kisah Indonesia di hari-hari ketika saya tinggal di sini - sangat penting bagi Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Saya akan fokus pada tiga daerah yang terkait erat, dan fundamental untuk kemajuan manusia - pembangunan, demokrasi dan religi.

Pertama, persahabatan antara Amerika Serikat dan Indonesia dapat memajukan kepentingan bersama dalam pembangunan.

Ketika saya pindah ke Indonesia, itu akan sulit membayangkan masa depan di mana kesejahteraan keluarga di Chicago dan Jakarta akan dihubungkan. Tapi ekonomi kita sekarang global, dan Indonesia telah mengalami berbagai hal global: dari shock krisis keuangan Asia di 90, untuk mengangkat jutaan orang keluar dari kemiskinan karena peningkatan perdagangan. Apa artinya - dan apa yang kita pelajari dalam krisis ekonomi baru-baru ini - adalah bahwa kita memiliki sumbangsih dalam keberhasilan masing-masing.

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia tumbuh dan berkembang, dengan kemakmuran yang secara luas dibagi di antara rakyat Indonesia - karena kelas menengah di Indonesia meningkat berarti pasar baru untuk barang-barang kami, seperti halnya Amerika merupakan pasar untuk barang-barang yang berasal dari Indonesia. Jadi kita berinvestasi lebih di Indonesia, dan ekspor kami telah tumbuh hampir 50 persen, dan kami membuka pintu bagi Amerika dan Indonesia untuk melakukan bisnis dengan satu sama lain.

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang memainkan peran yang sah dalam membentuk ekonomi global. Lewatlah sudah hari-hari ketika tujuh atau delapan negara akan datang bersama untuk menentukan arah pasar global. Itu sebabnya G20 sekarang menjadi pusat kerjasama ekonomi internasional, sehingga negara-negara berkembang seperti Indonesia memiliki suara lebih besar dan juga memikul tanggung jawab yang lebih besar untuk mengarahkan ekonomi global. Dan melalui kepemimpinannya kelompok anti-korupsi G20, Indonesia harus memimpin di panggung dunia dan dengan contoh dalam merangkul transparansi dan akuntabilitas. (Tepuk tangan)

Amerika memiliki kepentingan di Indonesia yang mengejar pembangunan berkelanjutan, karena cara kita tumbuh akan menentukan kualitas hidup kita dan kesehatan planet kita. Dan itulah sebabnya kami sedang mengembangkan teknologi energi bersih yang dapat kekuatan industri dan melestarikan sumber daya alam Indonesia yang berharga - dan Amerika menyambut kepemimpinan yang kuat di negara Anda dalam upaya global untuk memerangi perubahan iklim.

Di atas segalanya, Amerika memiliki kepentingan dalam keberhasilan masyarakat Indonesia. Di bawah berita utama hari itu, kita harus membangun jembatan antara orang-orang kami, karena keamanan masa depan kita dan kemakmuran bersama. Dan itu persis apa yang kita lakukan - dengan meningkatkan kerjasama antar para ilmuwan dan peneliti, dan dengan bekerja sama untuk mengembangkan kewirausahaan. Dan saya sangat senang bahwa kami telah berkomitmen untuk meningkatkan dua kali lipat jumlah mahasiswa Amerika dan mahasiswa Indonesia belajar di negara masing-masing. (Tepuk tangan) Kita ingin mahasiswa lebih banyak bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Amerika, dan kami ingin lebih banya siswa Amerika untuk datang belajar di negeri ini. (Tepuk tangan) Kami ingin menjalin kerja baru dan pemahaman yang lebih besar antara kaum muda di abad muda.

Ini adalah isu-isu yang benar-benar penting dalam kehidupan kita sehari-hari. Pengembangan, setelah semua, bukan hanya tentang tingkat pertumbuhan dan angka pada neraca. Ini tentang apakah seorang anak bisa belajar keterampilan yang mereka butuhkan untuk membuatnya hidup dalam dunia yang terus berubah. Ini tentang apakah ide yang bagus diperbolehkan untuk tumbuh menjadi bisnis, dan tidak dicekik oleh korupsi. Ini tentang apakah kekuatan-kekuatan yang mengubah Jakarta, saya pernah tahu - teknologi dan perdagangan dan aliran orang dan barang - dapat mengejawantah dalam kehidupan yang lebih baik bagi seluruh rakyat Indonesia, untuk semua manusia, kehidupan yang ditandai oleh martabat dan kesempatan.

Saat ini, pembangunan tidak terlepas dari peran demokrasi.

Saat ini, kita kadang-kadang mendengar bahwa demokrasi berjalan sejajar dengan kemajuan ekonomi. Ini bukan sebuah argumen baru. Khususnya dalam masa perubahan dan ketidakpastian ekonomi, beberapa orang akan berkata bahwa lebih mudah untuk mengambil jalan pintas untuk pembangunan dengan perdagangan jauh hak manusia untuk kekuasaan negara. Tapi bukan itu yang saya lihat di perjalanan saya ke India, dan itu tidak saya lihat di sini di Indonesia. prestasi Anda menunjukkan bahwa demokrasi dan pembangunan memperkuat satu sama lain.

Amerika tidak berbeda. Konstitusi kita sendiri berbicara tentang upaya untuk menempa sebuah "persatuan yang sempurna," dan itu adalah perjalanan yang kami tempuh selama ini. Kami telah mengalami perang saudara dan kami berjuang untuk memperoleh hak yang sama bagi semua warga negara kita. Tapi justru upaya yang telah memungkinkan kita untuk menjadi lebih kuat dan lebih sejahtera, sementara juga menjadi lebih adil dan masyarakat yang lebih bebas.

Seperti negara-negara lain yang muncul dari penjajahan pada abad lalu, Indonesia berjuang dan berkorban untuk menentukan nasib Anda. Hari Pahlawan adalah semua tentang - sebuah Indonesia yang dimiliki rakyat Indonesia. Tapi Anda juga yang akhirnya memutuskan bahwa kebebasan tidak berarti mengganti tangan yang kuat dari penjajah yang dengan kuat Anda sendiri.

Tentu saja, demokrasi berantakan. Tidak semua orang menyukai hasil setiap pemilu. Namun itu adalah perjalanan yang berharga. Dibutuhkan lembaga-lembaga yang kuat untuk memeriksa kekuatan - konsentrasi kekuasaan. Dibutuhkan pasar terbuka untuk memungkinkan individu untuk berkembang. Dibutuhkan pers bebas dan sistem peradilan yang independen untuk membasmi pelanggaran, dan mendesak akuntabilitas. Dibutuhkan masyarakat yang terbuka dan warga yang aktif untuk menolak ketimpangan dan ketidakadilan.

Ini adalah kekuatan yang akan memajukan Indonesia. Dan dibutuhkan penolakan untuk mentolerir korupsi, sebuah komitmen terhadap transparansi dalam pemerintahan, dan keyakinan bahwa kebebasan orang Indonesia adalah hasil perjuangan rakyat secara bersama-sama.

Itu adalah pesan dari orang Indonesia yang sudah mahir cerita demokrasi - dari orang-orang yang berperang dalam Pertempuran Surabaya 55 tahun yang lalu hari ini, untuk para mahasiswa yang berunjuk rasa damai untuk demokrasi pada 1990-an, untuk para pemimpin yang telah melalui jalan damai dalam masa transisi kekuasaan di abad ini. Karena pada akhirnya, itu akan menjadi hak-hak warga negara yang akan menjahit bersama Nusantara yang luar biasa ini, yang membentang dari Sabang sampai Merauke, sebuah desakan - (tepuk tangan) - penekanan bahwa setiap anak yang lahir di negeri ini harus diperlakukan sama, apakah mereka datang dari Jawa atau Aceh; dari Bali atau Papua. (Tepuk tangan) Semua orang Indonesia mempunyai hak yang sama.

Upaya tersebut meluas ke contoh bahwa Indonesia sekarang berperan di luar negeri. Indonesia mengambil inisiatif untuk mendirikan Forum Demokrasi Bali, sebuah forum terbuka bagi negara-negara untuk berbagi pengalaman dan praktek-praktek terbaik dalam mengembangkan demokrasi. Indonesia juga berada di garis depan mendorong untuk lebih memperhatikan hak asasi manusia di ASEAN. Negara-negara Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri, dan Amerika Serikat akan sangat mendukung hak itu. Tetapi orang-orang Asia Tenggara harus memiliki hak untuk menentukan nasib mereka sendiri juga. Dan itulah mengapa kita mengutuk pemilu di Burma baru-baru ini yang tidak bebas dan adil. Itulah sebabnya kami mendukung pemberdayaan masyarakat sipil dalam bekerja dengan mitra di seluruh wilayah ini. Karena tidak ada alasan untuk berhenti menghormati hak asasi manusia dengan batasan-batasan negara manapun.

Bergandengan tangan, adalah jalan membangun demokrasi dan nilai-nilai tertentu yang universal. Kemakmuran tanpa kebebasan hanya bentuk lain dari kemiskinan. Karena manusia adalah makhluk sosial - kebebasan Anda mengetahui bahwa pemimpin bertanggung jawab kepada Anda, dan bahwa Anda tidak akan dipenjara karena tidak setuju dengan mereka, kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan untuk dapat bekerja dengan bermartabat, kebebasan untuk mempraktekkan iman anda tanpa rasa takut atau dihalang-halangi. Itu adalah nilai-nilai universal yang harus diperhatikan di mana-mana.

Sekarang, agama adalah topik terakhir yang ingin saya bicarakan hari ini, dan - seperti demokrasi dan pembangunan - itu adalah hal fundamental di Indonesia.

Seperti negara-negara Asia lain yang saya kunjungi dalam perjalanan ini, Indonesia kental dengan spiritualitas - tempat di mana orang menyembah Allah dalam berbagai cara. Seiring dengan ini keragaman yang kaya, juga rumah bagi penduduk Muslim terbesar di dunia - kebenaran yang saya kenal sebagai seorang anak ketika aku mendengar panggilan doa (azan) di penjuru Jakarta.

Sama seperti individu yang tidak didefinisikan semata-mata oleh iman mereka, Indonesia didefinisikan oleh lebih dari populasi Muslim. Tapi kita juga tahu bahwa hubungan antara Amerika Serikat dan masyarakat Muslim telah terbakar selama bertahun-tahun. Sebagai Presiden, saya telah membuat prioritas untuk mulai memperbaiki hubungan ini. (Tepuk tangan) Sebagai bagian dari upaya itu, saya pergi ke Kairo Juni lalu, dan saya menelepon untuk sebuah awal baru antara Amerika Serikat dan umat Islam di seluruh dunia - satu yang membuat jalan bagi kita untuk bergerak melampaui perbedaan-perbedaan kita.

Saya mengatakan hal itu, dan saya akan mengulangi sekarang, bahwa tidak ada satu pidato yang bisa membasmi ketidakpercayaan. Tapi saya percaya itu, dan saya percaya hari ini, bahwa kita memang memiliki pilihan. Kita bisa memilih untuk didefinisikan oleh perbedaan kami, dan menyerah pada kecurigaan dan ketidakpercayaan. Atau kita dapat memilih untuk bekerja keras dan berkomitmen untuk terus mengejar kemajuan. Dan saya bisa menjanjikan pada Anda - tidak peduli apa kemunduran mungkin datang, Amerika Serikat berkomitmen untuk kemajuan manusia. Itulah siapa kita. Itulah yang kami lakukan. Dan itulah yang akan kita lakukan. (Tepuk tangan)

Sekarang, kita tahu juga isu-isu yang telah menimbulkan ketegangan selama bertahun-tahun - dan ini adalah masalah yang saya bahas di Kairo. Dalam 17 bulan yang lalu sejak pidato itu, kami telah membuat beberapa kemajuan, tetapi kami memiliki banyak pekerjaan yang harus dilakukan.

Warga sipil di Amerika, di Indonesia dan seluruh dunia masih menjadi target pelaku kekerasan. Saya telah menjelaskan bahwa Amerika tidak, dan tidak akan pernah, berperang dengan Islam. Sebaliknya, kita semua harus bekerja sama untuk mengalahkan al Qaeda dan afiliasinya, yang tidak mengklaim menjadi pemimpin agama apapun --- pasti bukan yang besar, agama dunia seperti Islam. Tetapi mereka yang ingin membangun tidak boleh menyerahkan tanah untuk teroris yang berusaha untuk menghancurkan. Dan ini bukan tugas Amerika saja. Di sini di Indonesia, anda telah membuat kemajuan dalam membasmi ekstremis dan memerangi kekerasan tersebut.

Di Afghanistan, kami terus bekerja dengan koalisi negara-negara untuk membangun kapasitas pemerintah Afghanistan untuk mengamankan masa depan dalam membangun perdamaian di negeri yang dilanda perang - damai yang tidak memberikan tempat yang aman bagi ekstremis kekerasan, dan yang memberi harapan bagi rakyat Afghanistan.

Sementara itu, kami telah membuat kemajuan pada salah satu komitmen utama kami - upaya kami untuk mengakhiri perang di Irak. Hampir 100.000 pasukan Amerika sekarang meninggalkan Irak, sejak saya menjadi presiden. (Tepuk tangan) Irak telah mengambil tanggung jawab penuh atas keamanan mereka. Dan kami akan terus mendukung Irak untuk membentuk pemerintahan inklusif, dan kami akan membawa pulang semua tentara kami.

Di Timur Tengah, kita menghadapi pasang surut perdamaian, tapi kami akan tetap gigih pengupayakan perdamaian. Israel dan Palestina memulai kembali pembicaraan tetapi tetap ada hambatan. Seharusnya tidak ada hayalan bahwa perdamaian dan keamanan akan datang dengan mudah. Tapi bila ada keraguan: Amerika tidak akan mengampuni upaya untuk hasil yang adil, dan itu adalah demi kepentingan semua pihak yang terlibat - dua negara, Israel dan Palestina, hidup berdampingan dalam damai dan keamanan. Itu adalah tujuan kami. (Tepuk tangan)

Taruhannya tinggi dalam menyelesaikan semua masalah ini. Untuk dunia kita telah tumbuh lebih kecil, dan sedangkan kekuatan yang menghubungkan kita telah melepaskan kesempatan dan kekayaan besar, mereka juga memberdayakan orang-orang yang berusaha untuk menggelincirkan kemajuan. Satu bom di pasar bisa melenyapkan hiruk pikuk perdagangan harian. Satu rumor berbisik dapat mengaburkan kebenaran dan menimbulkan kekerasan antara masyarakat yang pernah hidup bersama dalam damai. Di zaman yang serba cepat dan perubahan budaya bertabrakan, apa yang kita miliki sebagai umat manusia terkadang bisa hilang.

Tapi saya percaya bahwa sejarah baik Amerika dan Indonesia harus memberi kita harapan. Ini adalah cerita yang ditulis ke dalam motto nasional kita. Di Amerika Serikat, moto kami adalah E Pluribus Unum - berbeda/plural tapi satu. Bhinneka Tunggal Ika - bersatu dalam keragaman. (Tepuk tangan) Kami adalah dua bangsa, yang memiliki jalan yang berbeda. Namun bangsa kita menunjukkan bahwa ratusan juta orang yang memiliki keyakinan berbeda dapat bersatu dalam kebebasan di bawah satu bendera. Dan kita sekarang membangun kemanusiaan bersama - melalui orang-orang muda yang akan belajar di sekolah masing-masing, melalui pengusaha yang dapat mendatangkan kesejahteraan yang lebih besar, dan melalui kami merangkul nilai-nilai demokrasi yang fundamental dan aspirasi manusia.

Sebelum saya datang ke sini, saya mengunjungi masjid Istiqlal - tempat ibadah yang masih dalam pembangunan ketika saya tinggal di Jakarta. Dan saya mengagumi menara yang membumbung tinggi dan kubah yang mengesankan dan ruang ramah. Tapi nama dan sejarah juga berbicara dengan apa yang membuat Indonesia hebat. Istiqlal berarti kemerdekaan, dan konstruksi yang berada di bagian bukti perjuangan bangsa untuk kebebasan. Selain itu, rumah ibadah bagi ribuan Muslim dirancang oleh arsitek Kristen. (Tepuk tangan)

Tempat tersebut adalah roh Indonesia. Tempat tersebut adalah pesan filsafat inklusif Indonesia, Pancasila. (Tepuk tangan) Di negara kepulauan yang berisi beberapa ciptaan Allah yang paling indah, pulau di atas samudra bernama perdamaian, orang memilih untuk menyembah Allah sesuka mereka. Islam berkembang, tetapi begitu juga agama lain. Pembangunan diperkuat oleh demokrasil. Tradisi kuno bertahan, bahkan meningkat.

Itu tidak berarti bahwa Indonesia adalah tanpa ketidaksempurnaan. Tidak ada negara yang sempurna. Tetapi di sini kita bisa menemukan kemampuan untuk menjembatani berbagai ras dan wilayah dan agama - dengan kemampuan untuk melihat diri Anda pada orang lain. Sebagai anak dari ras yang berbeda yang datang ke sini dari sebuah negeri yang jauh, saya menemukan semangat dalam sambutannya yang saya terima pada saat pindah ke sini: Selamat Datang. Sebagai seorang Kristen mengunjungi sebuah masjid pada kunjungan kali ini, saya menemukan itu dalam kata-kata seorang pemimpin yang bertanya tentang kunjungan saya dan berkata, "Muslim juga diperbolehkan dalam gereja. Kami adalah pengikut semua Tuhan. "

Cahaya ilahi ada dalam kehidupan kita masing-masing. Kita tidak bisa menyerah pada keraguan atau rasa sinis atau putus asa. Cerita dari Indonesia dan Amerika seharusnya membuat kita optimis, karena hal itu mengingatkan kita bahwa sejarah, di samping memajukan manusia, mempererat persatuan dari berbagai bidang, dan bahwa orang di dunia ini dapat hidup bersama dalam damai. Kami, dua negara, akan bekerja sama, dengan iman dan tekad, berbagi kebenaran dengan seluruh umat manusia.

Sebagai Penutup saya, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: Terima kasih atas...terima kasih. Assalamualaikum. (kalimat ini semuanya diucapkan dalam Bahasa Indonesia) Thank You.

HAYATI MAULANA NUR


Pidato Lengkap Obama dalam Bahasa Inggris

Remarks by the President at the University of Indonesia in Jakarta, Indonesia

University of Indonesia
Jakarta, Indonesia

9:30 A.M. WIT

THE PRESIDENT: Terima kasih. Terima kasih, thank you so much, thank you, everybody. Selamat pagi. (Applause.) It is wonderful to be here at the University of Indonesia. To the faculty and the staff and the students, and to Dr. Gumilar Rusliwa Somantri, thank you so much for your hospitality. (Applause.)

Assalamualaikum dan salam sejahtera. Thank you for this wonderful welcome. Thank you to the people of Jakarta and thank you to the people of Indonesia.

Pulang kampung nih. (Applause.) I am so glad that I made it back to Indonesia and that Michelle was able to join me. We had a couple of false starts this year, but I was determined to visit a country that’s meant so much to me. And unfortunately, this visit is too short, but I look forward to coming back a year from now when Indonesia hosts the East Asia Summit. (Applause.)

Before I go any further, I want to say that our thoughts and prayers are with all of those Indonesians who are affected by the recent tsunami and the volcanic eruptions -- particularly those who’ve lost loved ones, and those who’ve been displaced. And I want you all to know that as always, the United States stands with Indonesia in responding to natural disasters, and we are pleased to be able to help as needed. As neighbors help neighbors and families take in the displaced, I know that the strength and the resilience of the Indonesian people will pull you through once more.

Let me begin with a simple statement: Indonesia bagian dari didi saya. (Applause.) I first came to this country when my mother married an Indonesian named Lolo Soetoro. And as a young boy I was -- as a young boy I was coming to a different world. But the people of Indonesia quickly made me feel at home.

Jakarta -- now, Jakarta looked very different in those days. The city was filled with buildings that were no more than a few stories tall. This was back in 1967, ‘68 -- most of you weren’t born yet. (Laughter.) The Hotel Indonesia was one of the few high rises, and there was just one big department store called Sarinah. That was it. (Applause.) Betchaks and bemos, that’s how you got around. They outnumbered automobiles in those days. And you didn’t have all the big highways that you have today. Most of them gave way to unpaved roads and the kampongs.

So we moved to Menteng Dalam, where -- (applause) -- hey, some folks from Menteng Dalam right here. (Applause.) And we lived in a small house. We had a mango tree out front. And I learned to love Indonesia while flying kites and running along the paddy fields and catching dragonflies, buying satay and baso from the street vendors. (Applause.) I still remember the call of the vendors. Satay! (Laughter.) I remember that. Baso! (Laughter.) But most of all, I remember the people -- the old men and women who welcomed us with smiles; the children who made a foreign child feel like a neighbor and a friend; and the teachers who helped me learn about this country.

Because Indonesia is made up of thousands of islands, and hundreds of languages, and people from scores of regions and ethnic groups, my time here helped me appreciate the common humanity of all people. And while my stepfather, like most Indonesians, was raised a Muslim, he firmly believed that all religions were worthy of respect. And in this way -- (applause) -- in this way he reflected the spirit of religious tolerance that is enshrined in Indonesia’s Constitution, and that remains one of this country’s defining and inspiring characteristics. (Applause.)

Now, I stayed here for four years -- a time that helped shape my childhood; a time that saw the birth of my wonderful sister, Maya; a time that made such an impression on my mother that she kept returning to Indonesia over the next 20 years to live and to work and to travel -- and to pursue her passion of promoting opportunity in Indonesia’s villages, especially opportunity for women and for girls. And I was so honored -- (applause) -- I was so honored when President Yudhoyono last night at the state dinner presented an award on behalf of my mother, recognizing the work that she did. And she would have been so proud, because my mother held Indonesia and its people very close to her heart for her entire life. (Applause.)

So much has changed in the four decades since I boarded a plane to move back to Hawaii. If you asked me -- or any of my schoolmates who knew me back then -- I don’t think any of us could have anticipated that one day I would come back to Jakarta as the President of the United States. (Applause.) And few could have anticipated the remarkable story of Indonesia over these last four decades.

The Jakarta that I once knew has grown into a teeming city of nearly 10 million, with skyscrapers that dwarf the Hotel Indonesia, and thriving centers of culture and of commerce. While my Indonesian friends and I used to run in fields with water buffalo and goats -- (laughter) -- a new generation of Indonesians is among the most wired in the world -- connected through cell phones and social networks. And while Indonesia as a young nation focused inward, a growing Indonesia now plays a key role in the Asia Pacific and in the global economy. (Applause.)

Now, this change also extends to politics. When my stepfather was a boy, he watched his own father and older brother leave home to fight and die in the struggle for Indonesian independence. And I’m happy to be here on Heroes Day to honor the memory of so many Indonesians who have sacrificed on behalf of this great country. (Applause.)

When I moved to Jakarta, it was 1967, and it was a time that had followed great suffering and conflict in parts of this country. And even though my stepfather had served in the Army, the violence and killing during that time of political upheaval was largely unknown to me because it was unspoken by my Indonesian family and friends. In my household, like so many others across Indonesia, the memories of that time were an invisible presence. Indonesians had their independence, but oftentimes they were afraid to speak their minds about issues.

In the years since then, Indonesia has charted its own course through an extraordinary democratic transformation -- from the rule of an iron fist to the rule of the people. In recent years, the world has watched with hope and admiration as Indonesians embraced the peaceful transfer of power and the direct election of leaders. And just as your democracy is symbolized by your elected President and legislature, your democracy is sustained and fortified by its checks and balances: a dynamic civil society; political parties and unions; a vibrant media and engaged citizens who have ensured that -- in Indonesia -- there will be no turning back from democracy.

But even as this land of my youth has changed in so many ways, those things that I learned to love about Indonesia -- that spirit of tolerance that is written into your Constitution; symbolized in mosques and churches and temples standing alongside each other; that spirit that’s embodied in your people -- that still lives on. (Applause.) Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity. (Applause.) This is the foundation of Indonesia’s example to the world, and this is why Indonesia will play such an important part in the 21st century.

So today, I return to Indonesia as a friend, but also as a President who seeks a deep and enduring partnership between our two countries. (Applause.) Because as vast and diverse countries; as neighbors on either side of the Pacific; and above all as democracies -- the United States and Indonesia are bound together by shared interests and shared values.

Yesterday, President Yudhoyono and I announced a new Comprehensive Partnership between the United States and Indonesia. We are increasing ties between our governments in many different areas, and -- just as importantly -- we are increasing ties among our people. This is a partnership of equals, grounded in mutual interests and mutual respect.

So with the rest of my time today, I’d like to talk about why the story I just told -- the story of Indonesia since the days when I lived here -- is so important to the United States and to the world. I will focus on three areas that are closely related, and fundamental to human progress -- development, democracy and religious faith.

First, the friendship between the United States and Indonesia can advance our mutual interest in development.

When I moved to Indonesia, it would have been hard to imagine a future in which the prosperity of families in Chicago and Jakarta would be connected. But our economies are now global, and Indonesians have experienced both the promise and the perils of globalization: from the shock of the Asian financial crisis in the ‘90s, to the millions lifted out of poverty because of increased trade and commerce. What that means -- and what we learned in the recent economic crisis -- is that we have a stake in each other’s success.

America has a stake in Indonesia growing and developing, with prosperity that is broadly shared among the Indonesian people -- because a rising middle class here in Indonesia means new markets for our goods, just as America is a market for goods coming from Indonesia. So we are investing more in Indonesia, and our exports have grown by nearly 50 percent, and we are opening doors for Americans and Indonesians to do business with one another.

America has a stake in an Indonesia that plays its rightful role in shaping the global economy. Gone are the days when seven or eight countries would come together to determine the direction of global markets. That’s why the G20 is now the center of international economic cooperation, so that emerging economies like Indonesia have a greater voice and also bear greater responsibility for guiding the global economy. And through its leadership of the G20’s anti-corruption group, Indonesia should lead on the world stage and by example in embracing transparency and accountability. (Applause.)

America has a stake in an Indonesia that pursues sustainable development, because the way we grow will determine the quality of our lives and the health of our planet. And that’s why we’re developing clean energy technologies that can power industry and preserve Indonesia’s precious natural resources -- and America welcomes your country’s strong leadership in the global effort to combat climate change.

Above all, America has a stake in the success of the Indonesian people. Underneath the headlines of the day, we must build bridges between our people, because our future security and prosperity is shared. And that is exactly what we’re doing -- by increasing collaboration among our scientists and researchers, and by working together to foster entrepreneurship. And I’m especially pleased that we have committed to double the number of American and Indonesian students studying in our respective countries. (Applause.) We want more Indonesian students in American schools, and we want more American students to come study in this country. (Applause.) We want to forge new ties and greater understanding between young people in this young century.

These are the issues that really matter in our daily lives. Development, after all, is not simply about growth rates and numbers on a balance sheet. It’s about whether a child can learn the skills they need to make it in a changing world. It’s about whether a good idea is allowed to grow into a business, and not suffocated by corruption. It’s about whether those forces that have transformed the Jakarta I once knew -- technology and trade and the flow of people and goods -- can translate into a better life for all Indonesians, for all human beings, a life marked by dignity and opportunity.

Now, this kind of development is inseparable from the role of democracy.

Today, we sometimes hear that democracy stands in the way of economic progress. This is not a new argument. Particularly in times of change and economic uncertainty, some will say that it is easier to take a shortcut to development by trading away the right of human beings for the power of the state. But that’s not what I saw on my trip to India, and that is not what I see here in Indonesia. Your achievements demonstrate that democracy and development reinforce one another.

Like any democracy, you have known setbacks along the way. America is no different. Our own Constitution spoke of the effort to forge a “more perfect union,” and that is a journey that we’ve traveled ever since. We’ve endured civil war and we struggled to extend equal rights to all of our citizens. But it is precisely this effort that has allowed us to become stronger and more prosperous, while also becoming a more just and a more free society.

Like other countries that emerged from colonial rule in the last century, Indonesia struggled and sacrificed for the right to determine your destiny. That is what Heroes Day is all about -- an Indonesia that belongs to Indonesians. But you also ultimately decided that freedom cannot mean replacing the strong hand of a colonizer with a strongman of your own.

Of course, democracy is messy. Not everyone likes the results of every election. You go through your ups and downs. But the journey is worthwhile, and it goes beyond casting a ballot. It takes strong institutions to check the power -- the concentration of power. It takes open markets to allow individuals to thrive. It takes a free press and an independent justice system to root out abuses and excess, and to insist on accountability. It takes open society and active citizens to reject inequality and injustice.

These are the forces that will propel Indonesia forward. And it will require a refusal to tolerate the corruption that stands in the way of opportunity; a commitment to transparency that gives every Indonesian a stake in their government; and a belief that the freedom of Indonesians -- that Indonesians have fought for is what holds this great nation together.

That is the message of the Indonesians who have advanced this democratic story -- from those who fought in the Battle of Surabaya 55 years ago today; to the students who marched peacefully for democracy in the 1990s; to leaders who have embraced the peaceful transition of power in this young century. Because ultimately, it will be the rights of citizens that will stitch together this remarkable Nusantara that stretches from Sabang to Merauke, an insistence -- (applause) -- an insistence that every child born in this country should be treated equally, whether they come from Java or Aceh; from Bali or Papua. (Applause.) That all Indonesians have equal rights.

That effort extends to the example that Indonesia is now setting abroad. Indonesia took the initiative to establish the Bali Democracy Forum, an open forum for countries to share their experiences and best practices in fostering democracy. Indonesia has also been at the forefront of pushing for more attention to human rights within ASEAN. The nations of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny, and the United States will strongly support that right. But the people of Southeast Asia must have the right to determine their own destiny as well. And that’s why we condemned elections in Burma recently that were neither free nor fair. That is why we are supporting your vibrant civil society in working with counterparts across this region. Because there’s no reason why respect for human rights should stop at the border of any country.

Hand in hand, that is what development and democracy are about -- the notion that certain values are universal. Prosperity without freedom is just another form of poverty. Because there are aspirations that human beings share -- the liberty of knowing that your leader is accountable to you, and that you won’t be locked up for disagreeing with them; the opportunity to get an education and to be able to work with dignity; the freedom to practice your faith without fear or restriction. Those are universal values that must be observed everywhere.

Now, religion is the final topic that I want to address today, and -- like democracy and development -- it is fundamental to the Indonesian story.

Like the other Asian nations that I’m visiting on this trip, Indonesia is steeped in spirituality -- a place where people worship God in many different ways. Along with this rich diversity, it is also home to the world’s largest Muslim population -- a truth I came to know as a boy when I heard the call to prayer across Jakarta.

Just as individuals are not defined solely by their faith, Indonesia is defined by more than its Muslim population. But we also know that relations between the United States and Muslim communities have frayed over many years. As President, I have made it a priority to begin to repair these relations. (Applause.) As part of that effort, I went to Cairo last June, and I called for a new beginning between the United States and Muslims around the world -- one that creates a path for us to move beyond our differences.

I said then, and I will repeat now, that no single speech can eradicate years of mistrust. But I believed then, and I believe today, that we do have a choice. We can choose to be defined by our differences, and give in to a future of suspicion and mistrust. Or we can choose to do the hard work of forging common ground, and commit ourselves to the steady pursuit of progress. And I can promise you -- no matter what setbacks may come, the United States is committed to human progress. That is who we are. That is what we’ve done. And that is what we will do. (Applause.)

Now, we know well the issues that have caused tensions for many years -- and these are issues that I addressed in Cairo. In the 17 months that have passed since that speech, we have made some progress, but we have much more work to do.

Innocent civilians in America, in Indonesia and across the world are still targeted by violent extremism. I made clear that America is not, and never will be, at war with Islam. Instead, all of us must work together to defeat al Qaeda and its affiliates, who have no claim to be leaders of any religion –-- certainly not a great, world religion like Islam. But those who want to build must not cede ground to terrorists who seek to destroy. And this is not a task for America alone. Indeed, here in Indonesia, you’ve made progress in rooting out extremists and combating such violence.

In Afghanistan, we continue to work with a coalition of nations to build the capacity of the Afghan government to secure its future. Our shared interest is in building peace in a war-torn land -- a peace that provides no safe haven for violent extremists, and that provide hope for the Afghan people.

Meanwhile, we’ve made progress on one of our core commitments -- our effort to end the war in Iraq. Nearly 100,000 American troops have now left Iraq under my presidency. (Applause.) Iraqis have taken full responsibility for their security. And we will continue to support Iraq as it forms an inclusive government, and we will bring all of our troops home.

In the Middle East, we have faced false starts and setbacks, but we’ve been persistent in our pursuit of peace. Israelis and Palestinians restarted direct talks, but enormous obstacles remain. There should be no illusion that peace and security will come easy. But let there be no doubt: America will spare no effort in working for the outcome that is just, and that is in the interests of all the parties involved -- two states, Israel and Palestine, living side by side in peace and security. That is our goal. (Applause.)

The stakes are high in resolving all of these issues. For our world has grown smaller, and while those forces that connect us have unleashed opportunity and great wealth, they also empower those who seek to derail progress. One bomb in a marketplace can obliterate the bustle of daily commerce. One whispered rumor can obscure the truth and set off violence between communities that once lived together in peace. In an age of rapid change and colliding cultures, what we share as human beings can sometimes be lost.

But I believe that the history of both America and Indonesia should give us hope. It is a story written into our national mottos. In the United States, our motto is E pluribus unum -- out of many, one. Bhinneka Tunggal Ika -- unity in diversity. (Applause.) We are two nations, which have traveled different paths. Yet our nations show that hundreds of millions who hold different beliefs can be united in freedom under one flag. And we are now building on that shared humanity -- through young people who will study in each other’s schools; through the entrepreneurs forging ties that can lead to greater prosperity; and through our embrace of fundamental democratic values and human aspirations.

Before I came here, I visited Istiqlal mosque -- a place of worship that was still under construction when I lived in Jakarta. And I admired its soaring minaret and its imposing dome and welcoming space. But its name and history also speak to what makes Indonesia great. Istiqlal means independence, and its construction was in part a testament to the nation’s struggle for freedom. Moreover, this house of worship for many thousands of Muslims was designed by a Christian architect. (Applause.)

Such is Indonesia’s spirit. Such is the message of Indonesia’s inclusive philosophy, Pancasila. (Applause.) Across an archipelago that contains some of God’s most beautiful creations, islands rising above an ocean named for peace, people choose to worship God as they please. Islam flourishes, but so do other faiths. Development is strengthened by an emerging democracy. Ancient traditions endure, even as a rising power is on the move.

That is not to say that Indonesia is without imperfections. No country is. But here we can find the ability to bridge divides of race and region and religion -- by the ability to see yourself in other people. As a child of a different race who came here from a distant country, I found this spirit in the greeting that I received upon moving here: Selamat Datang. As a Christian visiting a mosque on this visit, I found it in the words of a leader who was asked about my visit and said, “Muslims are also allowed in churches. We are all God’s followers.”

That spark of the divine lives within each of us. We cannot give in to doubt or cynicism or despair. The stories of Indonesia and America should make us optimistic, because it tells us that history is on the side of human progress; that unity is more powerful than division; and that the people of this world can live together in peace. May our two nations, working together, with faith and determination, share these truths with all mankind.

Sebagai penutup, saya mengucapkan kepada seluruh rakyat Indonesia: terima kasih atas. Terima kasih. Assalamualaikum. Thank you.

END
10:31 A.M. WIT

No comments: