Thursday, September 17, 2009

INDONESIA MENGGUGAT JILID II? (Bag 7)

TONGGAK-TONGGAK KEBIJAKAN EKONOMI SETELAH PERTEMUAN JENEWA BULAN NOVEMBER TAHUN 1967

Setelah kaki-kaki korporatokrasi ditancapkan yang oleh Jeffrey Winters dikatakan “pengambil alihan ekonomi Indonesia dalam 3 hari”, berbagai istilah dan pengertian yang tidak lazim diciptakan dengan maksud memperlancar terjerumus dan terjeratnya Indonesia ke dalam hutang, yang dijadikan alat penekan untuk memaksakan kebijakan yang pro korporatokrasi. Bahwa hutang luar negeri dijadikan alat penekan pada negara debitur dibantah oleh beberapa akhli ekonomi Indonesia yang mencuat ketika tulisan ini sedang dibuat. Saya perlu menjelaskan bahwa seperti dapat dibaca dalam tulisan ini, yang mengatakan ini bukan saya, tetapi para akhli ekonomi Amerika yang mengaku sebagai pelakunya, yaitu John Perkins yang diperintahkan oleh agen CIA Claudia Martin. Kalau mau membantah jangan membantah saya, tetapi bantahlah Claudia Martin dan John Perkins. Semoga Boediono menggugat mereka berdua yang merencanakan dan melakukan penggerojokan hutang kepada Indonesia dengan maksud menggunakannya sebagai leverage guna memaksakan kehendaknya.

Perwujudannya yalah organisasi yang khusus diciptakan buat negara-negara pemberi hutang yang bernama Intergovernmental Group on Indonesia (IGGI), yang kemudian berganti nama menjadi Consultative Group of Indonesia (CGI). Koordinatornya Bank Dunia, yang bersama-sama dengan Bank Pembangunan Asia dan IMF merupakan trio pemberi hutang juga.

Bentuk-bentuknya antara lain adalah sebagai berikut :

• Anggaran negara (APBN) yang jelas defisit disebut berimbang, yang ditutup dengan hutang luar negeri, tetapi tidak disebut hutang. Sebutannya dalam APBN “Pemasukan Pembangunan”.

• Hutang luar negeri dari IGGI/CGI dan 3 lembaga keuangan tidak disebut “loan” atau hutang, tetapi disebut “aid” atau bantuan.

• Jumlah defisit APBN dihitung tanpa memasukkan cicilan hutang pokok sebagai pengeluaran. Yang dihitung hanya pengeluaran uang untuk membayar bunga.Memang kebiasaan internasional seperti ini supaya bisa membandingkan dengan negara-negara lain. Tetapi kalau jumlah hutang ditambah bunga sudah sekitar 25 % dari APBN, gambarannya lantas menyesatkan, dan perlu memberikan catatan khusus.

• Anggaran pembangunan dibiayai sepenuhnya dari hutang luar negeri yang katanya untuk menghindari crowding out di dalam negeri. Tetapi ketika krisis dengan enaknya membuat hutang dalam negeri, yang ditambah dengan kewajiban membayar bunga menjadi ribuan trilyun rupiah dalam bentuk BLBI ditambah obligasi rekap, yang sebenarnya dapat ditarik kembali sebelum bank-bank yang mempunyai obligasi rekap ini dijual dengan harga murah.

• Boediono sebagai Menteri Keuangannya Presiden Megawati menyatakan dengan yakin beban hutang akan merata dan selesai dalam waktu 8 tahun setelah melakukan apa yang olehnya dinamakan reprofiling. Sekarang kedodoran dengan beban sangat luar biasa beberapa tahun mendatang, seperti yang diberitakan oleh media massa. Pada tanggal 15 Mei 2009 Boediono mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden RI.

• Demikian juga dengan ukuran tentang jumlah hutang luar negeri, apakah sudah melampaui batas yang aman. Tadinya dinyatakan dalam rasio antara ekspor neto dengan pembayaran cicilan hutang pokok + bunga hutang luar negeri yang disebut Debt Service Ratio (DSR). Ketika sudah menjadi sangat tinggi, ukurannya diubah menjadi dalam persen dari PDB.

• Dalam menghitung ukuran tentang ambang batas yang aman, dalam DSR cicilan hutang pokok dihitung sebagai faktor. Tetapi dalam menghitung Defisit dalam APBN cicilan hutang pokoknya tidak dihitung, karena sudah menjadi sangat besar.

• Hutang luar negeri pemerintah Indonesia dinyatakan masih dalam batas yang normal, karena didasarkan atas persen dari PDB. Lompatan dari ukuran DSR menjadi persen dari PDB sudah kontroversial. Tetapi yang lebih substantif yalah kita harus membedakan antara solvabilitas (solvency) dan likwiditas. Persen dari PDB adalah solvency yang tidak mesti likwid. Karena tidak likwid, terpaksa berhutang terus. Yang menentukan apakah sebuah negara bangkrut atau tidak yalah kemampuannya membayar hutang beserta bunganya tepat pada waktunya (likwiditas), bukan besarnya hutang dalam persen dari PDB. Bahwa Indonesia tidak likwid terbukti dalam era Boediono sebagai Menko Ekonomi dan Sri Mulyani sebagai Menteri Keuangan yang menerbitkan SUN dalam dollar AS dengan suku bunga antara 10,5% sampai 11%. Untuk dunia usaha swasta saja, tingkat bunga seperti ini tergolong junk bond yang sangat rongsokan. Kalau negara RI memberikan tingkat bunga seperti ini, bagaimana penjelasannya, terutama kalau dibandingkan dengan AS yang mendekati nol persen, dan negara-negara lain yang memberikan bunga deposito antara 0,3 % sampai 2 % saja (dalam hal jangka sangat panjang).Kalau mau mengemukakan solvabilitasnya saja, mengapa tidak sekalian menyatakan hutang Indonesia dalam persen dari seluruh kekayaan alamnya ? Jatuhnya menjadi 0,—- persen saja !

• Subsidi BBM dinyatakan sebagai identik dengan pengeluaran uang tunai oleh pemerintah, padahal tidak ada uang tunai yang dikeluarkan untuk memperoleh minyak mentah kecuali yang harus diimpor.

• Dalam kampanye pemilu legislatif yang lalu, yang dikemukakan terus menerus melalui iklan sangat mahal yalah pemerintah menurunkan harga BBM tiga kali. Tetapi menaikkannya tiga kali sebelumnya tidak disebut. Menaikkannya dari Rp. 2.700 sampai Rp. 6.000. Menurunkannya hanya sampai Rp. 4.500 saja, tetapi dijadikan bahan kampanye dalam iklan yang sangat mahal. Dalam kampanye mendatang, Boediono yang calon wapres dari yang mengiklankan ini, terpaksa harus berbicara tentang hal yang sama sekali tidak benar.

• Lantas siapa yang mau digugat ? Berkaitan dengan isyu ini, bukankah kebijakan menentukan harga BBM di Indonesia membiarkan dirinya didikte oleh NYMEX ? Dan bukankah yang menjiwainya supaya perusahaan-perusahaan minyak asing bisa membuka pompa-pompa bensin di Indonesia dengan laba, karena rakyat dibiasakan membayar harga bensin dengan harga yang didikte oleh NYMEX ?

• Sampai saat ini pemerintah masih saja menggunakan istilah “subsidi” yang implisit membiarkan dirinya didikte oleh NYMEX. Tetapi yang sangat aneh, dengan kurs yang berubah dan harga minyak mentah yang sudah berubah pula, harga BBM masih tetap saja dipertahankan seperti apa adanya.Apakah Boediono sebagai guru besar akan menggugatnya berdasarkan nalar ilmu pengetahuannya, ataukah atas pertimbangan politik akan membelanya ? Kalau kita mempelajari pikiran-pikiran Bung Karno, sangat konsisten, baik sebagai intelektual maupun sebagai negarawan. Konsistensinya inilah yang membawanya ke berbagai penjara dan pembuangan.

APA HASIL AKHIR DARI KEBIJAKAN EKONOMI OLEH TIM EKONOMI PEMERINTAH YANG SENANTIASA TERDIRI DARI SATU KELOMPOK MASHAB PIKIRAN, DAN BERGANTUNG PADA KAPITALISME PARTIKELIR SERTA KEPERCAYAAN MUTLAK PADA KEAMPUHAN MEKANISME PASAR ?

Dimulai dengan pertemuan di Jenewa bulan November 1967 yang ditulis sangat ilustratif, dan kebijakan yang terus menerus sangat liberal atas pendiktean 3 lembaga keuangan internasional, maka saat ini, setelah hampir 64 tahun merdeka, kondisi bangsa kita dapat digambarkan sebagai berikut :

• Selama Orde Baru PDB memang meningkat dengan rata-rata 7 % per tahun, yang sangat dibanggakan oleh Tim Ekonomi dan diagungkan oleh trio lembaga keuangan internasional dan oleh para korporatokrat di seluruh dunia.PDB adalah penjumlahan dari seluruh produksi barang dan jasa di Indonesia, tanpa mempedulikan siapa yang memproduksi dan bagaimana pembagiannya. Maka sekedar sebagai ilustrasi, misalnya PDB yang dalam tahun tertentu mencapai Rp. 5.000 trilyun, sangat mungkin dibentuk oleh 5 % dari produsen di Indonesia, dengan bagian yang cukup besar oleh pengusaha asing.

Jadi kalau perusahaan tambang asing mengeduk sumber daya mineral yang sangat mahal harganya, dan pemerintah hanya memperoleh royalti dan pajak, nilai dari sumber daya mineral yang sangat mahal itu milik perusahaan tambang asing, tetapi di dalam statistik kita masuk ke dalam Produk Domestik Bruto. Kalau yang milik perusahaan asing dikeluarkan, namanya Produk Nasional Bruto (PNB). PNB tidak pernah dipakai sebagai indikator ekonomi yang penting oleh Tim Ekonomi Pemerintah yang memegang kekuasaan dan kendali ekonomi sampai saat ini.

Pada waktu mineral yang sangat besar nilainya itu diboyong ke negerinya, dalam statistik kita dicatat sebagai ekspor yang merupakan komponen dari PDB.

Bagaimana pembagian dari PDB yang terus menerus meningkat itu ? Walaupun tidak dapat dijadikan gambaran yang akurat tentang pembagiannya, sebagai indikasi dapat dikemukakan sebagai berikut. Yang membentuk PDB itulah yang menikmati nilai tambah yang paling besar. Tentu ada dampak positifnya seperti penciptaan lapangan kerja dan sebagainya.

Data tahun 2003 menunjukkan bahwa jumlah seluruh perusahaan 40,199 juta. Yang berskala besar 2.020 perusahaan atau 0,01 %. Yang tergolong UKM sebanyak 40,197 juta perusahaan atau 99,99 %.

Andil UKM yang 99,99 % dari seluruh perusahaan dalam pembentukan PDB hanya 56,7 %, sedangkan Usaha berskala besar dan raksasa yang hanya 0,01 % itu andilnya sebesar 43,3 %

Walaupun angka-angka tersebut tahun 2003, kondisinya sekarang tidak banyak berubah. Bahkan mungkin porsi UKMK menjadi semakin kecil.

Andil UKM dalam penyerapan tenaga kerja sebesar 99,74 %. Alangkah tidak adilnya, karena sekian banyak orang hanya terlibat dalam UKM yang tentunya pendapatannya juga minimal.

• Negara kita yang kaya dengan minyak telah menjadi importir neto minyak untuk kebutuhan bangsa kita. Sekitar 90% dari minyak kita dieksploitasi oleh perusahaan-perusahaan minyak asing. Pembagian hasil minyak yang prinsipnya 85% untuk Indonesia dan 15% untuk kontraktor asing kenyataannya sampai sekarang 70% untuk bangsa Indonesia dan 30% untuk perusahaan asing. Ini disebabkan karena pembayaran apa yang dinamakan cost recovery sampai sekarang tidak habis-habis. Semua orang mengetahui bahwa biaya eksplorasi digelembungkan, sehingga cost recovery-nya tidak habis-habis, walaupun sudah lama tidak ada eksplorasi lagi.Minyak milik rakyat Indonesia harus dijual kepada rakyat yang memilikinya dengan harga yang ditentukan oleh New York Mercantile Exchange (NYMEX); tidak oleh para pemimpin bangsa yang didasarkan atas hikmat kebijaksanaan, sesuai dengan kepatutan, daya beli rakyat dan nilai strategisnya dalam membangkitkan sektor-sektor ekonomi lainnya, seperti yang direncanakan sejak semula oleh para pendiri bangsa kita.

• Kalaupun mau fanatik mati pada mekanisme pasar yang dihayatinya bagaikan agama, NYMEX bukan pasar yang sempurna. Pertama, volume yang diperdagangkan di sana hanya 30% dari volume minyak dunia, sisanya atas dasar kontrak-kontrak. Kedua, adanya OPEC berarti harga sangat dipengaruhi oleh kartel yang bernama OPEC ini. Ketiga, NYMEX memperkeruh kompetisi yang diamanatkan oleh meksnisme pasar, karena ikut-ikutan dalam menciptakan future trading dalam pembentukan harga minyak, sehingga harga sangat dipengaruhi oleh spekulasi dengan posisi pelaku pasar yang kuat yang menang. Mengapa Boediono membela mati-matian harga NYMEX harus mutlak diberlakukan buat bangsa Indonesia yang ingin menggunakan minyak miliknya sendiri? Adakah yang menyuruh ?Apakah hal seperti ini termasuk penjajahan dalam benaknya Boediono yang hendak digugatnya ?

• Masih dalam kebijakan perminyakan, sikap Boediono bersama-sama dengan Menteri lainnya sangat tidak dapat dimengerti, yaitu tentang blok Cepu dan Exxon Mobil.Tommy Soeharto mempunyai kontrak dengan Exxon Mobil dalam bentuk Technical Assistance Agreement (TAC) sampai tahun 2010. Setelah itu menjadi milik pemerintah. Namun pagi-pagi Exxon Mobil minta perpanjangan sampai tahun 2030 yang bentuknya juga berubah menjadi kontrak bagi hasil. Ketika Pertamina masih dalam bentuk Persero hak memutuskan terletak pada Dewan Komisaris, tetapi harus dengan suara bulat. Mensesneg. Bambang Kesowo tidak setuju atas dasar pertimbangan yuridis, karena TAC tidak dapat begitu saja diubah menjadi Kontrak Bagi Hasil.

Saya menolak dengan alasan sangat prinsipiil, yaitu harus dikelola oleh Pertamina sendiri. 3 anggota Dewan Komisaris lainnya setuju diberikan kepada Exxon Mobil, termasuk Boediono. Perdebatan cukup sengit. Setelah sudah tidak mempunyai argumentasi apapun juga, akhirnya 3 yang pro Exxon Mobil terang-terangan mengatakan :”Indonesia/Pertamina tidak mampu”. Dalam rapat-rapat yang bersangkutan, Direktur Utama, Baihaki Hakim menyatakan sanggup dan sangat mampu mengelola sendiri, mengingat akan pengalamannya 13 tahun sebagai Dirut PT Caltex Indonesia. Boediono menyatakan tidak mempunyai uang, tetapi Direktur Keuangannya ketika itu, Ainun mengatakan sudah ada 6 bank yang antri memberi kredit karena deposit minyak di dalamnya 600 juta barrel. Karena keputusan harus aklamasi, keputusan ada di tangan Presiden Megawati. Beliau tidak mengambil keputusan, dan sementara itu saya didatangi dan ditekan oleh Dubes AS Ralph Boyce dan Direktur Exxon Mobil dari Houston. Saya bersisikukuh sangat tegas menolak dengan argumentasi dari pihak mereka yang sama sekali tidak masuk akal. Mereka didampingi oleh Direksi Exxon Mobil Indonesia yang sangat membela boss-nya orang AS itu. Apakah ini yang dirasakan oleh Boediono penjajahan dari luar, dengan dukungan dari dalam yang akan digugatnya ?
Dalam kondisi deadlock tanpa keputusan, masih dalam era Megawati Baihaki Hakim dipecat dengan alasan yang sama sekali tidak saya ketahui kecuali mengatakan : “Pak Baihaku Hakim itu bagus, tetapi ibaratnya untuk sopir Mercedez Benz. Yang kita butuhkan sopir truk”. Maka digantilah Baihaki Hakim dengan Widya Purnama. Diapun ternyata keras menentang diserahkannya kepada Exxon Mobil sampai tahun 2030, sehingga diapun dalam waktu singkat dipecat lagi.

Begitu SBY menjadi Presiden dan Boediono Menko Perekonomiannya, langsung saja diberikan kepada Exxon Mobil. Mengapa berangapan bangsa Indonesia tidak mampu mengeksploitasi blok Cepu ? Apakah ini yang akan digugat oleh Boediono sebagai Wapres nantinya ?

• Negara yang dikaruniai dengan hutan yang demikian luas dan lebatnya sehingga menjadikannya negara produsen eksportir kayu terbesar di dunia dihadapkan pada hutan-hutan yang gundul dan dana reboisasi yang praktis nihil karena dikorup. Walaupun telah gundul, masih saja terjadi penebangan liar yang diselundupkan ke luar negeri dengan nilai sekitar 2 milyar dollar AS.

• Sumber daya mineral kita dieksploitasi secara tidak bertanggung jawab dengan manfaat terbesar jatuh pada kontraktor asing dan kroni Indonesianya secara individual. Rakyat yang adalah pemilik dari bumi, air dan segala kekayaan alam yang terkandung di dalamnya memperoleh manfaat yang sangat minimal.Inikah yang diartikan oleh Boediono dengan istilah “penjajahan dari luar dan dari dalam” yang akan digugat olehnya ? Bukankah dia dan senior-seniornya yang se-ideologi dengannya berperan besar dalam pembentukan kebijakan-kebijakan yang seperti ini ?

• Ikan kita dicuri oleh kapal-kapal asing yang nilainya diperkirakan antara 3 sampai 4 milyar dollar AS.

• Jadi pencurian di lautan Indonesia sangat marak dengan kerugian negara yang sangat besar mencakup ikan, pasir, bensin, kayu curian beserta tumbu karang dan flora serta fauna lainnya. Ketika SBY menjabat sebagai Menko POLKAM dalam kabinet Megawati di Bappenas pernah diadakan rapat dengan para menteri dan panglima TNI, Kapolri beserta Kepala Staf tiga angkatan. Topiknya “Keamanan di Laut”. Yang mencuat yalah ditenggelamkannya kapal-kapal ilegal dengan bom dari udara. Saya sebagai Kepala Bappenas memperoleh tawaran kredit dari Perancis untuk membiayai sistem pengenal kapal ilegal melalui transponder dan satelit. Sama sekali tidak ada kelanjutannya.

• Sangat banyak produk pertanian diimpor.

• Republik Indonesia yang demikian besarnya dan sudah hampir 64 tahun merdeka dibuat lima kali bertekuk lutut harus membebaskan pulau Batam dari pengenaan pajak pertambahan nilai setiap kali batas waktu untuk diberlakukannya pengenaan PPN sudah mendekat, dan sekarang telah menjadi Kawasan Bebas Total buat negara-negara lain, tetapi terutama untuk Singapura, sehingga bersama-sama dengan pulau Bintan dan Karimun praktis merupakan satelitnya negara lain.Tim Ekonomi menjadikan tidak datangnya investor asing sebagai ancaman untuk semua sikap yang sedikit saja mencerminkan pikiran yang mandiri. Dijadikannya pulau-pulau Batam, Bintan dan Karimun sebagai Free Trade Zone total dengan acamana-ancaman bahwa kalau tidak, sekian ratus perusahaan akan hengkang dsb.

Free Trade Zone total berarti bahwa antara Batam, Bintan dan Karimun dengan seluruh dunia tidak ada batasan, tetapi antara tiga pulau tersebut dengan semua wilayah Indonesia harus dibuat batasan supaya tidak terjadi penyelundupan yang besar-besaran dan bebas total juga.

Saya tidak a priori serta merta menolak, tetapi dibutuhkan perhitungan tentang untung ruginya yang lengkap dan akurat, dan ini tidak pernah dipublikasi kalau ada, atau sama sekali tidak pernah dibuat.

• Industri-industri yang kita banggakan hanyalah industri manufaktur yang sifatnya industri tukang jahit dan perakitan yang bekerja atas upah kerja yang sangat rendah dibandingkan dengan nilai tambah yang diperoleh majikannya. Oleh John Pilger industri-industri pengolahan itu disebut sweat shops.

• Saya beruntung dibolehkan memutar film tersebut dalam salah satu sidang kabinet. Begitu selesai, Boediono mendatangi saya sambil mengatakan bahwa yang ditayangkan itu tadi semuanya tidak benar. Sampai saat ini saya masih tidak mengerti mengapa dia merasa perlu mengatakan demikian tentang film yang dibuat dengan wawancara langsung dengan para pejabat Bank Dunia beserta banyak wawancara dengan buruh Indonesia. Saya tidak dapat melepaskan diri dari perasaan bahwa Boediono selalu harus membela apa saja yang pro Bank Dunia dan apa saja yang anti trio Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan IMF harus ditentangnya.

• Pembangunan dibiayai dengan hutang luar negeri melalui organisasi yang bernama IGGI/CGI yang penggunaannya diawasi oleh lembaga-lembaga internasional. Sejak tahun 1967 setiap tahunnya pemerintah mengemis hutang dari IGGI/CGI sambil dimintai pertanggung jawaban tentang bagaimana dirinya mengurus Indonesia? Mulai tahun lalu CGI memang dibubarkan, tetapi pembubaran itu hanyalah pura-pura. Kenyataannya APBN kita masih sangat tergantung pada hutang luar negeri dari Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia dan negara-negara anggota CGI terpenting.

• Hutang dipicu terus tanpa kendali sehingga sudah lama pemerintah hanya mampu membayar cicilan hutang pokok yang jatuh tempo dengan hutang baru atau dengan cara gali lubang tutup lubang. Pembayaran untuk cicilan hutang pokok dan bunganya sudah mencapai 25% atau lebih dari APBN setiap tahunnya.

• Dalam pemerintahan Megawati 3 jet tempur AS tipe F-18 mengepung 1 F-16 di atas Bawean Jawa Timur tanpa izin memasuki wilayah RI, yang mengawal kapal perang induk yang juga masuk ke dalam wilayah RI tanpa izin. Ketika pilot kita memperingatkan, pesawat F-18 mengeluarkan senjatanya. Setelah pilot kita mengatakan tidak mau baku tembak, dan hanya mau menjelaskan, dijawab singkat oleh pilot AS, bahwa setelah mendarat dan pada waktunya, dia akan minta izin. Minta izin setelah kejadian. Sungguh pelecehan dan penghinaan terang-terangan dan luar biasa, karena TNI kita memang hanya mempunyai satu F-16 yang bisa terbang ketika itu.

• Dalam pemerintahan SBY-JK, kapal nelayan Indonesia tidak sengaja tersesat ke dalam wilayah Australia. Seluruh isi kapal dipindahkan ke geladak kapal perang Australia. Kapal nelayan kita digranat berkali-kalik, dan setiap granat meledak, orang-orang Australia yang ada di geladak kapal itu bersorak sorai, dan para nelayan kita menangis. Tragedi ini berlangsung terus sampai kapal nelayan Indonesia tenggelam. Adegan ini ditayangkan di TV Indonesia tanpa pemerintahnya berdaya melindungi atau membela para nelayan kita yang naas dan sangat mengenaskan itu. Sepanjang pengetahuan saya tidak pernah ada protes juga dari pemerintah kita.

• Dalam pemerintahan Megawati telah dirintis membangun industri pertahanan dengan 4 industri strategis yang sudah kita miliki. Study-nya dilakukan oleh experts China yang dibiayai oleh pemerintah China sebagai hibah. Mereka bekerja keras dan sudah praktis selesai dengan studi tahap pertama. Mereka mengatakan bahwa PT Dirgantara mesin-mesinnya sangat bagus, bisa dipakai untuk membuat banyak hal. Dengan PT PAL, PINDAD, PT Dirgantara dan Karakatu Steel, Indonesia sudah bisa mulai membangun industri pertahanan yang sangat lumayan tanpa investasi lagi. Pemerintah China berjanji tidak akan ada yang disembunyikan dalam alih teknologi. Alasannya masuk akal, yaitu untuk membantu Indonesia membangun industri pertahanannya pada tahap paling awal ini memang tidak ada teknologi canggih yang harus diberikan kepada Indonesia. Lain halnya kalau kita minta supaya memberikan teknologi luar angkasa. Tentang hal ini sudah dicek masuk akal atau tidaknya dengan Panglima TNI dan Menko Polkam yang ketika itu Bapak SBY sendiri. Beliau berminat dan sudah bertemu dengan President dari Great Wall di Beijing, industri pertahanan China.Begitu pemerintahan diganti oleh pemerintahan SBY-Kalla, Kepala dari Executing Agency-nya, Menteri BPPT memanggil saya dan wakil Dubes China, Tan Wei Wen untuk menjelaskan bagaimana riwayatnya. Setelah mendengarkan ceritera kami, seorang Deupty muda hanya memberi komentar : “Why China?” Habislah riwayat perintisan ini, dan sekarang Krakatau Steel mau dijual. Entah apa nasibnya PT Dirgantara. Yang jelas Indonesia tidak mempunyai industri pertahanan yang memadai yang sekarang menjadi pembicaraan ramai karena jatuhnya sekian banyak pesawat udara AU, yang terakhir dengan Hercules dengan korban jiwa begitu banyak.

Jelas bahwa kecuali kekurangan dana, rapuhnya alutsista kita tidak dapat dilepaskan dari kesengajaan membiarkan diri sendiri dikekang oleh kekuatan-kekuatan Barat. Negara bangsa Indonesia yang lemah seperti ini dalam pertahanan merupakan bagian dari apa yang dinamakan leverage untuk menekan Indonesia. Apakah ini merupakan penjajahan zaman modern yang akan digugat oleh Boediono ?

No comments: