Saturday, November 22, 2008

TRAGEDY OF COMPROMISE (Bag 6)

6. Mimbar Prasmanan

Konsep "Memasarkan Yesus"

Salah satu pengalaman di restoran yang menjadi kesukaan isteri saya adalah mengelilingi salad bar (meja yang menyajikan berbagai jenis salad yang boleh dipilih sesuai selera pengunjung - penerjemah). Dari bahan makanan lezat yang ada disitu, ia bisa menjadikannya sebagai makanan utama. Semakin banyak pilihan, semakin ia menikmatinya.

Banyak gereja kontemporer kini telah menjadi spesialis yang mengelola "salad bar" rohani. Disitu tersedia apa saja yang diinginkan. Jika anda tidak suka dengan suatu tawaran, maka dengan mudah anda akan mendapatkan pilihan lain yang lebih memenuhi selera rohani anda. Pendekatan "salad bar" seperti ini menarik banyak sekali orang, namun apakah itu membangun jemaat yang kuat?

Apakah Pelanggan Selalu Benar?
Banyak gereja modern dibangun dengan konsep bahwa orang harus mengetahui apa yang dituntut oleh pasar dan kemudian menyesuaikan pelayanannya dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Ini merupakan semangat kapitalis yang mengenakan pakaian religius. Sebuah gereja di sebuah kota di barat-tengah meneliti lingkungan sekitarnya dan bertanya kepada para warga mengenai gereja bagaimana yang paling mereka sukai ada di daerah itu. Para penghuni daerah itu memberikan banyak usulan, dan kemudian gereja itu mulai membangun sebuah gereja baru yang sesuai dengan keinginan yang telah disampaikan. Sebagai contoh, menurut angket tersebut, nama "Baptis" dianggap ofensif, sehingga gereja itu dengan sukarela menanggalkan nama tersebut.

Kita sama sekali tidak mendapatkan satu ayatpun yang mendukung konsep "pemasaran gereja" ("church marketing") yang kini digembar-gemborkan secara luas. Rasul-rasul tidak mengadakan survei terhadap masyarakat ramai yang fasik di kota-kota Romawi untuk mengetahui jenis gereja apa yang mereka rasa lebih tepat. Mereka mengikuti pola yang diwahyukan oleh Allah kepada mereka, bukan pendapat-pendapat yang diperoleh melalui survei lingkungan sekitarnya. Apakah yang diketahui orang-orang binasa mengenai gereja yan tepat? Tidak ada! Secara rohani mereka inkompeten, buta dan memberontak terhadap Allah. Mereka tidak memiliki kemampuan rohani yang dibutuhkan untuk menilai keaslian suatu gereja dengan semestinya. Mereka binasa karena pelanggaran dan dosa. Orang binasa tidak bisa memberikan penilaian yang benar-benar baik.

Sebenarnya, jenis gereja yang diinginkan oleh rata-rata orang Amerika yang belum diselamatkan sungguh sangat bertentangan dengan yang digambarkan di dalam Perjanjian Baru. Orang yang belum diselamatkan menginginkan gereja yang bisa menenangkan perasaan mereka, sebaliknya Tuhan menginginkan gereja yang dapat membuat orang itu merasa sangat bersalah dengan dosanya. Orang yang belum diselamatkan menyukai hingar-bingar gaya musik kontemporer, sementara Tuhan menginginkan musik yang memuliakan Sang Juruselamat. Orang yang belum diselamatkan menginginkan gereja yang memiliki standar atau tuntutan yang sedikit, sebaliknya Tuhan menginginkan gereja yang menyerukan kepada jemaatnya untuk melayani dengan pengorbanan dan tidak mementingkan diri. Tuhan tidak mengundang orang-orang binasa untuk mengkritik jemaatNya, karena mereka adalah "...pembenci Allah, ... sombong..., [dan] tidak berakal" (Rom. 1: 30-31). Kehendak Allah mengenai organisasi, metodologi, dan pengajaran tentang jemaat lokal diwahyukan di dalam Perjanjian Baru. Wahyu tersebut tidak boleh disesuaikan atau diperdebatkan maupun terbuka untuk dikoreksi oleh mereka yang tidak memiliki ketajaman rohani.




Jalan Menuju Salad Bar
Mode pemasaran gereja yang berkembang dianut oleh Injili Baru. Banyak pemimpin gerakan itu dididik di institusi-institusi Injili Baru. Leith Anderson, misalnya, adalah penulis dua buku populer yang menekankan pendekatan pemasaran gereja. Ia adalah sarjana lulusan dari dua sekolah Injili Baru terkemuka - Conservative Baptist Seminary di Denver dan Fuller Theological Seminary.

Prinsip-prinsip yang melekat dalam Injili Baru juga muncul dalam gerakan pemasaran gereja dimana prinsip-prinsip ini secara khusus telah diterapkan di dalam bidang pertumbuhan gereja. Sementara beberapa kalangan fundamentalis telah terpikat dengan teknik pemasaran gereja, sesungguhnya Injili Baru terutama telah menyebarkan dan melaksanakannya. Beberapa prinsip pegangan yang didukung oleh pemasaran gereja yang berasal dari Injili Baru dapat disebutkan.

Yang Dinamakan Negativisme Dianggap Hina
Injili Baru menghindari kritik terbuka terhadap theologi dari kalangan injili yang lain. Dengan nada yang serupa, para pendukung pemasaran gereja menasehatkan orang-orang yang ingin membangun kesuksesan, yakni gereja yang bertumbuh agar jangan mengkritik pandangan dari sesama orang percaya. Sebagai contoh, theologi kharismatik tidak ditantang oleh kalangan non-kharismatik. Karena itulah, kalangan kharismatik sering merasa nyaman di dalam gereja yang pernyataan doktrin resminya bukan non-kharismatik.

Keterbukaan dan Penekanan Kepada Perbedaan
Secara historis Injili Baru membangga-banggakan keaneka-ragaman besar yang ada di dalam kalangan umum yang disebut "injili". Mereka mendirikan payung besar yang menaungi pribadi-pribadi dan gereja-gereja, dimana berbagai keyakinan yang berbeda-beda bisa bernaung di bawahnya. Pandangan yang sama ini ditemukan di dalam gerakan pemasaran gereja. Jurubicara mereka menasehati para pengikutnya untuk mengurangi apa yang mereka namakan "perbedaan denominasional", yang mereka maksudkan adalah hal-hal seperti mode baptisan, organisasi gereja, doktrin tentang keselamatan kekal, dan pendapat-pendapat mengenai karunia rohani. Mereka menyerukan penekanan kebenaran injili yang lebih umum yang tidak "memecah-belah".

Pragmatisme dalam Metodologi
Dengan lahirnya penginjilan ekumenikal di bawah kepimpinanan Billy Graham, berkembanglah semangat pragmatis dalam kalangan injili. "Cara apapun boleh, asal memenangkan jiwa". Jika muncul kritik yang menentang filosofi ekumene, maka pembelanya kerapkali menjawab, "Tapi 'kan jiwa-jiwa diselamatkan! Bagaimana anda bisa menentang pemenangan jiwa?" Dengan demikian praktek ketidaktaatan yang menyatukan kaum liberal dengan orang-orang yang mempercayai Alkitab dengan alasan penginjilan ini mendapat dukungan. Prinsip umum yang serupa itu kini menjadi pegangan bagi mereka yang ingin mengajar kita bagaimana membangun gereja. Salah satu contoh misalnya adalah digunakannya raungan musik rock yang serak di hadapan mimbar Allah. Pembelaan atas praktek ini adalah "Ia mengisi gereja-gereja kita dan menjangkau orang. Mari kita melakukannya!"

Sungguh jalan ke mimbar prasmanan itu berasal dari kubu Injili Baru. Kompromi, tanda dari Injili Baru, merupakan pedoman pemasaran gereja yang prinsipiil.

Puncak Penjualan Religius
"Saatnya untuk Mencari", sebuah artikel dalam majalah sekuler Newsweek, mengadakan penelitian iklim religius yang sedang terjadi dan secara khusus menganalisis faktor-faktor yang memotivasi para pengunjung gereja. Kutipan berikut mengikhtisarkan kecenderungan umum dari artikel tersebut.

"Daripada saya yang menyesuaikan diri dengan sebuah agama, lebih baik saya mencari sebuah agama yang cocok dengan saya".

"Agar bisa mengakomodasi, banyak hamba Tuhan yang dengan mudah menghapuskan dosa dari perbendaharaan katanya".


"Terdapat suatu semangat yang lebih mengutamakan manusia daripada doktrin dan denominasi".

"Pasar kini merupakan sistem penilaian yang paling banyak digunakan oleh para pelaksana gereja yang lebih muda usia".[38]

Seorang analis yang bukan fundamentalis, menyerukan peringatan yang perlu diperhatikan, "Kita dicobai untuk mengurangi pentingnya komitmen dan ketaatan. Kita digoda untuk memperlunak kebenaran agar generasi yang tegar-tengkuk mau mendengarkan kita dengan fair. Ada garis yang tajam antara pemasaran yang cekatan dan kerohanian yang berkompromi".[39] Penulis yang sama di dalam bukunya yang lain menyatakan, "Seringkali gereja-gereja besar dan sedang berkembang mendapat banyak jemaat dengan mengkompromikan kepercayaan mereka agar bisa mempertahankan pertumbuhan mereka".[40]



Wajarlah jika kita bertanya, "Bolehkah tujuan menghalalkan segala cara?" Banyak kalangan yang disebut pakar pertumbuhan gereja masa kini memberikan kesan bahwa gereja harus melakukan apa saja yang diperlukan untuk menarik berduyun-duyun orang datang ke sana. Sikap seperti itu sangat dikecam oleh nabi Yesaya berabad-abad yang lalu ketika ia menegur bangsa Israel: "Celakalah orang-orang yang pergi ke Mesir minta pertolongan, yang mengandalkan kuda-kuda, yang percaya kepada keretanya yang begitu banyak, dan kepada pasukan berkuda yang begitu besar jumlahnya, tetapi tidak memandang kepada Yang Mahakudus, Allah Israel, dan tidak mencari Tuhan" (Yes. 31: 1). Israel ditegur karena menyandarkan diri kepada kekuatan kedagingan manusia, bukannya kekuatan Allah. Gereja masa kini sedang berada di dalam bahaya karena mengulangi kesalahan tersebut.

Mengupayakan Kemustahilan
Konferensi dan seminar tentang bagaimana membangun gereja yang besar kini banyak diselenggarakan, dan cukup banyak gembala yang sering menghadirinya. Banyak sekali buku yang bicara tentang masalah pertumbuhan gereja. Presentasi-presentasi mengenai bagaimana melakukannya memberi kesan bahwa jika rata-rata gembala menerapkan metode yang disarankan sesuai situasi masing-masing, maka gerejanya akan mengalami pertumbuhan yang fantastik. Sayangnya hal tersebut tidak terbukti secara mayoritas. Seorang penulis yang meskipun dirinya sendiri adalah seorang gembala yang berhasil, namun dengan sangat jujur menyatakan penilaiannya terhadap arus gerakan pertumbuhan gereja: "Orang-orang top Injili telah melakukan dan dapat melakukan prestasi yang luar biasa. Mereka menceritakan kisah-kisah yang menarik perhatian dan memberikan nasehat di dalam konferensi. 'Engkau juga dapat melakukannya!' Tentu saja hal tersebut tidak berlaku bagi kebanyakan orang yang hadir disitu. Sebenarnya, keberhasilan seorang gembala tertentu kerapkali adalah karena kharisma pribadi, kepemimpinan yang luar biasa, dan jenius kreatif yang tidak bisa ditiru oleh orang lain".[41]

Pameran dari banyak gereja besar dan sukses secara terus-menerus sebagai contoh yang harus ditandingi akan lebih merusak daripada menolong. Ada kesan bahwa keberhasilan pelayanan adalah ditandai dengan peningkatan jumlah. Gembala-gembala yang gerejanya tidak menunjukkan bukti peningkatan yang hebat akan merasa mereka telah gagal.

Penulis buku ini telah mengajar Firman Tuhan lebih dari limapuluh tahun. Ia telah pergi ke ratusan gereja di negeri ini dan negeri lainnya. Rata-rata gereja fundamentalis bukan gereja yang besar. Rata-rata gembalanya bukan seorang gembala "super" dan memang tidak akan. Beberapa di antaranya memenuhi persyaratan untuk memimpin pekerjaan-pekerjaan besar dengan pelayanan berbagai bidang. Ini bukan hal yang buruk. Simaklah baik-baik nasehat Paulus: "Berdasarkan kasih karunia yang dianugerahkan kepadaku, aku berkata kepada setiap orang di antara kamu: Janganlah kamu memikirkan hal-hal yang lebih tinggi daripada yang patut kamu pikirkan, tetapi hendaklah kamu berpikir begitu rupa, sehingga kamu menguasai diri menurut ukuran iman, yang dikaruniakan Allah kepada kamu masing-masing" (Rom. 12: 3). Maksudnya adalah bahwa setiap hamba Allah harus hati-hati dan realistis menilai karunianya dan merasa puas melayani di dalam lingkup karunia-karunia tersebut. Bahwa seorang gembala yang mampu mendirikan sebuah jemaat yang besar belum tentu berarti ia lebih rohani dibandingkan dengan gembala yang memiliki domba-domba yang lebih sedikit. Ada beberapa orang yang sangat rohani yang tidak pernah menggembalakan jemaat yang besar.

Menyingkirkan Doktrin!



Pengajaran doktrin yang benar mengalami masa-masa yang jahat. Doktrin dianggap terlalu berat dan tidak cukup praktis untuk ditampilkan di dalam khotbah masa kini. Disamping itu, doktrin memecah-belah dan menghambat seruan persatuan penginjilan yang lebih besar.

Seorang gembala gereja raksasa (megachurch) yang terkenal mengatakan bahwa kita harus berfokus kepada kebutuhan manusia daripada berfokus kepada apa yang disebutnya kebenaran "theosentris":

Gereja yang menegur orang-orang tidak percaya dengan sikap theosentris sama artinya dengan gagal di dalam misi... Saya berpendapat, bahwa orang-orang tidak percaya akan memperhatikan jika saya menunjukkan perhatian yang sejati terhadap kebutuhan mereka dan perhatian yang tulus atas penderitaan manusiawi mereka.


Telah beberapa dekade kita menyaksikan gereja di Eropa Barat dan di Amerika merosot kekuatannya, jumlah anggota dan pengaruhnya. Saya yakin kemerosotan ini disebabkan karena penggunaan komunikasi theosentris kita yang mengabaikan pemenuhan kebutuhan emosional dan rohani manusia yang lebih mendalam.[42]

Pernyataan mengejutkan ini menghendaki restrukturisasi theologi Kristen, yakni pergeseran dari pendekatan yang berpusat kepada Allah (theosentris) menjadi pendekatan yang berpusat kepada manusia (anthroposentris). Ini merupakan kesalahan yang sangat serius yang menyerang tepat pada inti theologi alkitabiah dan orthodoks. Apakah tujuan utama Allah yang menyatakan diriNya kepada manusia itu untuk memuliakan diriNya atau untuk memberikan penghiburan kepada manusia? Apakah Alkitab itu sebuah kitab theosentris atau kitab yang anthroposentris? Walaupun wahyu Allah di dalam AnakNya dan di dalam FirmanNya membawa berkat dan penghiburan kepada umat manusia, tujuan pokok wahyu bukanlah untuk memberkati manusia, namun untuk kemuliaan Allah.

Menekankan Penjualan

"Penggantian posisi Allah semesta alam dengan sesuatu yang bisa dijual kepada manusia harus kita hentikan".[43] Banyak gembala dengan tulus akan mengucapkan "Amin" atas pernyataan ini. Namun sukses yang terlihat jelas secara halus telah meyakinkan orang bahwa metode yang digunakan benar-benar dapat diterima. Namun seperti yang ditunjukkan oleh seorang penulis, "Pertanyaan yang memberondong muncul: Ketergantungan kita pada teknik pertumbuhan gereja ataukah pekerjaan Roh Kudus yang ajaib?"[44] Seluruh konsep "pemasaran gereja" menekankan teknik penjualan yang licin, bukannya bersandar kepada kuasa Allah. Pengabaian merupakan prinsip yang dinyatakan oleh Rasul Paulus: "Baik perkataanku maupun pemberitaanku tidak kusampaikan dengan kata-kata hikmat yang meyakinkan, tetapi dengan keyakinan akan kekuatan Roh" (I Kor. 2: 4). Salah seorang yang dirinya sendiri merupakan seorang gembala yang sangat berhasil, meminta perhatian terhadap keseriusan masalah yang sedang kita hadapi.

Os Guiness memperingatkan bahwa dua kekuatan kultural yang paling kuat yang telah diterima oleh gereja dengan tanpa diselidiki adalah gerakan manajerial dan pengobatan (theurapetic). Bahaya sedang menghampiri pembaharuan gereja melalui teknik manajerial... Gereja yang "user-friendly" ("bersahabat dengan pemakai"), jika yang dimaksud istilah ini adalah untuk memenuhi tujuan kultural dan keinginan pribadi mode masa kini, maka ia adalah gereja yang fasik. Boleh saja banyak orang yang hadir disitu, namun apakah mereka sudah dihadapkan masalah serius yang diangkat oleh Injil (dosa dan kasih karunia) dan panggilan untuk turut dalam pemuridan?[45]

Pertanyaan terus-terang yang harus dihadapi oleh setiap gembala adalah: Apakah saya membangun gereja yang memuliakan Allah dan sesuai dengan pola yang dinyatakan di dalam FirmanNya? Para gembala harus memperhatikan bagaimana ia membangun. Inilah pokok yang dimaksud di dalam I Kor. 3: 5-17. Sementara perikop ini kerapkali dapat diterapkan dalam kehidupan pribadi orang percaya, tujuan utamanya adalah diperuntukkan kepada para gembala dan para pendiri gereja. Paulus memberitahukan bagaimana membangun sebuah gereja, bukan bagaimana membangun suatu kehidupan. Sebagai seorang "ahli bangunan yang cakap", Paulus meletakkan dasar bagi jemaat di Korintus. Orang lain membangun terus di atas dasar itu, dan semua yang terbeban sebagai pemimpin jemaat tersebut (dan juga yang lainnya) pada akhirnya harus mempertanggungjawabkan apa yang telah mereka bangun kepada Allah. "...bagaimana pekerjaan masing-masing orang akan diuji oleh api itu" (I Kor. 3: 13). Artinya, kualitas jemaat lokal itu akan diuji pada hari Tuhan ketika semua pengerja dan pekerjaan mereka dinilai. Bisa saja membangun suatu gereja besar yang dalam pandangan manusia merupakan kesuksesan yang nyata, namun semua itu tidak akan luput dari ujian akhir dari Penguasa atas jemaat itu. Frase "bagaimana" mengacu kepada kualitas (mutu), dan bukan kuantitas (jumlah). Kita tidak bisa membuat Injil diterima oleh dunia yang sesat, ataupun bertanggungjawab atas tugas itu. "Analisis mengenai apa yang disukai orang dan kebiasaan orang sebagai acuan yang harus gereja berikan kepada mereka cenderung mengecilkan konflik langsung yang senantiasa dihadapi Injil dengan dunia ini".[46]

Orang tidak bisa menemukan bahwa Kitab Suci mendukung "konsep pemasaran". Para rasul dan orang Kristen mula-mula hanya mengkhotbahkan Injil di dalam kuasa Roh Kudus dan selanjutnya Allah yang bekerja. "Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan" (Kis. 2: 47).

Faktor Hiburan (Entertainment)
Bahwa kita hidup dalam zaman yang gila-hiburan adalah tak terbantahkan. Orang menginginkan sensasi setiap saat. "Orang Kristen mula-mula bertemu untuk beribadah, berdoa, bersekutu, dan dibangun - serta tersebar untuk memberitakan Injil kepada orang-orang tidak percaya. Banyak orang kini meyakini bahwa kebaktian gereja harus menghibur orang-orang tidak percaya agar menciptakan pengalaman enak yang akan membuat Kristus lebih cocok bagi mereka... Mereka berkata bahwa gereja harus mengadopsi metode-metode baru dan program-program yang inovatif untuk menjangkau orang pada level dimana mereka hidup".[47]

Jika kita membaca Perjanjian Baru maka akan terungkap tidak adanya perhatian terhadap faktor hiburan di dalam kebaktian dan pelayanan penginjilan gereja. Perhatian ditujukan kepada kebutuhan manusia, bukan kepada keinginan mereka. Michael Horton menyinggung permasalahan kita ini ketika ia menulis:

Mendekati akhir abad duapuluh kita telah berubah menjadi anak-anak nakal Allah yang banyak menuntut. Dalam gereja, kita harus dihibur. Perasaan kita harus diisi... Kita harus mendapatkan apa yang terbaik di dunia... Kita harus disajikan program-program yang memikat... Khotbah harus diisi dengan anekdot-anekdot cerdik dan aneka ilustrasi, yang sebenarnya tidak lain adalah untuk melangkahi rujukan doktrin: "Aku ingin tahu apa makna khotbah itu bagiku dan bagi pengalamanku sehari-hari".[48]

Sebuah artikel di Wall Street Journal menampilkan gereja The Second Baptist Church of Houston, Texas, sebuah contoh gereja raksasa yang terkenal. Orang-orang yang menghadiri gereja akan "menyaksikan pertunjukan bergaya Broadway dengan pesan religius... Dalam aktivitas dan hiburan, mereka menawarkan hal yang sama banyaknya seperti yang mereka lakukan dengan agama".[49] Gereja tersebut sangat sukses, kata artikel tersebut, karena mereka telah menghapuskan "nyanyian pujian kuno dan ... dogma denominasional".[50] Sebagai penggantinya, "para remaja bergoyang dan bersorak dengan 'Solid Rock'".[51] Gereja, katanya, "terutama adalah dirancang bagi generasi yang tidak terlayani oleh theologi, yang pada dasarnya non-sektarian dan tidak terikat perasaannya dengan gereja tua sekitarnya. Sebagai pengunjung gereja, mereka pragmatis dan terbatas waktunya, dan sangat haus dengan ... hiburan yang mempesona".[52] Gereja tersebut menawarkan olahraga sepeda statis, jacuzzi (kolam mandi kecil yang mempunyai mekanisme pusaran air - penerjemah), dan bioskop mini. Mereka pernah menampilkan suatu pertarungan gulat dengan peserta karyawan gereja agar Minggu malam ramai dihadiri.

Memperbanyak Aktivitas
Salah satu rahasia untuk membangun gereja yang sukses, katanya, adalah menyediakan apa saja untuk semua orang. Gereja-gereja raksasa mirip dengan saingan sekulernya - yaitu mega mall. Semakin banyak toko yang menyediakan keperluan-keperluan khusus dikumpulkan di satu tempat, semakin besar kemungkinan pembeli yang bisa mereka tarik. Prinsip yang sama ini diterapkan pada pengembangan gereja. "Seringkali mega-church berkembang, bukan karena kehebatan penginjilan mereka atau khotbahnya yang lebih baik atau lebih cakap menghasilkan pemuridan yang sejati, tetapi oleh karena mereka memiliki sumber-daya untuk menciptakan aktivitas-aktivitas khusus yang menarik keinginan berbagai kelompok yang berbeda-beda".[53]

Perjanjian Baru memberikan deskripsi yang lebih menyeluruh atas pelayanan jemaat lokal yang diberikan Allah. Ikhtisar yang berguna tersebut ditemukan di dalam Kis. 2: 42: "Mereka bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan. Dan mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa". Jemaat-jemaat Perjanjian Baru mempunyai ciri-ciri memberitakan Injil (Kis. 5: 42), berdoa (Kis. 12: 5), bernyanyi (Ef. 5: 19), memberikan persembahan (I Kor. 16: 2), membaptis (I Kor. 1: 14-16), melaksanakan perjamuan Tuhan (I Kor. 11: 20-34), dan biasanya saling menguatkan (Kis. 14: 22). Pelayanan gereja seharusnya merupakan pelayanan rohani. Gereja tidak boleh menjadi suatu klub olahraga dan kesehatan religius, tetapi harus menjadi sebuah sumber pemeliharaan dan pengajaran rohani.

Berhasil Mencapai Puncak
Salah satu keajaiban religius Amerika modern adalah Crystal Cathedral (Gereja Kristal), yang digembalakan oleh Robert Schuller, guru gerakan pertumbuhan gereja yang terkenal. Schuller mengaku sendiri sebagai murid dari Norman Vincent Peale, pengkhotbah dan psikolog religius New York yang terkenal. Beberapa tahun yang silam Schuller pergi ke California Selatan dan memulai pelayanannya. Pelayanannya berkembang menjadi proporsi yang hebat sekali dan menjadi model bagi banyak kalangan. Seperti apakah gereja tersebut?

Seluruh gereja berorientasi kepada program, tim pastoral full-time berfungsi sebagai eksekutif korporat. Prinsip manajemen yang berlandaskan kesuksesan dunia bisnis dengan mudah ditransformasikan ke dalam model ini. Profit diukur dengan jumlah angka, baik itu keputusan pertama, keanggotaan maupun persembahan. Tim tersebut sangat qualified dan profesional. Target yang dipersiapkan adalah "cari orang yang terluka dan pulihkan". Model ini memunculkan beberapa pertanyaan serius yang meluas mengenai tindakan mengakomodasikan Injil kepada perwujudan masyarakat konsumen.[54]

Apakah yang memotivasi begitu banyak gembala dan gereja (untuk mengikuti) konsep pelayanan yang dikendalikan oleh konsumen itu? Michael Horton berpendapat sebagai berikut: "Ada sesuatu yang dibanggakan jika menjadi bagian dari sesuatu yang dihargai masyarakat. Jika kita bisa membangun gedung-gedung yang lebih besar, mempunyai kumpulan yang lebih besar, menciptakan perusahaan-perusahaan yang lebih besar, dan bersaing dengan produk lain yang diproduksi massal, maka kita akan menjadi bagian dari sesuatu yang penuh kekuatan, sesuatu yang relevan, dan dunia akan duduk tegak dan memperhatikan kita... Itu juga yang mempengaruhi orang-orang percaya di Korintus, yang telah melupakan akarnya".[55]

Perlu diperhatikan bahwa pertumbuhan banyak gereja tidak selalu merupakan hasil penginjilan terhadap orang-orang yang terhilang. "Jemaat (gereja) bertumbuh karena penataan-kembali orang-orang kudus. Kaum Injili hanya merupakan gereja yang memainkan musik, berputar-putar untuk lebih mengasyikkan, gereja-gereja yang lebih besar".[56]

Evaluasi
Apakah yang membuat umat Allah berpaling dari prinsip-prinsip dan prioritas Alkitab dan terpikat dengan pola pertumbuhan gereja yang kedagingan? Os Guiness menyebutkan paling sedikit empat faktor yang memberi kontribusi munculnya "agama konsumen" itu: "(1) Bubarnya monopoli denominasi-denominasi jalur-lama dalam kehidupan religius Amerika; (2) pengagungan terhadap kesuksesan; (3) komersialisasi budaya kita yang menyebar luas; dan (4) upaya orang Kristen untuk mempengaruhi budaya".[57] Faktor-faktor ini masih dapat ditambahkan lagi paling sedikit satu faktor: meninggalkan theologi yang berpusat pada Allah menjadi theologi yang berpusat pada manusia dan pragmatis. Persepsinya sangat lazim bahwa bagaimanapun juga Allah yang berkuasa memerlukan bantuan untuk menyelesaikan tujuanNya di bumi. Karena itu, sebagai makhluk hidup kita harus bergegas turut di dalam penyelamatan Yang Mahakuasa, ditopang dengan cara pemasaran yang terbaru untuk membantu membebaskan jemaat Allah dari kegagalannya. Dalam artikel yang sangat berwawasan, Bill Hull bertanya, "Benarkah Gerakan Pertumbuhan Gereja Berhasil?"

Dengan sangat menyesal saya harus menjawab, "Tidak". Namun tetap saja gereja injili kelihatan seperti seorang anak kecil dengan mainan barunya. Sementara gereja-gereja dan para gembala mengharapkan perlengkapan yang lebih cekatan dari para ahli pemasaran, para ahli tersebut didorong untuk semakin kreatif sehingga akhirnya metode-metode tersebut menguburkan pengajaran di dalam ketidakjelasan. Karena itu, pertumbuhan gereja tidak boleh dijadikan dasar untuk membangun gereja yang efektif; metode itu berbasis sosiologis, ia dikendalikan data dan memuja kepada mezbah pragmatisme. Ia lebih menjunjung tinggi setiap hal yang berhasil dan mendefinisikan sukses dengan pengertian yang duniawi dan sempit. Ia menawarkan model-model yang tidak bisa diulang dan pemimpin-pemimpin yang tak dapat ditiru. Prinsip-prinsip bisnis modern lebih dirujuk daripada doktrin... Namun gereja tetap saja harus dikendalikan dengan pengajaran alkitabiah, bukan dengan survei pemasaran yang terbaru atau kecenderungan konsumen.[58]

Ini merupakan sifat kedagingan yang menginginkan pengakuan dan kebesaran. Anak-anak Zebedeus sangat memikirkan status mereka dalam kerajaan yang akan datang. "Perkenankanlah kami duduk dalam kemuliaanMu kelak, yang seorang lagi di sebelah kananMu dan yang seorang di sebelah kiriMu" (Mrk. 10: 37). Dalam kesempatan yang lain murid-murid bertanya, "Siapakah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga?" (Mat. 18: 1). Pertanyaan mereka kedengarannya sama sekali tidak asing, sama dengan pertarungan di antara kaum injili masa kini yang memperebutkan "hak menyombongkan diri". Alkitab memberikan penangkal terhadap masalah ini: "Masakan engkau mencari hal-hal yang besar bagimu sendiri? Janganlah mencarinya!" (Yer. 45: 5). Berapa banyak hamba Tuhan yang kini menghabiskan banyak pikiran, waktu dan energi untuk mencari "hal-hal yang besar"? Tujuan kita seharusnya adalah kehormatan dan kemuliaan Allah yang terpuji. "Sesungguhnya aku tahu, bahwa Tuhan itu maha besar" (Mzm. 135: 5).
Membangun Zona Nyaman

Para gembala dan gereja Injili Baru merasa sangat terbeban untuk membuat semua pendengarnya merasa nyaman. Mereka tidak boleh "diancam" oleh sifat ibadah maupun oleh pengajaran yang disampaikan. "Kebaktian-kebaktian kerapkali dilaksanakan untuk mengurangi ketidaknyamanan bagi orang-orang tidak percaya, sehingga mereka mulai menerima agama Kristen sebagai pengaruh yang kokoh. Katanya orang harus meninggalkan gereja dengan perasaan nyaman di dalam dirinya, bukan dipanggil untuk menguji diri, sungguh-sungguh bertobat, dan beriman kepada Tuhan".[59]

Jika Terompet Mengeluarkan Bunyi Yang Tidak Jelas
Pemikiran Injili Baru telah membawa dampak yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan pengajaran. Selama berabad-abad Allah dengan sukacita memberkati pengajaran FirmanNya yang menyelamatkan dan membangun jutaan orang. Namun, pengajaran telah mengalami masa-masa yang sulit. Ini adalah masa "sharing" ("saling membagi") dan "interacting" ("interaksi/saling berhubungan"). Banyak orang tidak menginginkan pernyataan yang otoritatif, namun hanya sekedar "observasi" dimana "observasi-observasi" tersebut dapat diperbandingkan. Ini adalah masa pengajaran humanisme.

Mari Bersikap Positif
Bagi Injili Baru dosa asal merupakan pengajaran yang negatif. Berulang kali kita diberitahu oleh kalangan yang mengajarkan bagaimana membangun gereja besar bahwa kita harus bersikap "affirmative" ("mengiyakan") daripada bersikap "prophetic" ("sesuai yang dinubuatkan") dalam pengajaran kita. Pada dasarnya orang bersikap affirmative, ketika pendengar-pendengarnya mempunyai perasaan positif dalam diri mereka, bukan perasaan negatif. Sedangkan yang disebut pengajaran yang prophetic adalah jenis pengajaran yang membuat pendengarnya tidak nyaman. Leith Anderson menyatakan bahwa "pengajaran telah berubah ketika anggota-anggota jemaat yang berdiri di pintu berkata, 'Terima kasih, Pak Gembala. Hari ini anda benar-benar telah menyindir saya, dan saya menyukainya'".[60] Meskipun demikian, pertanyaan yang paling penting adalah sebagai berikut: Pengajaran bagaimana yang diinginkan oleh Allah? Apakah petunjuk pengajaran yang dinyatakan di dalam Firman Allah?

Para pengamat masalah agama masa kini mencatat bahwa orang modern tidak menghendaki gaya pengajaran yang sama dengan para pendahulu mereka. Salah seorang pengamat berpendapat bahwa kita harus mengesampingkan gereja raksasa yang menjadi model bagi kebanyakan gereja dan mencatat bahwa gereja-gereja tersebut mengutamakan 'pengajaran positif' (saya tidak menemukan satupun pengajaran konfrontasional dalam kebanyakan daftar nama pertumbuhan gereja yang saya lihat)".[61] Dalam biografi Robert Schuller, pemimpin gereja yang dijadikan model gerakan pertumbuhan gereja masa kini, penulisnya menyatakan bahwa Schuller belajar dari Norman Vincent Peale, gembala liberal dari Manhattan, bahwa kita harus memperlakukan orang secara positif. Kita harus menghindari membuat mereka merasa bersalah, namun sebaliknya membuat mereka merasa nyaman dengan diri mereka.[62] Jika seorang pengkhotbah dapat membuat cukup banyak orang merasa nyaman dengan diri mereka, maka ia dapat menarik cukup banyak orang. Orang suka mendapat perlakuan yang nyaman, merasa mereka memiliki potensi dari dalam untuk "berhasil", untuk sukses di dalam kehidupan. Tidak heranlah jika "para pengelitik telinga" kontemporer tersebut dapat menarik pendengar yang sedemikian banyaknya.

Matzat menyampaikan himbauan yang keras agar kembali kepada pengajaran alkitabiah, yang menekankan pada dosa dan kasih karunia.

Sekalipun demikian, pendekatan utama yang saya ajukan, yang telah menjadi ciri khotbah dan pengajaran injili selama berabad-abad, dan bersandar penuh pada wahyu Alkitab, kini dikutuk oleh banyak kalangan injili. Roy Anderson, yang mengajar suatu mata pelajaran yang menggabungkan penyanjungan-diri dengan theologi di Fuller Theological Seminary di Pasadena, California, mengeluhkan tentang kesuraman psikologis dari salib... Memang tidak bisa disangkal bahwa salib menyebabkan suatu "kesuraman psikologis" kepada kita. Secara theologis, kita menganggap hal tersebut sebagai bagian dari proses menuju pertobatan.[63]

Perkataan berikut ini sungguh jitu: "Masa kini orang tidak membutuhkan keselamatan pribadi... tetapi perasaan, ilusi sesaat mengenai keadaan pribadi yang baik, kesehatan, dan keamanan psikis".[64] Memang benar demikian, tetapi bolehkah kita arahkan pengajaran kita untuk memuaskan keinginan kedagingan ini? Gembala-gembala yang berpengalaman sering mendengar keluhan itu, "Tetapi, Pak Gembala, anda tidak memenuhi keinginan saya". Seorang pengamat mengatakan bahwa "fokus adalah pada diri seseorang, bukan kepada Kristus".[65] Ada lagi yang mencatat, "Dengan berkhotbah tentang 'tuntutan keinginan' kerapkali kita mengajarkan keegoisan dan memuja idaman".[66] Jika para pengkhotbah menyerah kepada arus pemikiran ini, maka mereka akan memberikan apa yang ingin mereka dengar, bukan lagi hal yang Allah ingin mereka dengar. Ini adalah perbedaan yang sangat besar.

Psikologi dan Mimbar
Seperti yang sudah disinggung di depan, orang Kristen injili telah terpikat dengan psikologi. Pesona ini sungguh amat mempengaruhi khotbah. Orang lebih tertarik untuk mendengar perasaannya dipaparkan dan dianalisis daripada mendengarkan kebenaran obyektif dari Kitab Suci. "Kita sedang hidup dalam zaman dimana fokus pelayanan yang ditekankan kepada konsultasi dan manipulasi kelompok, bukannya kepada pengajaran. Keahlian dalam bidang psikologi dan dalam manajemen gereja dianggap lebih penting daripada menyelami Firman Allah".[67]

Apakah tugas utama pengkhotbah adalah sebagai psikolog mimbar, yang menawarkan "Tensoplast rohani" bagi luka emosional para pendengarnya, atau sebagai seorang yang menyatakan kebenaran Firman Allah yang kaya dan beraneka ragam? Banyak khotbah masa kini, terutama di dalam gereja-gereja yang dianggap sebagai model kesuksesan, dipusatkan kepada topik-topik psikologis - yang memenuhi keinginan emosional pribadi, membantu pribadi untuk mencapai pengagungan diri sendiri, dan memecahkan permasalahan pribadi dan antar-pribadi mereka. Alkitab menjadi buku pegangan untuk psikologi. "Teori kepribadian, psychopathology, kesehatan, dan perubahan therapeutic telah menggantikan anthropologi, dosa, kasih karunia, kekudusan, dan pembenaran yang alkitabiah. Budaya psikologi, sosial, dan otoritas pragmatis terbukti sangat kuat. Kebenaran Alkitab kelihatannya tidak cukup memadai untuk diterapkan".[68]

Betapa menyedihkan jika ada yang berpikir bahwa kebenaran Alkitab tidak bisa diterapkan masa kini! Firman Allah dituliskan untuk memenuhi kebutuhan manusia, namun yang paling penting adalah untuk mengungkapkan pemikiran Allah dan menuntun manusia untuk menyingkirkan kedagingannya dan mengarah kepada Allah. Penekanan zaman ini adalah "keinginanku", bukan lagi pada umat Allah. Akibatnya para pengkhotbah telah berpaling dari eksposisi kebenaran alkitabiah dan buru-buru mencari ayat-ayat dan perikop yang dapat "memenuhi keinginan". Mereka yang tidak "memenuhi keinginan" bisa terancam kehilangan pekerjaan!

Mari Saling Bertukar Pikiran

Konsep studi Alkitab beberapa kalangan adalah berkumpul dalam suatu kelompok bersama, membuat mereka membuka Alkitab, dan kemudian mengelilingi lingkaran tersebut untuk mengetahui "apa makna perikop ini bagi saya". Dalam keadaan demikian, praktek ini hanya menghasilkan suatu akumulasi kebodohan. Pertanyaan pertama yang harus ditanya seseorang adalah: "Apakah arti perikop itu?" bukan "Apa arti perikop itu bagi saya?" Agar bisa menjawab pertanyaan tersebut, orang harus memiliki ketajaman rohani dan beberapa pengetahuan mengenai prinsip penafsiran Alkitab. Namun sangat disayangkan, banyak orang hampir tidak tertarik dengan apa yang dikatakan Allah, karena mereka hanya ingin mencari jawaban atas permasalahan mereka. Banyak pengajaran masa kini telah terinfeksi dengan pendekatan pengujian wahyu Allah yang subyektif dan mementingkan diri-sendiri ini. Leith Anderson mencatat bahwa khotbah gaya lama biasanya "memberitahukan apa yang harus dilakukan orang". Tetapi waktu telah berubah. "Orang Amerika modern tidak menghendaki politisi, dokter, atau gembala mereka memberitahukan apa yang harus mereka lakukan... Pembicara masa kini lebih merupakan seorang 'komunikator' daripada seorang 'pengkhotbah'. Gaya pengajaran yang lebih tua menggunakan ciri kata-kata seperti 'seharusnya', dan 'harus' dan 'musti' ".[69] Perkataan tersebut harus dihindari oleh mereka yang hendak membangun gereja-gereja yang besar dan sukses.

Pengkhotbah terkenal Inggris, Martyn Lloyd-Jones, beberapa tahun yang lalu mengeluhkan pengaruh tertentu yang merusak karakter dan keotentikan khotbah modern. Salah satunya adalah perubahan dari "preaching" (khotbah/pengajaran) menjadi "sharing" (saling berbagi)... Penyembahan 'dibebaskan'".[70] Ketika pendekatan "sharing" diadopsi, perhatian orang langsung berubah dari wahyu Allah menjadi persepsi manusia.

Arus ekspektasi terhadap para pengkhotbah telah menyebabkan banyak hamba Allah berpikir ulang tentang pendekatannya. Haruskah saya mengalah kepada tuntutan orang, mengabaikan pendekatan ekspositori dan menyampaikan "khotbah" kepada "orang Kristen"? Pertanyaan sulit ini dihadapi oleh para gembala.

Dunia ingin agama menjawab pertanyaan "praktis" mengenai hubungan, membesarkan anak, citra-diri, gaya hidup, "how to do" (bagaimana melakukan sesuatu), dan segala ini dan itu. Allah jangan campur tangan! Ia tidak boleh menghambat.

Agama tidak boleh mencampuri apa yang harus dipercayai atau apa yang harus dilakukan oleh seseorang. Ia hanya boleh membantu dunia memecahkan permasalahan praktis mereka.[71]

Selama berabad-abad orang Kristen telah menemukan jawaban permasalahan kehidupan yang terberat di dalam pengajaran Alkitab. Namun jawaban-jawaban tersebut ditemukan sebagai aplikasi kebenaran doktrinal yang mulia mengenai Allah dan pekerjaanNya. Para pengkhotbah besar masa lalu tidak menggunakan Kitab Suci dengan tujuan utama untuk memenuhi keinginan manusia, tetapi untuk mencari dan menyatakan pikiran dan tujuan Allah. Dengan demikian mereka telah memenuhi kebutuhan manusia.

Tolong Jangan Ajak Saya Berpikir!

Orang Amerika modern semakin meningkat minatnya terhadap sajian hiburan. Televisi telah merusak budaya kita dalam skala yang sangat luas. Para pengkhotbah kini setiap Minggu menghadapi anggota-anggota yang sepanjang minggu itu telah menghabiskan waktu berjam-jam untuk menonton hiburan yang terkini. Televisi telah membuat masyarakat umum sangat sadar hiburan. Ia sungguh membawa dampak merugikan terhadap kemampuan (dan keinginan) untuk berpikir dan mengikuti argumentasi yang logis. Karena khotbah didasarkan pada akal sehat dan gagasan yang tersusun rapi, maka banyak orang modern yang sulit mengikuti suatu eksposisi Alkitab. Seorang pengamat televisi dengan tepat mengatakan:

Bentuk komunikasinya (dan bentuk pengetahuannya) mendorong keengganan abstraksi, analisis, dan refleksi yang mencirikan budaya kita dalam segala tingkatan. Berpikir kerapkali menjadi pekerjaan yang sulit.

Sajian hiburan instan televisi yang berlebihan bukan saja memberikan kelegaan terhadap beban kerja yang demikian berat, namun juga menawarkan alternatif "jalan keluar" (seperti rock 'n' roll) yang atraktif, yang membuat akal-sehat seolah-olah bertentangan dengan zaman (anakhronistis), dangkal dan tidak perlu.[72]

Dalam sebuah pengujian menarik mengenai perbedaan antara generasi "Pre-Boomers," "Baby Boomers," dan "Baby Busters", Gary McIntosh mencatat bahwa "sementara khotbah ekspositori (penguraian/pemaparan) telah dianggap lazim pada masa itu, namun kini generasi baby boomers dan baby busters menekankan 'cara' berkhotbah dan khotbah yang 'berorientasi kepada permasalahan'".36 Tetapi berkenaan dengan kecenderungan ini, si pengkhotbah harus bertanya, "Apakah khotbah murni dan dapat diterima yang merupakan pernyataan kehendak Allah untuk didengar manusia atau yang manusia ingin Allah katakan? Secara historis, khotbah dianggap sebagai seni komunikasi bagi manusia atas kebenaran kekal dari Alkitab mengenai Allah dan pekerjaanNya dengan bahasa yang dapat dipahami oleh mereka. Titik awal pengajaran berasal dari Allah, bukan manusia. Ini bukan berarti bahwa pengajaran alkitabiah yang sejati sama sekali tidak praktis. Namun dalam mengajar, si pengkhotbah mengawali dengan sebuah eksposisi atas apa yang dikatakan Allah, dan kemudian menerapkan aplikasi kepada kebutuhan pribadi manusia. Alkitab ditulis tidak sekedar untuk memuaskan kebutuhan manusia dan memberi jawaban atas permasalahan rutin mereka. Ia ditulis untuk menunjukkan kemuliaan Allah dan untuk mengetahui tujuan Allah terhadap penciptaan alam semesta, malaikat, bumi, Israel, dan jemaat. Bahwa ada orang yang tidak mendapatkan "berkat" ketika beberapa bagian Alkitab diuraikan, tidak berarti penguraian tersebut tidak cocok atau tidak ada gunanya. Menilai pengajaran hanya melalui dampaknya saja sama dengan memandangnya dari perspektif egoistis. "Sebenarnya terdapat kecenderungan di dalam injili kontemporer yang menjauhi pengajaran ekspositori dan doktrinal, dan bergerak menuju pendekatan thematis di atas mimbar yang berdasarkan pengalaman, pragmatis, dan dangkal... Para pengunjung gereja dipandang sebagai konsumen yang harus ditawari sesuatu yang mereka sukai".37

Salah seorang pendukung utama "pendekatan baru" di dalam khotbah (pengajaran) adalah Leith Anderson, gembala dari sebuah gereja raksasa di Twin Cities. Dua buku karyanya, Dying for Change danA Church for the 21st Century telah membawa dampak besar terhadap pemikiran banyak pengkhotbah muda dan dianggap sebagai pernyataan terkemuka dari filosofi pertumbuhan gereja yang dipromosikan oleh Injili Baru. Karena keunggulan Anderson dalam hal ini, kita dibuat terhenyak untuk mempertimbangkan apa yang dikatakannya mengenai pengajaran dan hal-hal yang berhubungan langsung dengan pengajaran.

Paradigma lama mengajarkan bahwa jika anda memiliki pengajaran benar, anda akan merasakan Allah. Paradigma baru mengatakan bahwa jika anda merasakan Allah, anda akan memiliki pengajaran benar. Hal ini bisa mengusik beberapa kalangan yang mempunyai asumsi bahwa kebenaran proposisional harus selalu mendahului dan mendikte pengalaman religius. Pola pikir tersebut merupakan produk theologi sistimatik dan mempunyai peranan yang sangat penting... Namun, theologi alkitabiah merujuk kepada Alkitab untuk mencari pola pengalaman yang diikuti oleh proposisi (dalil). Pengalaman Keluaran dari Mesir mendahului catatan Keluaran di dalam Alkitab.38

Pernyataan mengagetkan ini menggambarkan hal yang sebenarnya tentang pergeseran penekanan yang telah terjadi di dalam gereja modern. Pengalaman lebih dipentingkan daripada pengetahuan, dan sebenarnya telah dijadikan sebagai pembenaran pengetahuan. Argumentasi yang mengatakan Keluaran menyokong teori bahwa pengalaman tentang Allah mendahului pengetahuan tentang Allah adalah tidak benar. Jelas Allah telah menanamkan banyak pengetahuan tentang diriNya kepada Musa dan bangsa Israel sebelum Ia memebebaskan mereka dari tanah Mesir. Allah menampakkan diri kepada Musa, berbicara kepada Musa, dan menginstruksikan kepadanya bahwa Ia akan membawa bangsaNya keluar dari Mesir dan masuk ke dalam Tanah Perjanjian (Kel. 6: 1-8). Berbagai tulah (wabah) atas tanah Mesir bersifat penyingkapan (Kel. 7-11) dan mempersiapkan bangsa tersebut untuk menghadapi pengalaman Keluaran. Tentu saja kitab Keluaran ditulis setelah peristiwa-peristiwa itu terjadi, namun fakta ini sama sekali tidak menunjukkan gagasan bahwa penyingkapan mengikuti pengalaman. Penyingkapan (wahyu) kepada bangsa Israel purba pada masa ini di dalam sejarah mereka adalah melalui Musa, langsung dan segera, dan bukan diberikan dalam bentuk tulisan. Instruksi yang tegas diberikan mengenai bagaimana bangsa Israel harus meninggalkan tanah Mesir. Instruksi-instruksi tersebut didahului dengan perkataan seperti "Berfirmanlah Tuhan" (Kel. 11: 1 dan 12: 1). Perkataan tersebut mengindikasikan wahyu illahi, yakni wahyu yang mendahului peristiwa-peristiwa aktual Keluaran dan memberikan dasar bagaimana Musa harus bertindak dalam memimpin bangsa Israel keluar dari perbudakan.

Menurut paradigma Anderson, pengalaman seseorang tentang Allah merupakan standar yang digunakan untuk menilai kebenaran suatu pengajaran. Hal ini sungguh sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Alkitab dan juga posisi historis orang Kristen orthodoks. Tentang keselamatan pribadi, seorang yang tidak percaya mendengar sebuah kabar (kebenaran proposisional) dan kemudian mengalami keselamatan. "Percayalah kepada Tuhan Yesus Kristus [kebenaran proposisional] dan engkau akan selamat [pengalaman lahir baru]" (Kis. 16: 31). Perintah sama juga diberikan di dalam Roma 6: 17-18 dimana Paulus bersukacita karena para pembacanya "dengan segenap hati telah mentaati pengajaran yang telah diteruskan kepadamu". Mengikuti penerimaan kebenaran proposisional ini, mereka kemudian mengalami kemerdekaan dari perhambaan dosa (ayat 18).

Seperti yang telah kami sebutkan dalam konteks yang lain, salah satu kesalahan utama Injili Baru adalah kecenderungan untuk menekankan pengalaman yang berlebihan, sehingga mengabaikan pengajaran yang benar. Kaum kharismatik telah menjadi pelopor dalam mengembangkan pola pikir ini dan secara umum mempengaruhi injili. Inilah sebabnya apa yang dinamakan Christian rock menjadi populer. Orang ingin "merasakan" sesuatu, bukan "mempelajari' sesuatu. Hal ini juga menjelaskan arus ketakjuban terhadap apa yang dinamakan psikologi Kristen. Sekali lagi, orang ingin "merasa nyaman dengan diri mereka sendiri", tetapi sangat tidak tertarik untuk mencerna makanan sistematik dari Alkitab.

"Saya Tidak Suka Brokoli"

Ketika George Bush menjadi presiden Amerika Serikat, ia menyebabkan kegemparan di kalangan petani brokoli, dan memberikan dukungan kepada banyak anak-anak kecil, ketika ia menyatakan secara terbuka bahwa ia tidak suka brokoli. Banyak orang percaya memiliki keengganan yang serupa terhadap doktrin yang benar. Bagi orang-orang percaya kontemporer, setiap upaya untuk memulai pembicaraan masalah doktrin merupakan sesuatu yang membosankan dan mengganggu. Disini Leith Anderson (dan orang-orang yang sepaham dengannya) mendukung sikap ini. Anderson mengutip berbagai perbedaan historis dalam gereja: Arminianisme vs. Calvinisme; baptisan bayi vs. baptisan orang dewasa; keabsahan karunia-karunia kharismatik; bentuk kepemerintahan gereja; dan theologi Reformed dan dispensasional. Ia menunjukkan bahwa "ada perkembangan pesat populasi gereja yang menganggap perbedaan-perbedaan tersebut tidak relevan. Mereka tidak benar-benar peduli dengan perbedaan tersebut, dan mereka menunjukkan sikap dengan mudah berpindah dari satu gereja ke gereja lain yang berbeda ideologinya".39 Setiap gembala yang berpengalaman tentu dapat mengiyakan fakta bahwa banyak orang percaya modern kelihatannya tidak peduli dengan perbedaan doktrinal. Kita bisa mengunjungi komunitas yang sudah pensiun di Florida atau Arizona dan menemukan banyak mantan anggota gereja-gereja fundamentalis yang benar di Utara yang kini pergi ke gereja-gereja yang sangat kental Injili Baru dan kelihatan tidak menyadari bahwa ada yang keliru. Anderson terus mengagetkan kita ketika ia menggambarkan rata-rata pengunjung gereja masa kini dan menghimbau kita untuk melayani tingkah mereka. "Perbedaan-perbedaan antara Katolik dan Protestan tidak terlalu menjadi masalah, jika sungguh-sungguh dibandingkan dengan kepentingan Sekolah Minggu yang disukai oleh mereka dan anak-anak mereka. Kadang-kadang mereka mengatakan, 'Jika anak-anak sudah besar, kami akan mempertimbangkan untuk kembali ke Gereja Katolik'".40 Sungguh pendirian yang nyata! Tragedi yang lebih besar adalah bahwa para pengkhotbah dan para jemaat Injili Baru tidak berani memberitahu mereka apa yang salah pada gereja Katolik. Hal tersebut dirasakan terlalu negatif, konfrontatif, dan divisif. "... jika nafiri tidak mengeluarkan bunyi yang terang, siapakah yang menyiapkan diri untuk berperang?" (I Kor. 14: 8). Terlalu banyak "bunyi yang tidak jelas" di atas mimbar negeri ini.

Berbagai parameter persekutuan dan keyakinan doktrinal yang tidak tepat mempengaruhi pengajaran seorang gembala. Salah seorang gembala menggambarkan sebuah program yang disediakan gerejanya untuk membantu gereja-gereja belajar bagaimana bertumbuh. "Setengah lusin gereja ikut-serta dalam satu kali pertemuan - kerapkali terdiri dari kaum kharismatik dan non-kharismatik, denominasi besar dan independen, tua dan muda. Tidak ada upaya untuk mengubah perbedaan doktrinal atau denominasional... Hari berlalu dengan cepat ketika orang memilih gereja karena nama denominasi, mode baptisan, atau sistem theologi.41

Tetapi kita harus bertanya. Apakah Alkitab mengajarkan doktrin kharismatik dan juga doktrin non-kharismatik? Bisakah baptismal regeneration (lahir baru karena baptisan) dan keselamatan hanya karena iman sama-sama didukung Kitab Suci? Jika seseorang mengajarkan kesalahan, bolehkah seorang gembala atau seorang pengajar menegur dan mengoreksinya? Pertanyaan serius ini menegaskan sifat pokok pelayanan. John Stott sangat benar ketika mengatakan bahwa, "theologi jauh lebih penting daripada metodologi"42 dan bahwa pengajaran harus memiliki sebuah dasar theologis yang solid.
Jangan Terlalu Dogmatis

Keyakinan yang kuat tidak model lagi masa kini, terutama dalam dunia religius. "Live and let live" ("Mari kita hidup, dan biarkan orang lain juga hidup") merupakan motto. Pola berpikir ini telah disinggung dalam pembahasan di depan. Jelas hal ini mempengaruhi sikap banyak orang terhadap pelayanan pengajaran. Barna menyimpulkan, "Pada tahun 2000, orang Amerika bahkan akan semakin kurang tertarik dengan keabsolutan, dan lebih menyukai perspektif yang terbuka bagi nilai-nilai relatif untuk mendapat kepercayaan. Melihat masalah dengan kacamata hitam-putih akan menjijikkan banyak orang".43 Tak pelak lagi pengamatan ini mengandung kebenaran tertentu, namun bolehkah para utusan Allah ketakutan dengan kecenderungan ini dan mendiamkan pemberitaan dari Allah? Bolehkah seorang pengkhotbah mundur dari pencaharian makna ayat-ayat Kitab Suci yang jelas hanya karena takut ada orang yang akan tidak menyetujuinya? Charles Spurgeon mendapat kritik keras pada zamannya karena pembelaannya terhadap doktrin-doktrin iman agung secara terbuka dan berulang-ulang, namun secara luar biasa Allah tetap memberkati pelayanannya. Rasul Paulus juga sama sekali tidak undur dari sikap dogmatisnya. "Seperti yang telah kami katakan dahulu, sekarang kukatakan sekali lagi: jikalau ada orang yang memberitakan kepadamu suatu injil, yang berbeda dengan apa yang telah kamu terima, terkutuklah dia" (Gal. 1: 90). Paulus tidak mungkin menjadi seorang Injili Baru yang baik. Ia sangat pedas dengan dogmatismenya.

Tidak Terikat

Dahulu para pengkhotbah menekankan pentingnya keanggotaan di dalam suatu jemaat lokal. Sebaliknya, seorang penulis masa kini melihat keanggotaan jemaat sebagai sesuatu yang tidak bermakna. "Itu merupakan sebuah konsep yang lahir dari zaman yang berbeda. Kini di Amerika, dengan nilai-nilai kemanusiaan yang berubah dengan cepat dan signifikan, kesetiaan dan komitmen jangka-panjang telah menjadi konsep masa lalu. Kini terjadi peningkatan jumlah orang yang, meskipun datang ke gereja secara reguler dan aktif mengambil bagian di dalam pelayanan Tubuh, namun menolak untuk menggabungkan diri ke dalam gereja".44

Mengapa bisa demikian? Mengapa orang tidak mau menggabungkan diri ke dalam sebuah jemaat lokal? "Kini keanggotaan gereja mempunyai konotasi yang negatif. Orang mempersepsikannya sebagai sesuatu yang membatasi dan tidak menguntungkan... Dengan kata lain, rata-rata orang dewasa berpendapat bahwa menjadi anggota sebuah gereja hanya baik bagi orang lain, namun menyebabkan ikatan dan beban bagi diri sendiri yang tidak perlu".45

Penulis lain mencatat bahwa banyak orang mau datang ke gereja, namun tidak ingin bergabung. "Mereka lebih memandang jemaat lokal sebagai suatu jaringan (network) daripada suatu organisasi formal".46 Artinya, mereka ingin "jaringan" (persekutuan dan berteman) tanpa menyatakan suatu komitmen kepada posisi dan pelayanan gereja itu sendiri. Konsep lama suatu perjanjian jemaat (dan kami percaya hal itu alkitabiah) sudah kuno. Perjanjian jemaat merupakan suatu kesepakatan yang serius antara para anggota jemaat, di hadapan Allah, bahwa mereka akan berusaha untuk hidup kudus, hadir dalam kebaktian dan mendukung jemaat dst. Kini jemaat lokal dilihat sebagai suatu kemudahan yang menguntungkan orang. Hal ini terbukti dalam kutipan yang diberikan di atas yang mengindikasikan bahwa orang menganggap keanggotaan gereja sebagai sesuatu "yang tidak menguntungkan". Ini merupakan indikasi lain dari keegoisan yang terkandung di dalam zaman kita ini. "Saya akan mendukung sesuatu sepanjang saya menganggap itu menguntungkan saya dan keluarga saya. Jika keuntungan tersebut tidak sebesar yang seharusnya, saya akan pindah ke tempat lain". Kita diingatkan oleh keluhan Paulus, "sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus" (Fil. 2: 21).

Bertentangan dengan pemikiran beberapa kalangan itu, keanggotaan jemaat adalah alkitabiah dan penting. Jemaat mula-mula terbentuk karena ikatan bersama dari orang-orang yang bertobat yang "bertekun dalam pengajaran rasul-rasul dan dalam persekutuan; mereka selalu berkumpul untuk memecahkan roti dan berdoa" (Kis. 2: 42). Perkataan yang digunakan tersebut mengidentifikasikan suatu tingkat komitmen yang tinggi kepada jemaat lokal. Tanggungjawab orang-orang percaya kepada jemaat lokal sangat vital, karena merupakan bagian vital bagi berfungsinya tubuh, dan tidak hanya sekedar sebagai para pengamat yang datang dan pergi sekehendaknya. Banyak gereja yang membuat kesalahan dengan memperbolehkan non-anggota untuk ambil bagian pelayanan jemaat tanpa disertai suatu komitmen yang jelas atas posisi doktrinal atau standarnya. Mereka menganggap hal ini sebagai suatu pameran kasih dan penerimaan Kristen, tetapi dalam kenyataannya, mereka memperlemah posisi gereja mereka dan sebenarnya membuat keanggotaan jemaat menjadi tak berarti.

Jemaat-jemaat sejati yang mempunyai keinginan untuk tetap alkitabiah harus memiliki suatu standar bagi para anggotanya. Sementara ada kalangan yang kini mencela hal ini sebagai "legalisme", namun sebenarnya hal ini alkitabiah dan berhikmat. Beberapa tahun yang lalu A. W. Tozer, seorang pemimpin denominasi yang dikenal sebagai Aliansi Kristen dan Misionari, memiliki ketajaman dan keberanian rohani yang besar untuk menyatakan hal yang tidak populer. Bisakah mereka yang kini mengikuti jejaknya memiliki ketekunan rohani yang sama?! Ia menulis,

Kekristenan Injili dengan cepat berubah menjadi agama kaum borjuis. Kalangan yang hidup enak, kelas menengah-atas, politisi terkenal, yang menerima agama kita berjumlah ribuan... membuat kegembiraan para pemimpin agama kita tak terkendali, yang kelihatannya benar-benar buta dengan fakta bahwa mayoritas besar para pendukung baru Tuhan yang mulia tersebut sedikitpun belum mengubah kebiasaan moral mereka ataupun memberikan suatu bukti pertobatan sejati yang bisa diterima oleh bapak-bapak orang kudus yang mendirikan jemaat-jemaat.47

Pedoman-pedoman Pengajaran yang Alkitabiah

Kita telah melihat filosofi Injili Baru mempengaruhi pengajaran sebagai berikut:

Menekankan aspek positif pengajaran, namun mengabaikan aspek-aspek peringatannya.

Diisi dengan psikologi.

Menggantikan pernyataan yang otoritatif dengan konsep "bertukar" pikiran.

Lebih mengutamakan khotbah yang "issued-oriented" daripada eksposisi yang sehat.

Mengkhotbahkan apa yang manusia inginkan, bukan yang mereka butuhkan.

Menghindari apa yang dianggap sebagai "dogmatisme".

Sehubungan dengan penekanan yang telah berkembang di dalam kalangan Injili Baru ini, timbul suatu kebutuhan mendesak untuk meninjau pedoman-pedoman khotbah yang alkitabiah. Khotbah merupakan kegiatan mengkomunikasikan Firman Tuhan kepada manusia. Untuk tugas besar itu jelas kita bisa menemukan beberapa prinsip illahi di dalam lembaran-lembaran Alkitab.

Sumber Khotbah Kita - Kitab Suci yang Sempurna

Banyak kelemahan di dalam pengajaran (khotbah) masa kini dapat dikembalikan kepada pandangan mengenai inspirasi dan otoritas Kitab Suci yang lemah. Sementara ada perbedaan pandangan mengenai masalah ini di dalam kalangan Injili Baru, namun beberapa tahun terakhir semakin nyata terlihat pergeseran kepada sikap pandangan mengenai inspirasi yang makin lemah. Francis Schaeffer di dalam buku kajiannya, The Great Evangelical Disaster, menyerukan peringatan: "Tetapi kini apa yang sedang terjadi di dalam injili? Apakah itu komitmen kepada keabsolutan Allah seperti yang dimiliki oleh jemaat mula-mula? Sayang kita harus mengatakan komitmen ini sama sekali bukan seperti itu... Kaum Injili bukan bersatu-padu mempertahankan pandangan yang kuat atas Alkitab. Dengan menyesal kita harus mengatakan, bahwa di beberapa tempat, seminari, institusi, dan individu yang dikenal sebagai kaum injili tidak lagi mempertahankan pandangan yang penuh terhadap Alkitab".48

Jika orang tidak memegang teguh inspirasi Alkitab secara penuh, jelas akan mempengaruhi pengajarannya. Jika seorang pengkhotbah meragukan inspirasi yang sempurna dari sebuah perikop, maka ia tidak akan bisa menguraikannya dengan otoritas. Perintah untuk "memberitakan firman" (II Tim. 4: 2) didahului dengan perikop klasik mengenai inspirasi, "Segala tulisan yang diilhamkan Allah" (II Tim. 3: 16), dan berdasarkan kebenaran itulah kita berkhotbah. Komitmen bahwa Alkitab mutlak sempurna memberikan kepercayaan kepada sang pengkhotbah dan menolongnya berkhotbah dengan kuasa dan otoritas.

Khotbah Ekspositori
Seperti yang telah kita lihat, ada suatu gerakan dari beberapa kalangan pemimpin injili untuk mengurangi nilai khotbah ekspositori dan lebih memberi penekanan pada khotbah mengatasi "masalah". Ketajaman khotbah ekspositori yang benar dan utuh tidak mudah diperoleh, karena dapat dibuktikan melalui pengujian atas berbagai ayat mengenai topik tersebut. Namun, untuk dasar pijakan kita dapat mengatakan bahwa khotbah ekspositori adalah jenis khotbah yang berusaha untuk memaparkan, menjelaskan, dan menerapkan suatu perikop atau perikop-perikop Alkitab, dimana argumentasi sang penulis dipertimbangkan, yaitu susunan gramatikal (tatabahasa), latar-belakang historis, dan implikasi theologisnya. Hal pertama yang diperhatikan si pengkotbah adalah: "Apakah yang dikatakan perikop tersebut?" Perhatian berikutnya adalah "Apa maksud perikop tersebut?" Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini dibutuhkan penerapan ketentuan-ketentuan hermeneutika (penafsiran). Perhatian yang terakhir adalah "Apa arti perikop tersebut bagi saya?" Ini adalah penerapan. Namun, perhatian utama kita haruslah untuk menemukan apa yang Allah ingin katakan di dalam perikop tersebut, bukan yang kita ingin perikop itu katakan.

Sementara tidak ada definisi formal tentang khotbah ekspositori di dalam Alkitab, ada sebuah ringkasan yang sangat bagus mengenai materinya di dalam Nehemia 8: 9 - "Bagian-bagian daripada kitab itu, yakni Taurat Allah, dibacakan dengan jelas, dengan diberi keterangan-keterangan, sehingga pembacaannya dimengerti". Dengan kata lain, para pengajar Israel mengambil perikop-perikop Alkitab, membacanya ayat demi ayat, dan menjelaskan makna dari ayat-ayat itu sesuai konteksnya. Sebenarnya mereka sedang menguraikan Alkitab. Khotbah ekspositori mempunyai sejumlah keuntungan:

Ia menghargai doktrin penginspirasian Alkitab, membuat pengkotbahnya terikat pada teks dan menekankan kesucian Firman tertulis kepada para jemaat. Ia menghindarkan sang pengkhotbah dari fantasi khayalan yang tak berdasar. Ia memungkinkan sang pengkhotbah untuk mencakup berbagai bidang kebenaran illahi yang berbeda dalam suatu periode waktu, bukan hanya memfokuskan diri pada subyek dan masalah favorit atas kepentingan tertentu. Jika secara konsisten dilaksanakan oleh seorang gembala selama suatu periode waktu yang panjang, maka akan memberikan pendidikan alkitabiah kepada jemaatnya, sehingga menghasilkan kedewasaan rohani dan kedalaman kehidupan kekristenan.

Pendapat Saya atau Petunjuk Allah?
Secara historis, orang Kristen alkitabiah mempertahankan bahwa kebenaran obyektif Alkitab yang tertulis menggantikan dan secara otoritatif menafsirkan pengalaman semua orang yang mengaku Kristen. Tetapi konsep ini mendapat tantangan dari beberapa kalangan Injili Baru.

Otoritas alkitabiah telah dirusak oleh munculnya spiritualisme, dimana acuannya adalah pada penerangan dari dalam atau suara dari Roh, bukan lagi kepada Firman Allah yang tertulis. Kalangan ini menganggap bahwa ada diskontinuitas antara apa yang dikatakan Roh pada masa Alkitab dan apa yang dikatakanNya pada masa kini. Mereka juga berpendapat bahwa Roh berbicara melalui ilmu pengetahuan sosial dan politik, dan ini berarti bahwa Alkitab ditafsirkan melalui penerangan baru yang datang melalui ilmu pengetahuan sosial.49

Sementara tidak semua kalangan Injili Baru mempunyai pandangan yang sama, namun banyak yang telah terpengaruh oleh pendekatan penafsiran Alkitab yang lebih subyektif. Gerakan kharismatik menambahkannya dengan acuan "wahyu" di luar Alkitab mereka.

Pengajaran yang digambarkan di dalam Alkitab adalah otoritatif. "Sebab Injil yang kami beritakan bukan disampaikan kepada kamu dengan kata-kata saja, tetapi juga dengan kekuatan oleh Roh Kudus dan dengan suatu kepastian yang kokoh" (I Tes.1: 5). Perkataan "dengan suatu kepastian yang kokoh" dapat diterjemahkan "dengan keyakinan yang mendalam", yang mengacu kepada keyakinan kuat yang dipegang oleh pengkhotbah, bukan pendengar. Tuhan kita yang penuh berkat "mengajar mereka sebagai orang yang berkuasa, tidak seperti ahli-ahli Taurat mereka" (Mat. 7: 29). Para rabi masa itu saling mengutip satu sama lain, dan seringkali tidak pasti dengan ketepatan yang diajarkan Kitab Suci; namun Yesus tidak demikian. Mereka yang ingin mengajar seperti Yesus harus pasti, jelas, meyakinkan, dan tetap. Tentu saja, otoritas Kristus ada di dalam diriNya. Otoritas kita ada di dalam Kitab Suci. Salah satu perkataan untuk pemberita Injil di dalam Perjanjian Baru adalah kerux. Ia digunakan, misalnya dalam II Tim. 1: 11, dimana Paulus menyatakan ia ditunjuk sebagai seorang "pemberita". Seorang pemberita adalah seorang "bentara", "seorang utusan yang diberi otoritas umum, yang membawa pesan resmi dari raja, hakim, pangeran, komandan militer, atau yang memberikan surat perintah atau tuntutan publik" (Kamus Thayer). Seorang bentara tidak berunding dengan khalayak ramai untuk memastikan pesan apa yang mereka ingin dengar. Ia maju terus dengan rasa percaya diri, mengumumkan pesan yang diterimanya dengan apa adanya, tanpa peduli apakah orang ingin mendengarkan atau tidak. Dunia modern perlu mendengarkan para utusan dari tahta Mahatinggi yang menyampaikan pesan kabar baik yang kekal.

Dalam Keadaan Perang
Seorang wanita Kristen dewasa dalam jemaat yang saya gembalakan suatu ketika mendatangi saya dan mengatakan, "Saya senang mempunyai seorang gembala yang melawan sesuatu dan tidak takut untuk mengatakannya secara terbuka". Tidak semua orang Kristen terhanyut oleh penyakit "positivisme" yang kelihatannya telah menawan Kekristenan modern dengan demikian dalam. Masih ada orang-orang kudus yang dapat melihat tanpa tedeng aling-aling dan mencekal inti masalah yang berkembang ini.

Allah menentang para pemberita yang "hanya mengungkapkan penglihatan rekaan hatinya sendiri, bukan apa yang datang dari mulut Tuhan" (Yer. 23: 16). Mereka adalah "para nabi yang bernubuat palsu dan yang menubuatkan tipu rekaan hatinya sendiri" (Yer. 23: 26). Para pengkhotbah Injili Baru modern tidak akan menggunakan bahasa yang demikian keras untuk menggambarkan mereka yang mengajarkan kesalahan, tetapi Allah para nabi zaman dahulu melakukannya. Yesaya berkata tentang bangsanya Israel, "Celakalah bangsa yang berdosa, kaum yang sarat dengan kesalahan, keturunan yang jahat-jahat, anak-anak yang berlaku buruk! Mereka meninggalkan Tuhan, menista Yang Mahakudus, Allah Israel, dan berpaling membelakangi Dia" (Yes. 1: 4). Jenis khotbah demikianlah yang tidak populer masa kini dan yang dirujuk oleh Injili Baru sebagai khotbah "profetik". Mereka menuntut khotbah yang "mengiyakan", bukan khotbah "profetik". Tetapi khotbah apakah yang Tuhan inginkan, dan khotbah apakah yang dicontohkan di dalam Kitab Suci? Pengkhotbah terbesar yang pernah hidup di bumi, Tuhan Yesus Kristus, yang mengucapkan celaan yang pedas tentang orang Farisi, kerapkali mengulang frase "Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik!" (misal dalam Mat. 23: 13). Perkataan blak-blakan seperti ini akan memalukan Injili Baru masa kini, walaupun perkataan tersebut diucapkan oleh pribadi yang paling baik dan paling mengasihi yang pernah ada di dunia.

Disini kita bukan sedang menyerukan khotbah yang kasar, sangat tajam, atau yang disengaja mengikis. Ada pengkhotbah yang dengan sengaja "mengambil sikap", menjadi pemberang dan menjijikkan di dalam pelayanan mimbarnya, mengulang-ulang masalah-masalah yang picik, sehingga tidak bisa memelihara domba-domba Allah. Tugas kita adalah "berpegang kepada kebenaran di dalam kasih" (Ef. 4: 15). Hanya orang percaya yang dikuasai Roh yang dapat menunjukkan keseimbangan ini di dalam hidupnya.

Makanan Doktrin
Salah satu tanggungjawab utama pengkhotbah adalah untuk mengajarkan doktrin yang sehat. Paulus menggambarkan pekerjaan pengkhotbah sebagai berikut: "berpegang kepada perkataan yang benar, yang sesuai dengan ajaran (doktrin) yang sehat, supaya ia sanggup menasehati orang berdasarkan ajaran (doktrin)itu dan sanggup meyakinkan penentang-penentangnya" (Titus 1: 9). Ayat ini mengatakan kepada anak-anak Allah harus (1) setia kepada Alkitab, (2) memiliki pengetahuan theologi, (3) merupakan pengajar doktrin, dan (4) penentang pengajaran sesat yang vokal. Sayangnya, kebanyakan unsur tersebut tidak ditemukan di dalam mimbar zaman ini. Karena itulah banyak orang kudus yang ciut, lemah, dan terhanyut oleh rupa-rupa 'angin' pengajaran.

Dalam proses mengajarkan Firman, utusan Allah harus "menegor dan menasehati dengan segala kesabaran dan pengajaran [doktrin] (II Tim. 4: 2). Bagaimana Allah menilai seorang gembala itu baik? Paulus mengatakan bahwa "seorang pelayan Kristus Yesus yang baik, terdidik dalam soal-soal pokok iman kita dan dalam ajaran sehat" (I Tim. 4: 6). Sebelum menyebutkan karakteristik lain pelayanannya, Paulus mengingatkan Timotius bahwa ia telah "sepenuhnya memahami doktrin Paulus" (II Tim. 3: 10). Paulus menomorsatukan doktrin (pengajaran) dan seakan-akan mengatakan, "Doktrinku sangat penting dan aku ingin setiap orang mengetahuinya dengan tepat".

Konsep modern mengenai pengkhotbah yang baik dan pengajaran yang baik seringkali bertentangan dengan pola yang dinyatakan di dalam Alkitab. Orang-orang yang belum diselamatkan dan orang Kristen lahiriah bukanlah penuntun yang dapat diandalkan ketika berusaha mengembangkan filosofi khotbah. Satu-satunya "penuntun khotbah" yang akurat dan otoritatif adalah Firman Allah itu sendiri.>

-------------------------------------------------------------------------------------------

[38]Newsweek, "A Time to Seek", 17 Desember 1990.

[39]George Barna, "The Frog in the Kettle", hal. 123.

[40]George Barna, "User Friendship Churches", hal. 64.

[41]Bill Hull, "Is the Church Growth Movement Really Working?" 'Power Religion', hal. 146.

[42]Robert Schuller, "Self-Esteem: The New Reformation", hal. 12.

[43]Gregory Lewis, "Is God For Sale?" hal. 16.

[44]Donald Bloesch, "The Future of Evangelical Christianity", hal. 100.

[45]Hull, hal. 144.

[46]Tom Nettles, "A Better Way: Church Growth Through Revival and Reformation", Power Religion, hal. 183.

[47]John MacArthur, "Our Sufficiency in Christ", hal. 31.

[48]Michael Scott Horton, "Made in America", hal. 87-88.

[49]"Mighty Fortresses: Megachurches Strive to Be All Things to All Parishioners", Wall Street Journal, 13 Mei 1991.

[50]Ibid.

[51]Ibid.

[52]Ibid.

[53]Ibid.

[54]Peter Savage, "The Church and Evangelism" dalam "The New Face of Evangelism", diedit oleh C. Rene Padilla, hal. 108.

[55]Michael Scott Horton, "The Subject of Contemporary Relevance", Power Religion, hal. 333.

[56]Hull, hal. 143.

[57]Os Guiness, "The Gravedigger File", hal. 130-133.

[58]Hull, hal. 142-142.

[59]Don Matzat, "A Better Way: Christ Is My Worth", Power Religion, hal. 253.

[60]Leith Anderson, "A Church for the 21st Century", hal. 201.

[61]Hull, hal. 174.

[62]James Penner, "Goliath: The Life of Robert Schuller".

[63]Matzat, hal. 26.

[64]Christopher Lasch, "The Culture of Narcissim", hal. 31.

[65]Edward Welch, "codependency and the Cult of the Self", Power Religion, hal. 226.

[66]Horton, hal. 331.

[67]Bloesch, hal. 147.

[68]David Powlinson, "Integration or inundation?" Power Religion, hal. 199.

[69]Anderson, hal. 209.

[70]Ian Murray, "David Martyn Lloyd-Jones: The Fight of Faith", hal. 667.

[71]Horton, hal. 342.

[72]Kenneth Myers, "All God's Children and Blue Suede Shoes", hal. 171.

36Gary McIntosh, "What's in a Name?" The McIntosh Church Growth Network, vol. 3, No. 5 (Mei 1991), hal. 2. ¨ Generasi yang lahir pada periode Perang Dunia II (Pre-Boomers), yang kemudian diikuti dengan ledakan kelahiran bayi besar-besaran setelah Perang Dunia II (Baby Boomers), dan kemudian diikuti dengan periode pengendalian kelahiran bayi yang sangat ketat (Baby Busters) - penerjemah.

37MacArthur, hal. 133-134.

38Anderson, hal. 21.

39Ibid., hal. 32.

40Ibid.

41Ibid., hal. 32-33.

42John R. W. Stott, "Biblical Preaching Is Expository Preaching", Evangelical Roots, diedit oleh Kenneth Kantzer, hal. 160.

43Barna, "The Frog in the Kettle", hal. 121.

44Barna, "User Friendly Churches", hal. 23-24.

45Barna, "The Frog in the Kettle", hal. 133.

46Anderson, hal. 48-49.

47Dikutip dalam tulisan David Fant, "A. W. Tozer: A Twentieth Century Prophet", hal. 50.

48Francis Schaeffer, "The Great Evangelical Disaster", hal. 49.

49Donald Bloesch, "The Challenge Facing the Churches", Christianity Confronts Modernity, hal. 208.

No comments: