Berikut ini adalah kutipan-kutipan dari dokumentari BBC Mind Control: The Dark Side of Your Phone – “’Orang-orang dalam memberitahu kita bahwa perusahaan-perusahaan media sosial, melacak begitu banyak data, setiap swipe dan klik anda, dan menganalisa semua itu secara langsung.’ Lalu Artificial Intelligence akan memakai semua itu untuk mengadaptasikan apa yang anda lihat di layar anda supaya anda akan kembali lagi terus dan terus. Asa Raskin, yang mendesain scroll tak berujung [endless scroll] dan fitur-fitur app populer lainnya, mengatakan ‘Kita sedang berada dalam eksperimen perilaku terbesar yang pernah dilihat di dunia. Anda sedang berada dalam eksperimen senantiasa. Hal-hal seperti mengubah warna tombol ‘like’ anda. Apakah biru yang seperti ini, ataukah seharusnya sedikit lebih merah? Dan mereka akan terus mencoba sampai mereka menemukan bentuk dan warna yang sempurna yang akan memaksimalkan anda terus scrolling. Di balik setiap gambar di telepon anda, secara literal ada ribuan insinyur yang mencoba untuk membuatnya secara maksimum membuat orang ketagihan. Seolah-olah mereka mengambil kokain perilaku dan menaburkannya di atas semua interface anda.’ Asa berkata, ‘Saya tidak mau pikiran saya dibajak.’ Jadi dia melakukan hal-hal seperti menginstall sangat sedikit app, dan membuat handphonenya hitam putih, bukan berwarna.
Pages
▼
Tuesday, October 23, 2018
Friday, October 19, 2018
Video Game dan Kecanduan
Video game online multiplayer memiliki potensi besar untuk menjadi suatu kecanduan. Telah diperkirakan bahwa sekitar 10% gamer di seluruh dunia, adalah orang-orang yang kecanduan. Sedikitnya 10 gamer telah meninggal karena gejala-gejala yang berkaitan dengan sistem jantung-paru, di berbagai kafe-kafe internet, setelah sesi-sesi gamingmarathon. Ada satu orang muda yang meracuni orang tuanya karena mereka memberikan batasan pada aktivitas gaming-nya (“Gaming Addiction a Serious Problem in Asia,” 7 Mar. 2014, www.thecabinchiangmai.com). Sepasang suami istri menelantarkan putri mereka yang berusia tiga bulan hingga meninggal, sambil mereka main game-game online. Para gamer juga ada yang melakukan tindakan-tindakan kekerasan, bahkan pembunuhan, sebagai balas dendam atas “pembunuhan karakter online sang pemain.” Di beberapa negara Asia, kecanduan gaming dianggap sebagai salah satu masalah kesehatan publik yang besar.
Wednesday, October 17, 2018
Orang-Orang yang di Tengah-Tengah
James Henley Thornwell adalah seorang pengkhotbah Presbyterian zaman dulu yang dengan gigih berjuang melawan modernisme theologi di abad ke-19. Sebagai presiden keenam dari South Carolina College (hari ini namanya adalah University of South Carolina), Thornwell sangat capek dengan “orang-orang yang di tengah” pada zmaan dia, yang mengatakan bahwa mereka mencintai kebenaran tetapi mereka lemah dalam berposisi dan tidak mau dengan berani melawan kesalahan. “Menggunakan kata-kata yang gemulai dan dimanis-maniskan dalam membahas topik-topik yang memiliki nilai abadi; memperlakukan kesalahan-kesalahan yang menyerang fondasi segala pengharapan manusia, seolah-olah ini adalah kekhilafan yang wajar dan tidak berbahaya; memberkati hal-hal yang Allah tidak senangi, dan beramah tamah pada tempat-tempat Dia memanggil kita untuk berdiri seperti laki-laki dan tegas, walaupun adalah cara yang paling cocok untuk mendapatkan pujian populer di zaman yang canggih ini, sebenarnya adalah kekejaman terhadap sesama manusia dan pengkhianatan terhadap Sorga. Orang-orang yang pada topik-topik ini lebih mementingkan aturan-aturan kesopanan daripada poin-poin kebenaran, tidaklah membela benteng, tetapi menyerahkannya ke tangan para musuhnya. KASIH AKAN KRISTUS, DAN AKAN JIWA-JIWA YANG UNTUKNYA DIA MATI, AKAN MENJADI TAKARAN SEMANGAT KITA DALAM MEMBONGKAR BAHAYA-BAHAYA YANG MEMERANGKAP JIWA-JIWA MANUSIA” (dikutip dalam sebuah khotbah oleh George Sayles Bishop, penulis dari The Doctrines of Grace and Kindred Themes, 1910).
(Berita Mingguan GITS 22 September 2018 diterjemahkan oleh Dr. Steven Liauw, sumber: www.wayoflife.org)
Saturday, October 13, 2018
Menjadi Kontemporer
“Menjadi Kontemporer” (Gone Contemporary) adalah judul dari sebuah artikel yang ditulis oleh Dave Mallinak, yang memaparkan kesalahan dan bahaya dari filosofi musik kontemporer yang sudah dianut oleh dunia kekristenan pada umumnya, dan sedang melanda gereja-gereja Baptis juga. Kami merekomendasi seluruh tulisan tersebut, yang juga memberikan tautan-tautan kepada contoh-contoh kebaktian-kebaktian Baptis Independen yang sudah menggunakan musik kontemporer, dan juga sebuah video dialog antara Josh Teis dan Robert Bakss, penulis dari buku Worship Wars. Berikut ini cuplikan dari laporan tersebut yang berkaitan dengan inti dari masalah ini, dan dengan tepat menyerukan separasi dari mereka yang sudah berkomitmen pada filosofi kontemporer: “Seruan untuk musik kontemporer adalah raungan kematian dari suatu gereja yang sekarat. Gaya ‘penyembahan’ ini tidaklah menjadi populer karena orang Kristen menjadi semakin setia. Dalam usaha untuk menyenangkan audiens, kita telah lupa bahwa Allah adalah audiens yang sebenarnya. Kita sekarang merasa bosan dengan Tuhan. Semakin tergantung kita pada pendekatan ‘penyembahan’ yang eksternal seperti ini, semakin kita kehilangan inti dari penyembahan. Pada akhirnya, orang Kristen akan mendapatkan bahwa mereka harus memiliki musik jenis kontemporer, atau mereka tidak bisa menyembah.
Penyembahan kontemporer mengubah audiens menjadi penonton dan musiknya menjadi suatu pertunjukan. Hal ini menghasilkan suatu pandangan yang rendah akan Allah, suatu kesenangan terhadap pengalaman penyembahan itu, bukan pada Allah yang kita sembah, suatu passion yang superfisial yang kehilangan passion terhadap penyembahan yang sejati, suatu ketergantungan yang semakin hebat pada pengalaman yang dihasilkan oleh musik tersebut, dan suatu ide palsu bahwa penyembahan itu sesuatu yang mudah, bahwa devosi dapat ditingkatkan dengan beberapa baris reff nyanyian. Penyembahan yang sebenarnya adalah menantang – memerlukan fokus dan ketekunan dan kedalaman, yaitu hal-hal yang justru ditentang oleh CCM. … Gaya musik mengindikasikan apa yang suatu gereja konsepkan tentang Tuhan. Secara alkitabiah, kami tidak dapat berpura-pura bersekutu baik dengan gereja-gereja yang lebih mengutamakan relevansi dibandingkan reverensi (Ed: lebih mengutamakan relevan di mata dunia dari menghormati Allah). Jadi, walaupun kami tidak berusaha mendikte cara suatu gereja melakukan kebaktian, kami jelas memiliki tanggung jawab dari Allah untuk menentukan dengan siapa kami bersekutu atau tidak. … Klaim bahwa gaya musik tidak lebih dari suatu pilihan preferensi saja, menunjukkan betapa relativistiknya orang-orang ini. Mereka dengan sengaja mengabaikan pembelajaran teori musik. Mereka percaya bahwa kita hanya perlu mempelajari Alkitab untuk melihat gaya musik apa yang diperlukan. Mereka mengingat kita, dengan nada merendahkan, bahwa Alkitab tidak berkata apa-apa tentang sinkopasi, atau ‘ketukan antisipasi.’ Dengan demikian, mereka dengan sengaja mengabaikan pesan yang jelas yang disampaikan oleh gaya musik tentang makna dari kebaktian dan penyembahan itu. Para produsen film menyadari hal ini. Kebanyakan orang tahu bahwa ada musik tertentu yang cocok untuk pernikahan, untuk penguburan, untuk restoran kelas atas, untuk barbecue di halaman belakang, untuk parade militer, dan untuk pertandingan basket. Orang-orang ini percaya bahwa kita bisa menyeret gaya apa saja untuk suatu kebaktian rohani, menempelkan kata-kata yang bagus padanya, dan dengan cara demikian ‘menebusnya.’ … Gaya musik itulah makna dari musik tersebut. Musik, pakaian, dan penampilan trendy dari kaum Baptis Independen yang kontemporer, lebih memberitahu kepada kita pandangan mereka tentang Allah daripada pandangan mereka tentang gaya musik. Hal ini benar untuk kebanyakan acara. Cara kita berpakaian dan musik yang kita mainkan, menyampaikan pandangan kita tentang acara tersebut, daripada pandangan kita tentang gaya yang kita pakai.” Laporan yang sepenuhnya dari Dave Mallinak dapat dilihat di villagesmithysite.wordpress.com/2018/08/31/gone-contemporary/
(Berita Mingguan GITS 10 September 2018 diterjemahkan oleh Dr. Steven Liauw, sumber: www.wayoflife.org)