Oleh: Dr. Norman L. Geisler.
KristenAlkitabiah.com - Tidak semua teolog Kristen, baik itu dari golongan konservatif, dan injili, bersepakat atau memiliki kesamaan pandangan mengenai hukuman mati. Yang menolak hukuman mati maupun yang mendukung sama-sama mengasihi Tuhan dan menjunjung tinggi Alkitab sebagai satu-satunya sumber otoritas dari Allah. Motivasi mereka juga sama, yaitu untuk memuliakan Tuhan.
Kendati demikian, kita harus memilih perpektif mana yang benar-benar mendapat dukungan kuat dari Alkitab, dan yang sesuai dengan akal sehat kita. Selama ini ada tiga pandangan dasar tentang hukuman mati yang diterima luas di kalangan Kristen maupun nonkristen.
Ketiga pandangan tersebut adalah:
1. Rehabilitasionisme: Tidak ada hikuman mati bagi kejahatan apa pun. Intisari dari sikap ini adalah bahwa tujuan keadilan adalah rehabilitasi dan bukan retribusi (nyawa diganti nyawa). Keadilan bersifat memperbaiki, bukan bersifat membalas. Menurut para pendukung teori ini, tanggapan Yesus terhadap wanita yang kedapatan berzinah menunjukkan bahwa Yesus menolak hukumn mati (Luk. 8:1-11).
Tetapi Alkitab sepertinya tidak mendukung pandangan ini. Tujuan utama keadilan bukanlah rehabilitasi melainkan penghukuman (Kel. 20:3; 34:7; Yeh. 14:4, 20). Inti hukuman mati terwujud dalam kematian Kristus (1Pet. 3:18). Lagi pula hukuman mati sudah ada sebelum hukum Musa diturunkan (Kej. 9:6). Harus juga dimengerti bahwa kasih dan hukuman tidak bertentangan. Allah itu kasih sekaligus adil. Mengenai tanggapan Yesus terhadap wanita yang kedapatan berzinah bukanlah bukti bahwa Yesus menolak hukuman mati. Yesus justru sedang mengajarkan bahwa ini bukanlah kejahatan besar yang menghilangkan nyawa seseorang. Lagipula dalam kasus tersebut Yesus sedang mengajar agar mereka tidak boleh sembarang menghakimi seseorang.
2. Rekonstruksionisme: Hukuman mati bagi semua kejahatan besar. Pandangan ini percaya bahwa hukuman mati dilakukannya setiap macam pelanggaran-pelanggaran besar, soaial, keagamaan, atau moral yang tertulis dalam perjanjian lama (Pembunuhan, menghina, saksi dusta, penyembah berhala, menghujat, tukang sihir, nabi palsu, murtad, melanggar hari sabat, homoseksual, berzinah, pemerkosaan, inses, mengutuki orang tua, dll). Mereka percaya hukum moral Allah dinyatakan kepada Musa dan tidak pernah dibatalkan. Kelompok ini juga sering mengutip perkataan Yesus dalam Matius 5:17-18 untuk membenarkan bahwa PB mendukung hukuman mati untuk semua kejahatan besar.
Ada beberapa keberatan mengenai pandangan rekonstruksionisme. Tidak keseluruhan kesepuluh firman diulang dalam PB. Lagi pula sebenarnya Yesus meniadakan hukum-hukum dalam PL dengan cara menggenapinya, bukan menghancurkannya. Ditambah lagi, Rasul Paulus berkata bahwa orang Kristen tidak berada di bawah hukum Taurat (Roma 6:18). Hukum Musa diberikan hanya kepada bangsa Israel (Ibrani 7:11).
Jika kita masih hidup di bawah hukum Taurat maka kita juga hidup di bawah kutukan-kutukannya juga (Gal.3:10). Artinya, hukum Taurat hanya berperan hingga Yesus kristus tiba. Singkat kata, Rekonstruksionisme tidak mendapatkan dukungan penuh dari Alkitab.
3. Retribusionisme: Hukuman mati untuk beberapa kejahatan besar. Pandangan ini berpendapat bahwa hukuman mati adalah sah untuk beberapa kejahatan, yaitu, kejahatan-kejahatan besar yang mengakibatkan kematian pada orang yang tidak bersalah. Mayoritas kelompok konservatif dan sebagian Injili memegang pandangan ini, termasuk saya (Gbl. Alki F. Tombuku). Retribusionisme dimaksudkan untuk menghukum, bukan memperbaiki atau melindunginya. Kejadian 9:6 sangat jelas berkata: “Siapa yang menumpahkan darah manusia, darahnya akan tertumpah oleh manusia, sebab Allah membuat manusia itu menurut gambarNya sendiri.”
Dalam setiap kasus orang yang menerima hukuman mati bertanggungjawab atas kematian orang atau orang-orang yang tidak bersalah. Pada prinsipnya didalamnya termasuk pengkhianatan, karena banyak nyawa dipertaruhkan dalam tindakan-tindakan pengkhianatan. Singkat kata, hukuman mati adalah untuk kejahatan-kejahatan yang besar.
Ketika hukuman mati disinggung dalam perjanjian baru, ini juga ada dalam konteks kejahatan-kejahatan besar. Pemerintah adalah pedang yang Tuhan berikan kepada Nuh untuk kejahatan-kejahatan besar (Roma 13:14). Yesus mengakui otoritas besar kerajaan Romawi atas hidupNya (Yoh. 19:11), tapi kembali di sini yang diduga sebagai pelanggaran adalah suatu kejahatan yang besar: Pengkhianatan (Lukas 23:2). Demikian pula, perbuatan Paulus yang diduga sebagai kejahatan yang atasnya dia rela menerima hukuman mati jika terbukti bersalah adalah pengkhianatan (Kisah 25:11; 17:7).
Dasar-Dasar Alkitab Untuk Hukuman Mati
1. Perlunya hukuman mati terkandung di dalam natur manusia. Manusia, baik pria maupun wanita, diciptakan menurut gambar dan rupa Allah (Kej. 1:27). Keduanya menyerupai dan mewakili Allah di dunia.
2. Allah memberikan kuasa untuk menghukum mati kepada pemerintahan manusia. Ada hukuman mati sebelum zaman Nuh, tetapi kesempatan diberikan kepada para kerabat untuk membalas dendam kepada si pembunuh (Kej. 4:14). Dengan penetapan hukuman mati, Allah mengambil keadilan dari tangan keluarga dari orang yang dibunuh tersebut dan menempatkan pedang dalam tangan pemerintahan manusia. Dengan cara ini keadilan bisa lebih objektif dijalankan dengan menghapus faktor balas dendam pribadi dan kemarahan emosional.
3. Hukuman mati ditegaskan kembali dalam Perjanjian baru. Pedang yang diberikan dari atas kepada pemerintahan manusia untuk hukuman mati. (Kej. 9:6) secara gamblang ditegaskan kembali di dalam Perjanjian Baru (Rom. 13:4). Yesus mengakuinya di hadapan Pilatus (Yoh. 19:10-11), sebagaimana yang dilakukan Paulus di hadapan para penguasa Romawi (Kis. 25:11).
Kasih Dan Hukuman Mati Tidak Bertentangan
Jika kasih dan hukuman mati terpisah satu sama lain, maka pengorbanan Kristus merupakan kontradiksi. “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia mengaruniakan anaknya yang tunggal” (Yoh. 3:16). Yesus berkata, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh.15:13). Kasih dan hukuman bukan hanya sejalan, melainkan juga prinsip yang ada dibalik hukuman mati adalah prinsip yang menjadikan salib itu perlu. Inilah prinsip “nyawa ganti nyawa.”
Konsep dibelakan penebusan yang menggantikan, yaitu mencabut nyawa untuk menebus nyawa (Im.17:11), itulah yang membuat hukuman mati perlu untuk kejahatan besar. Jika ada cara lain untuk memuaskan keadilan dan melepaskan anugerah, maka pastilah Tuhan sudah menemukannya daripada harus mengorbankan Anak satu-satunya yang kekasih (2 Kor. 5:21; 1 Pet. 3:18). Bahkan, jika hukuman mati tak berpengaruh pada abad ke 1, maka Yesus pasti tak akan mati bagi dosa-dosa kita. Maka hukuman mati meningkatkan nilai kehidupan, bukan merendahkannya. Sebab semakin serius hukumannya bagi pembunuhan, semakin tinggi nilai yang kita letakkan dalam diri orang yang dibunuh.
Hukuman mati untuk kejahatan-kejahatan besar mempunyai banyak dimensi positif.
1) Hukuman mati berdasarkan penghargaan yang tinggi pada kemanusiaan.
2) Hukuman mati bertindak berdasarkan pandangan yang benar mengenai keadilan. Pandangan Alkitab mengenai keadilan adalah bersifat hukuman, bukan berhubungan dengan perbaikan. Tujuan utamanya adalah moral, bukan terapi.
3) Hukuman mati menghalangi kejahatan (Ul.17:13), para pelaku kejahatan yang sudah mati tidak bisa mengulangi kejahatan-kejahatan mereka. Rata-rata orang berpikir dua kali bila akan melanggar hukum jika dia benar-benar yakin dia akan dihukum berat.
4) Hukuman mati melindungi nyawa orang yang tak bersalah. Hukuman mati melindungi nyawa orang yang tak bersalah dalam tiga hal. Pertama, kemajuan terbaik yang ditempatkan atas nyawa manusia yang menghasilkan rasa hormat kita dalam memelihara dan melindungi nyawa. Kedua, ketika dilaksanakan dengan tepat, hukuman ini menimbulkan rasa takut akan Allah dalam diri orang lain yang merupakan calon pembunuh. Ketiga, hukuman ini mencegah kejahatan berulang pada diri pelaku kejahatan besar.
Dr. Norman Geisler adalah seorang guru besar, apologet ternama dan pembicara terkemuka. Ia adalah presiden dari Southern Evangelical Seminary dan penulis lebih dari lima puluh buku, termasuk Deside for Yourself, Baker Encyclopedia of Apologetics, dan When Skeptics Ask.
No comments:
Post a Comment