Pages

Wednesday, July 18, 2012

Di Balik “Kenikmatan” Tayangan Kuliner

Kuliner. Beberapa tahun terakhir, banyak orang Indonesia berlatah dengan kata ini. Kata yang diserap dari Perancis (culinaire) ini telah menggeser kata lokal, “boga”, yang dahulu pernah populer dipakai untuk menyebut hal yang berkaitan dengan aktivitas terkait makanan.
Kata ini pun menubuh, misalnya dalam helat macam “festival kuliner” yang menyeruak di berbagai kota. Pun, tak ketinggalan dalam “bisnis kuliner” berupa usaha resto hingga produk kudapan yang menjamur dan saling bersaing. Maka, tulisan ini pun akan berakrab dengan istilah tersebut.
Tapi, (si)apakah yang paling berandil menyebabkan ”demam kuliner” ini? Rasanya, ini ada temalinya juga dengan dunia pertelevisian yang intens menggunakan diksi ini.
Televisi memang media yang berpengaruh besar merembeskan cara pandang dan gaya hidup kolektif masyarakat. Termasuk soal bagaimana makanan dicitrakan secara audio-visual dalam tayangan-tayangan kuliner. Mulai dari mengolah, mengemas, hingga menikmatinya.   
Sejak Selera Nusantara (RCTI) menjadi salah satu tayangan kuliner terawal di televisi Indonesia pada medio 1990-an, beberapa tahun setelahnya muncullah berbagai tayangan sejenis. Namun Selera Nusantara bukanlah yang pertama. Bagi yang pernah mengalami masa-masa ketika RCTI baru tayang perdana, mungkin ingat dengan sebuah tayangan bertajuk Wok With Yan. Untuk membuka kembali memori yang terlipat zaman dan usia, terpaksa saya membuka ”kotak ajaib” YouTube untuk membidik tayangan itu. Tayangan yang berasal dari stasiun televisi Kanada, CBC, awal 1980-an itu, dipandu juru masak Stephen Yan. Gaya Yan sangatlah khas: kocak dan menghibur. Kadang ada bintang tamu yang menemani Yan memasak. Wok With Yan diakhiri dengan mencicipi hidangan hasil olahan Yan.
Format Wok With Yan cukup serupa diikuti Selera Nusantara. Penekanannya saja yang berbeda: lebih mengindonesia.
Dahulu, masyarakat mendapatkan pengetahuan kuliner melalui panduan memasak dalam buku dan majalah. Memasak pun menjadi gaya hidup hingga seni tersendiri bagi kaum ibu. Resep-resep dikoleksi, saling bertukar, hingga diwariskan turun-temurun. Tidak heran, dari kebiasaan itu kita mengenal rupa-rupa hidangan semisal cap cay, biefstuk (bistik), hingga pastry favorit semacam kaastengels dan nastaart.
Dari sana, terlahirlah pula sosok-sosok ibu yang menjadi garda gastronomi Indonesia. Sebutlah Julie Sutardjana, Suryatini N. Ganie, dan Sisca Soewitomo.
Julie yang usianya kini menjejak 90 tahun, mulai aktif menulis resep-resep masakan di majalah Star Weekly pada masa 1950-an dan di Kompas sejak 1970-an. Begitu juga Ganie. Gastronom yang tahun lalu telah berpulang pada Sang Khalik ini merintis Selera, sebuah majalah kuliner Indonesia pertama. Dari Ganie kita dapat belajar, bahwa makanan bertemali dengan berbagai segi kehidupan. Bukan hanya soal mengundang selera, tapi sedianya, makanan juga mengandung berbagai pengetahuan hidup, kesehatan, budaya, dan filosofi yang sepatutnya diketahui masyarakat. Maka itu, pengetahuan kuliner dalam karya-karya Ganie dihasilkan melalui riset yang panjang dan rujukan serius, bukan melalui proses instan, apalagi centang-perenang.  
Namun, berjebahnya ragam tayangan kuliner di televisi perlahan mengubah wajah penyampaian informasi olah dan santap makanan yang ideal. Tidak lagi didapati pencitraan makanan yang ideal sebagaimana dikonsepsikan Julie dan Ganie. Nama keduanya pun kini tenggelam oleh para pendatang baru (baca: para chef) yang menghiasi layar kaca.
Meski begitu, setidaknya masih ada Sisca, generasi lebih muda dari Julie dan Ganie. Keaktifannya mengajar di berbagai demo masak, sempat membawa Sisca tampil di Aroma,sebuah tayangan kuliner di Indosiar. Namun, entah karena faktor rating atau hal lainnya,Aroma pun tamat riwayatnya.
Setelah Aroma, berbiaklah tayangan-tayangan kuliner yang lebih menampilkan format atau model baru. Pembawa acara pun lebih divariasikan. Sosok ibu seperti Sisca terkesan tidak lagi mendapat tempat dalam kemasan tayangan kuliner gaya baru.
Muda, enak dipandangdan enerjik. Itulah beberapa kesan yang lebih ingin ditampilkan dalam tayangan kuliner saat ini. Misalnya, kini adalah masanya Farah Quinn, sang pemandu Ala Chef di Trans TV. Namun, agaknya, yang menjadi perhatian dan komentar penyimak tayangannya bukanlah sekadar pada makanannya, tapi pada penampilan sang pembawa acara. Pandangan ini bukan tanpa alasan. Pasalnya, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) pun bahkan pernah menegur Trans TV karena Farah Quinn dinilai berpakaian tidak etis dalam episodenya pada 5 Februari 2012. Apakah sikap KPI ini representasi pandangan masyarakat terkait citra sang pembawa acara? Entah. Tapi catatan menarik dari kasus ini, ternyata, bukan sekadar makanan yang menjadi esensi dan dilihat dari sebuah tayangan kuliner.
Jenis tayangan kuliner lainnya adalah yang merangsang nafsu makan sebesar-besarnya. Simak saja Makan Besar di Trans 7 yang dipandu Ragil Imam Wibowo. Tayangan ini memperlihatkan cara membuat makanan biasa, tapi dalam wujud dan porsi besar, yang diakhiri dengan menyantap makanan besar itu bersama-sama. Porsi dan makan besar menjadi esensinya. Tapi, dimaksudkan untuk apakah tayangan ini bagi para penontonnya? Tak begitu jelas.      
Lain halnya dengan kesemuan Santapan Nusantara di MNC TV. Meski memakai label “Nusantara”, namun kreasi hidangannya berbaur dengan resep dan bahan makanan Eropa, Jepang, dan Cina yang–katanya–disesuaikan dengan cita rasa Indonesia. Judulnya yang terkesan menjadi “Indonesia” melalui “santapan Nusantara” kontras dengan kenyataan isi tayangannya. Jika pun ingin mengesankan wajah budaya kuliner Nusantara yang akulturatif dengan ragam budaya asing, sang pembawa acara pun tidak menjelaskan perjalanan proses kreatifnya dalam tayangan tersebut. Hal ini berbeda sekali dengan kerincian Ganie pada Upaboga di Indonesia: Ensiklopedia Pangan & Kumpulan Resep(2003) dalam menjelaskan pengetahuan sejarah dan budaya di balik resep-resep kreasinya. Lebih aneh lagi, pada salah satu episode Selera Nusantara, sang pembawa acara mendatangi sebuah pondok yatim-piatu untuk memberikan santunan. Entah apa maksudnya. Setidaknya terlihat, betapa centang-perenangnya kemasan tayangan yang ada sejak 1996 ini.
Hal paling mengemuka dari semua tayangan kuliner adalah fenomena “wisata kuliner”. Format jalan-jalan sambil makan ini memang mengalihkan tayangan memasak di dapur yang rasanya mulai dinilai membosankan. Muatannya pun bukan lagi mengarahkan penonton untuk cakap memasak, tapi cukup cakap menyantap saja.
Format wisata kuliner ini boleh dibilang diawali oleh Bondan Winarno melalui Wisata Kuliner di Trans TVDalam tayangan ini, Bondan menelusuri berbagai wilayah di Indonesia untuk menyinggahi berbagai tempat makan; dari rumah makan hingga warung pinggir jalan. Karenanya, tempat makan yang disinggahinya sangat dimungkinkan menjadi kian ramai pengunjung akibat penonton yang penasaran untuk turut berwisata kuliner. Apalagi istilah khas Bondan, “maknyus”, dalam mengungkap kelezatan hidangan benar-benar menular di lidah masyarakat. 
Sejak kemunculannya pada 2005, Wisata Kuliner masih lestari hingga kini. Tayangan ini pun terkesan jadi model bagi tayangan-tayangan sejenis. Sebut saja Menu and Venue (Metro TV) dengan Haryo Pramoe sebagai pemandunya, yang berformat jalan-jalan sambil masak dan makan. Dengan menceritakan profil daerah yang dikunjunginya, tayangan ini mempromosikan turisme melalui makanan setempat
Namun yang terbilang menarik adalah Selera Asal di TV One. Tayangan yang dibawakan oleh presenter muda dan enerjik Winny Asaari ini, menelusuri jejak sejarah dan budaya kuliner yang ada di Indonesia. Salah satu edisinya menelesuri makanan juadah dan geplakdalam Serat Centhini, salah satu kitab pusaka di tanah JawaMesti diakui, hal ini sangat langka dikemas oleh tayangan kuliner mana punDibandingkan Wisata Kuliner yang mengobral nafsu makan atau Menue and Venue yang berorientasi turisme, Selera Asalsebenarnya dapat menjadi model bagus untuk menggali lebih dalam wawasan (sejarah dan budaya) kuliner Indonesia.
Ini sama halnya dengan Cerita Rasa William Wongso yang sempat tayang di Metro TV. Tayangan kuliner sejatinya bukan cuma soal masak-memasak dan makan-memakan belaka, tapi lebih dari itu, ujar William Wongso kepada saya dalam suatu kesempatan beberapa tahun silam. Karenanya, sejarah dan budaya di balik makanan pun perlu diungkap. Di sinilah kepakaran seperti William dibutuhkan dalam tayangan-tayangan kuliner di TV. Sayangnya tayangan William ini tidak lagi tayang.
Umumnya, kemasan tayangan kuliner saat ini tidaklah seperti diikhtiarkan Ganie yang ingin mewujudkan adiboga Indonesia seperti halnya kuliner Perancis, Italia, atau Cina. Adiboga memuat tingginya nilai seni, budaya, sejarah, kesehatan, dan filosofi yang dikandung dalam budaya makan suatu bangsa. Sayangnya, hal itu tidak atau belum didapati dalam tayangan kuliner yang sekadar merangsang nafsu makan belaka. Jika tiap pekan tayangan macam ini ditayangkan, maka bagi para penontonnya ini soal mempertahankan diri: tergoda atau bertahan dari godaan. Jika pun tergoda, ini soal disadari atau tidak, dirinya telah terperangkap dalam gaya konsumtif ala ”wisata kuliner”.
Jadi jangan heran jika akhir pekan atau libur panjang, kota-kota yang diidentikan atau diberi atribut dalam tayangan wisata kuliner di TV sebagai ”surga kuliner” bisa penuh disesaki oleh para pelancong. Tentu saja geliat kebiasaan makan di luar macam ini pun harus diantisipasi karena berelasi dengan gangguan kesehatan. Ancaman kolesterol, asam urat, dan obesitas pun sejatinya perlu diperhatikan benar. Dus, apakah tayangan kuliner di TV pun bertanggungjawab menyadarkan soal ini?
Barangkali saja, iya. Setidaknya ini terlihat dari bagaimana tayangan kuliner menggaet iklan. Jika iklan-iklan berupa produk semisal minyak goreng dan bumbu masak adalah hal yang lazim terselip dalam tayangan kuliner, namun ada juga yang terkesan dipaksakan, taruhlah produk obat pencahar. Beberapa tahun lalu, sebuah tayangan kuliner, misalnya, ada yang pernah disponsori produk pencahar (detoksifikan). Setiap habis menikmati santapannya, pembawa acara selalu menunjukkan produk pencahar itu, seakan mengajak penonton untuk turut mengonsumsinya. Dengan lain maksud: tenanglah untuk makan sepuas mungkin, sekalipun makanan yang dimamah mengandung lemak jenuh tinggi, toh kan ada obat penawarnya.
Logikanya, dengan adanya obat pencahar, maka hidangan yang disantap berarti berpotensi bermasalah bagi kesehatan kita. Lalu, kenapa tidak sekalian saja mengintegrasikan antara aktivitas mengolah dan memamah makanan dengan kesadaran hidup sehat dalam tayangan kuliner? Apakah hal ini tidak dipikirkan sama sekali oleh tim kreatif tayangan kuliner? Atau jangan-jangan ini dianggap tidak mengundang untung, membosankan, tidak seksis, dan menurunkan rating?
Tayangan kuliner sejatinya memberi manfaat positif bagi masyarakat untuk bisa memaknai kebiasaan makan yang baik dan sehat. Bukan justru memberi berbagai kenikmatan yang semu dan menyesatkan.
Penulis: Fadly Rahman lahir di Bogor, 27 November 1981. Selain mengajar di Jurusan Ilmu Sejarah, Universitas Padjadjaran, kadang ia menulis opini kesejarahan di surat kabar. Ia meminati kajian sejarah makanan. Riset sejarah makanan pertamanya tentang rijsttafel telah dibukukan Gramedia Pustaka Utama pada 2011. Minatnya terhadap sejarah kecil, khususnya makanan, tersalurkan melalui keterlibatannya bekerja sebagai kontributor penyusunan buku Indonesian Food (2008) karya Sri Owen dan proyek Oxford Companion to Southeast Asian Food (2008–2009) yang disunting Roger Owen dan Sri Owen. Kini Fadly tengah studi sejarah di Universitas Gadjah Mada dengan meneruskan penelitiannya tentang tema lain dari sejarah makanan.

No comments:

Post a Comment