Pages

Thursday, December 25, 2008

MENNO SIMONS

Lima tahun setelah pulang ke desa kelahirannya, Menno Simons yang memegang posisi imam meninggalkan gereja Katolik dan bergabung dengan Anabaptist. Ia meninggalkan posisinya sebagai seorang yang dihormati, kehidupannya yang nyaman, dan menjalani kehidupan sebagai seorang buronan. Dalam suratnya kepada Gellius Faber, Menno menuliskan pengalamannya: “Maka saya, tanpa keragu-raguan, meninggalkan seluruh reputasi duniawi, nama dan popularitas, kelakuan yang tidak kristiani, misa, baptisan bayi, dan hidup yang mudah. Saya dengan sukarela menghadapi kemiskinan dan hidup susah di bawah salib Kristus yang berat. Dalam kelemahan, saya takut akan Tuhan. Saya mencari orang-orang saleh dan walaupun mereka sedikit jumlahnya, saya menemukan sebagian yang bertekun dan mempertahankan kebenaran.” Sejak saat itu, Menno tidak pernah berpaling ke belakang.

Bukanlah suatu kebetulan jika Anabaptis di Belanda dikenal sebagai Mennonites. Tidak ada nama yang lebih diagungkan di kalangan Anabaptist abad 16 daripada Menno Simons. Pelayanan Menno bermula dari gereja Roma, di mana ia ditahbiskan sebagai imam di Utrecht pada tahun 1524, ketika ia berusia 28 tahun. Menno yang adalah seorang petani memiliki pendidikan yang sangat terbatas dan Alkitab adalah buku yang asing baginya hingga 2-3 tahun berikutnya. Akhirnya dengan berani ia mencari jawaban untuk pertanyaannya atas doktrin transubstansiasi. Inilah permulaan dari perjalanan Menno yang mengakibatkannya keluar dari Roma Katolik dan mengikuti Anabaptis.

Walaupun pengetahuan Menno akan firman Tuhan sangat terbatas, ia dengan tekun meneliti Perjanjian Baru. Penelitian Menno belum jauh ketika ia sadar bahwa ia telah tertipu, dan hati nuraninya merasa terganggu akan masalah ekaristi.

KEKEJAMAN MENGAGETKANNYA
Menno menerapkan Firman Tuhan yang telah ia pelajari dalam pelayanannya sehingga ia mendapat reputasi yang lumayan sebagai seorang pengkhotbah (evangelis). Menno yang belum benar-benar menyadari implikasi dari pendirian Protestan pun menerima Alkitab sebagai doktrin yang berkuasa. Namun, ia terkejut dalam penelitiannya tentang baptisan pada tahun 1531. Menno meneliti Alkitab dengan tekun dan tidak menemukan laporan apapun tentang baptisan bayi.

Saat itu, ada peristiwa pemenggalan Sicke Snijder di Leeuwarden dengan alasan ia dibaptis ulang. Peristiwa ini menyebabkan Menno segera mendiskusikan hal ini dengan pastornya di kota Pingjum dan ia diberitahu bahwa anak-anak perlu dibaptis untuk dibersihkan dari dosa mereka yang original. Ketika ia membandingkan ide ini dengan Alkitab, ia mengambil kesimpulan bahwa baptisan bayi adalah suatu kesalahan besar. Akhirnya Menno merasa terganggu sehingga ia tidak sanggup melayani di kampung asalnya selama lebih dari satu tahun. Penderitaan yang dirasakan Menno lebih tak tertahankan lagi ketika 300-an pengikut Anabaptis yang mengalami penganiayaan dihukum mati oleh gereja Katolik, dan salah satu dari mereka adalah saudaranya sendiri. Sampai pada April 1535, Menno mempertimbangkan secara mendalam dan demi melepaskan kesengsaraan yang dialaminya, ia memilih untuk bertobat.

MENNO BERTOBAT
Setelat Menno bertobat, ia mulai lagi berkhotbah di depan umum. Dari mimbar, ia memberitakan cara pertobatan yang benar, menunjukkan kepada orang-orang jalan yang alkitabiah, menegur segala dosa, kejahatan dan penyembahan berhala, juga menunjukkan cara penyembahan yang benar, baptisan yang alkitabiah dan perjamuan Tuhan yang benar. Akhirnya, sebagai orang yang lahir baru dalam Yesus Kristus, Menno sadar akan ketidakpantasan seorang Anabaptis untuk berdiri di mimbar Roma Katolik, maka ia meninggalkan segala reputasi duniawi; nama dan ketenaran, kekejian yang tidak pantas sebagai orang Kristen, misa, baptisan bayi, dan kemiskinan rohani di bawah salib Kristus.

MENNO MENINGGALKAN KATOLIK
Menno menunggu selama 9 bulan sebelum ia mengidentifikasi dirinya dengan saudara-saudara seiman karena ia menghitung harga yang harus ia tanggung sebelum memikul salib Kristus. Setelah itu, ia mencari Anabaptis di daerahnya dan mulai menasehati mereka akan kesalahan-kesalahan gereja Roma Katolik, namun tidak banyak yang dapat ia menangkan. Kerinduan Menno akan kehidupan yang tenang dan damai untuk merenungkan lebih dalam lagi hubungan yang baru yang ia jalin ini mendorongnya untuk pindah ke kota Friesland, sebelah timur Belanda. Di tempat ini, Menno ditemui oleh suatu delegasi yang terdiri dari 7 atau 8 orang yang berasal dari Anabaptis yang alkitabiah. Mereka dengan penuh doa memohon kepada Menno untuk prihatin terhadap penderitaan dan keperluan jiwa-jiwa yang tertindas, juga mempergunakan bakat yang ia dapatkan dari Tuhan. Undangan dari saudara-saudara ini membuat hatinya merasa terganggu karena ia khawatir akan dirinya yang bersifat malu, kejahatan dan kekejaman dunia, kelicikan manusia, dan salib Kristus yang berat. Namun ia tidak mundur.

PENGANIAYAAN MENNO DIMULAI
Tidak diketahui kapan Menno dibaptis dan bergabung dengan perkumpulan Anabaptis. Pada 24 Oktober 1536, Herman dan Gerrit Jans ditahan atas tuduhan memberikan tumpangan kepada Menno Simons, yang dilaporkan sebagai kaum imam di Witmarsum. Sampai Oktober 1536, kepergian Menno dari gereja Roma Katolik dan pertaliannya dengan Anabaptis sudah diketahui pihak pemerintah. Mungkin ia dibaptis tidak lama sesudah meninggalkan Witmarsum pada awal 1536.

Lebih kurang setahun kemudian, ia ditahbiskan di Groningen, dengan tumpangan tangan oleh Obbe Philips. Menno kemudian memulai pelayanan yang aktif di kalangan Anabaptis yang alkitabiah dan tidak berkompromi. Pada awal 4-5 tahun pelayanannya, Menno bekerja dan tinggal di Groningen dan sebelah timur Friesland. Ia menikah dengan seorang dari Gertrude, mungkin pada tahun 1536.

Penganiayaan adalah suatu realita yang tidak dapat Menno elakkan. Menno menggambarkan kontras antara kehidupan seorang imam negara yang diberi gaji tinggi dengan kehidupan pengkhotbah Anabaptis: “Saya, beserta istri dan anak-anak telah menahan kegelisahan, penin dasan, penderitaan, kesengsaraan dan penganiayaan... Ya, ketika pengkhotbah-pengkhotbah tidur dengan tenang, kami biasanya harus bersembunyi di berbagai pojok... Kami harus berjaga-jaga ketika seekor anjing menggonggong karena takut akan polisi penahan yang mungkin telah tiba... Secara singkat, ketika mereka dengan agungnya diberi hadiah penghasilan yang besar dan waktu yang tenang, imbalan dan posisi kami adalah api, pedang dan kematian.” Gambaran Menno tentang kehidupan seorang Anabaptis yang selalu diusik ini tidaklah berlebihan, ada banyak saksi yang juga dapat memberikan kesaksian yang sama.

Pada 21 Januari 1539, suatu dekrit yang memberi perintah bagi semua Anabaptis untuk keluar dipublikasikan di provinsi Groningen. Menno sempat melarikan diri ke provinsi Friesland, di mana ia melanjutkan pelayanannya. Dalam kunjungan Menno ke Friesland sebelumnya, ia sempat tinggal di rumah Tjard Reynders, seorang yang saleh dan takut akan Tuhan.

PERBURUAN MENNO SEMAKIN INTENSIF
Tak lama sesudah itu, pada 8 Januari 1539, tuan rumahnya, Reynders, ditahan, dihancurkan pada sebuah roda dan dihukum mati. Pada tahun 1541, rencana-rencana juga dibuat oleh konselor-konselor Leeuwarden untuk menangkap Menno.

Selama Menno masih bebas, rencana pemberantasan Anabaptis lain tidak bias dilaksanakan. Pengampunan ditawarkan bagi Anabaptis yang sedang berada di dalam pengurungan, jikalau mengantarkan Menno ke tangan mereka, namun tidak ada Yudas yang datang.

Charles V, kaisar dari kerajaan Roma juga mempublikasikan sebuah dekrit, menawarkan 100 emas mata uang Belanda untuk kepala Menno. Semua orang diperintahkan supaya tidak memberikan makanan atau tempat tinggal kepada Menno, dan kepada pengikutnya untuk ditahan dengan segera. Pengampunan penuh atas pelanggaran apapun dijanjikan kepada siapapun yang membawa Menno ke tangan pemerintah.

Pada dua tahun berikutnya, Menno bekerja sekitar Amsterdam dengan sejumlah kesuksesan. Yang lebih mengherankan lagi, ia sempat menulis 3 buku pada awal pelayanannya di sebelah utara Holland yaitu: Baptisan Orang Kristen (1539), Fondasi Doktrin Kristen (1540), dan Iman Orang Kristen Yang Benar (1541).

MENNO MELARIKAN DIRI KE JERMAN
Pelayanan Menno di Amsterdam merupakan suatu selingan yang singkat sebelum ia memulai pelayanan di bagian utara Jerman pada tahun 1543. Di tempat inilah ia mencurahkan sisa hidupnya selama 18 tahun. Setelah pindah ke Jerman, Menno menaruh perhatiannya kepada masalah internal Anabaptis di area tersebut. Pada saat itu, ia dikenal sebagai pemimpin terkemuka gerakan itu. Posisi kepemimpin- annya berdiri bahkan lebih kokoh setelah kemurtadan Obbe Philips pada tahun 1540, dan dengan dipublikasikannya “Fondasi Doktrin Kristen” yang dicetak pada tahun yang sama.

Melihat pengaruh Menno di wilayah German utara dan Anabaptis Belanda, tidaklah mengherankan ketika ditemukan bahwa Anabaptis yang alkitabiah dikenal sebagai “Mennonites” atau “Menists”.

Selama kepemimpinan Menno, ada kumpulan-kumpulan yang ingin menjatuhkan Mennonites, yaitu pengikut-pengikut dari Jan van Batenburg dan David Joris. Batenburg menyokong doktrin-doktrin Katolik yang cukup berbahaya, sedangkan Joris, seorang yang dahulunya Anabaptis, mengklaim bahwa selain Alkitab, tulisan-tulisannya juga adalah karya yang diilhami. Menno memimpin Mennonites lepas dari kawanan-kawanan yang berkhianat ini dengan bantuan Dirk Philips, seorang penatua.

Setelah itu, muncul sebuah isu yang meragukan keilahian Kristus oleh Adam Pastor, yang juga seorang Anabaptis pada tahun 1542. Pastor mengajarkan bahwa Kristus tidak ada sebelum inkarnasi dalam wujud manusia dan Ia dipandang sebagai Tuhan hanya dalam pengertian bahwa Tuhan tinggal didalamnya. Dua pertemuan diadakan pada tahun 1547 di Belanda dan bagian utara German oleh penatua-penatua demi menyelesaikan persoalan ini, dengan harapan Pastor dapat diselamatkan dari ajaran sesat ini, namun mereka putus asa pada pertemuan kedua.

Menno tidak dapat menghilangkan pengalaman yang tidak menyenangkan ini dari pikirannya karena Pastor juga seperti dirinya, yaitu berlatar belakang seorang imam dan dalam hal lainnya, ia jelas adalah Anabaptis yang benar, menjunjung tinggi Firman Tuhan dalam hal iman dan penerapannya. Rasionalisme telah menyebabkan Pastor meragukan keilahian Kristus, walau ia mempertahankan Kristus sebagai satu-satunya mediator antara Allah dan manusia. Menno merasakan bahwa hal ini merupakan suatu ancaman yang genting, maka ia menulis sebuah buku kecil berjudul “Pengakuan terhadap Allah Tritunggal” untuk menetralkan pengaruh Pastor. Menno, seperti Anabaptis lainnya percaya sepenuhnya kepada tritunggal, sehingga ia menganggap serangan terhadap keilahian Kristus adalah suatu usaha untuk meretakkan fondasi iman kekeristenan.

Akan tetapi, pandangan Menno terhadap inkarnasi merupakan sumber kontroversi di kalangan Anabaptis. Ia percaya bahwa sifat jasmani Kristus adalah ciptaan baru oleh Roh Kudus di dalam tubuh Maria. Posisi Menno berbeda dengan pandangan bersejarah, karena Menno menyangkal bahwa Kristus menerima tubuh jasmaninya dari Maria. Argumennya berarah kepada Allah sebagai sumber kehidupan dan bukan manusia, maka Kristus menerima kehidupan, baik yang bersifat manusia atau ketuhanan, semuanya dari Tuhan. Lawan-lawan Menno tidak pernah berhenti menuduhnya sesat pada poin yang satu ini. Menno dipaksa untuk mendiskusikan doktrin inkarnasi ini dan diberi waktu yang tidak sebanding untuk mempertahankan pandangannya. Namun, Menno tidak pernah menyangkal kemanusiaan Kristus, ia juga tidak mencoba memisahkan kemanusiaan dan keilahian Kristus. Ia tahu bahwa inkarnasi adalah suatu proses yang melibatkan tingkat misteri tertentu yang tidak dapat tuntas dengan analisis yang rasional. Ia ingin menyingkirkan kemungkinan Kristus mewarisi sifat dosa, tanpa mengilahikan Maria.

Isu ini memunculkan perdebatan di Wismar pada musim dingin 1554. Perselisihan ini memberi sinyal kepada pihak pemerintah akan kekuatan dan pengaruh Mennonites yang bertambah semakin kuat. Sebelum musim panas 1554, Menno terpaksa pindah ke Hamburg di Oldesloe, setelah itu ke Wustenfelde.

Walaupun Menno menghabiskan tahun-tahun terakhirnya dalam keadaan yang lumayan aman, tahun-tahun tersebut jauh dari ketentraman. Posisinya yang keras bahwa anggota gereja yang didisiplin harus dikucilkan, menyebabkan perpecahan. Setelah adanya goyangan dalam isu ini, Menno akhirnya keluar mengambil posisi yang lebih ringan. Dalam pertemuan di Strasbourg pada tahun 1557, Anabaptis Jerman dan Swiss keberatan dengan instruksi bahwa seorang suami atau istri juga harus mengucilkan pasangannya yang kena disiplin, dan mereka membuat petisi kepada Mennonites untuk mempertimbangkan lagi posisi mereka. Kritik akan posisinya yang keras ini menyebabkan Menno berdiri dan mempertahankannya. Tiga tahun sebelum kematiannya, Menno dalam karyanya “Instruksi Pengucilan” mengekspresikan kekhawatirannya: pertama, bahwa orang-orang telah keliru memahaminya; dan kedua, kalau larangan tersebut tidak diaplikasikan dengan tepat.

Perpecahan dan kebencian menyangkut larangan tersebut terus mengganggu Menno sampai pada hari kematiannya. Pada usianya yang ke-66, ia meletakkan Alkitab dan pulpennya. Setelah menderita penyakit, ia berubah kritis tepat pada hari peringatan ke-25 tahun penolakannya akan ajaran Katolik. Menno meninggal pada hari berikutnya, 31 Januari 1561 di rumahnya sendiri, dan ia dikuburkan di tamannya.

Kontribusi Menno yang terbesar kepada gerakan Anabaptis adalah karakter yang rendah hati dan meniadakan diri sendiri sampai pada akhirnya.

Disadur oleh: Daisy Anwar, B. Mus.

Terambil dari buku: The Anabaptist Story, karangan: William R. Estep. (Buletin PEDANG ROH, Okt-Des 2008)

No comments:

Post a Comment