Pages

Monday, October 27, 2008

Bagaimana Tentang BAPTISAN?

Mungkin Anda telah mendengar orang-orang yang membahas cara membaptis yang tepat.“Jika seseorang dibaptis sampai ke lehernya, apakah ia telah benar-benar dibaptis?” tanya salah seorang yang sedang berbincang-bincang itu.
“Tidak, tentu saja tidak,“ jawab yang lain.”Jika ia dibaptis sampai ke dahinya, apakah itu baptisan?”
“Tidak,“ kata orang itu lagi dengan tegas.
 “Nah,“ kata orang tersebut, “itu membuktikan bahwa air yang di atas kepala itulah yang betul-betul penting!“

Baptisan air telah menjadi sumber kontroversi di kalangan Kristen sejak gereja mulai berdiri. Dalam Kisah Para Rasul baptisan air dikaitkan secara erat dengan PENGALAMAN PERTOBATAN. "Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.“ (Kisah 2:38). Ayat-ayat seperti ini telah menimbulkan berbagai perbedaan pendapat yang masih terus diperdebatkan sekarang ini.

Tiga pertanyaan kerap kali diajukan:
(1) Haruskah baptisan air dibatasi untuk orang-orang dewasa yang secara pribadi telah percaya kepada Kristus?
(2) Apakah baptisan itu suatu sarana kasih karunia yang membuat seseorang dilahirkan kembali?
(3) Apakah yang menjadi pola baptisan-yaitu, haruskah kita diselamkan?

Munculnya Pembaptisan Anak Kecil
Dalam beberapa kasus teks Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa baptisan diberikan kepada mereka yang menanggapi berita Injil. Misalnya, dalam kasus kepala penjara di Filipi, kita membaca, “Lalu mereka memberitakan firman Tuhan kepadanya dan kepada semua orang yang ada di rumahnya.“ (Kisah Para Rasul 16:32). Ini menjelaskan mengapa seisi rumahnya dapat/boleh dibaptis—mereka semua telah cukup usia untuk mendengarkan Firman. Pembaptisan yang dilakukan terhadap orang-orang yang tidak dikategorikan seperti ini, bertumpu pada alasan-alasan teologi yang lain.

Dalam PB, Baptisan segera menyusul setelah IMAN PRIBADI kepada Kristus digunakan. Setahu kami, dalam gereja mula-mula, TAK SATUPUN orang percaya yang tidak dibaptis. Semua orang Percaya DIBAPTIS sebagai suatu kesaksian terhadap iman mereka.
Jika demikian, darimanakah munculnya pembaptisan yang bukan seperti hal yang disebutkan ini?  

Kita mungkin berharap akan menemukan berbagai rujukan yang berkenaan dengannya dalam tulisan-tulisan para bapak gereja, yakni, mereka yang mengenal para rasul. Tidak demikian. Misalnya, Ireneus, yang mengenal Polikarpus, seorang murid rasul Yohanes, menuliskan suatu risalah teologi yang terdiri atas 5 Jilid termasuk tentang baptisan.
Dalam Surat Barnabas (sekitar tahun 120-130), suatu pasal yang singkat disediakan untuk membicarakan Baptisan Air, tetapi Hanya Baptisan Orang-orang Percaya. ”Kami turun ke dalam air penuh dengan dosa dan kecemaran, dan kami keluar dengan membawa buah dalam hati kami, ketakutan dan pengharapan dalam Yesus di dalam Roh.”1

Yang lebih penting lagi adalah kenyataan bahwa dalam Didache, sebuah buku pedoman awal tentang pelayanan Kristen (sekitar tahun 100-110), terdapat ajaran yang terinci tentang perilaku moral orang yang dibaptis. Ajaran itu menjelaskan bahwa air yang mengalir harus dipakai; jikalau tidak ada, maka pakailah air yang tergenang. Jika tidak ada cukup air untuk membenamkan calon yang akan dibaptis, maka air dituangkan ke atas kepalanya tiga kali dalam nama Bapa, Putra, dan Roh Kudus. Tetapi pembaptisan yang lain daripada itu tidak disebutkan.

Dengan munculnya SAKRAMENTALISME, baik Baptisan maupun Perjamuan kudus dinggap sebagai sarana kasih karunia yang diberikan kepada Gereja. Kalau begitu, tampaknya logis untuk melaksanakannya. Petunjuk pertama yang tegas tentang pembaptisan dating dari Tertullianus, pemimpin gereja Afrika Utara (sekitar tahun 200), yang menandaskan bahwa anak-anak harus datang untuk dibaptis ketika mereka sudah DEWASA supaya mereka mengerti apa yang sedang mereka lakukan.” Oleh karena itu, sesuai dengan keadaan dari watak seseorang, dan juga usianya, maka PENUNDAAN baptisan adalah LEBIH MENGUNTUNGKAN, khususnya dalam hal anak-anak kecil.”2 Keberatannya menunjukkan bahwa pada tahun 200 pembaptisan anak kecil telah dipraktekkan dalam beberapa gereja.

Petunjuk kedua tentang baptisan anak kecil dating dari tulisan-tulisan Origenes, yang dilahirkan dalam suatu keluarga Kristen di Alexandria, Mesir. Ia menjadi tenar sebagai guru, kendati pada akhirnya ia terpaksa pindah ke Palestina oleh karena perlawanan dari uskup Alexandria. Dalam sebuah tafsiran Injil Lukas, ia menulis bahwa anak-anak kecil dibaptis ”supaya pencemaran dari kelahiran kita dihapuskan.” Pada hakekatnya ia mengulang pernyataan yang sama dalam sebuah tafsiran tentang Surat Roma.

Para sarjana berbeda pendapat mengenai pentingnya bagian-bagian ini. Meskipun Origenes menulis dalam bahasa Yunani, bagian-bagian ini hanya terdapat dalam sebuah terjemahan Latin yang dibuat oleh seorang bernama Rufinus, yang hidup pada periode yang kemudian dan yang terkenal suka menambah-nambahkan pendapatnya sendiri ke dalam terjemahannya. Ada yang menduga bahwa ia menambahkan rujukan-rujukan tentang pembaptisan anak kecil untuk menyelaraskan ajaran Origenes dengan kepercayaan gereja Latin pada zamannya. Akan tetapi, jika pernyataan-pernyataan Origenes itu asli, maka itu memberikan kesaksian yang penting tentang fakta pembaptisan anak kecil dan alasannya dalam gereja pada tahun 240.

Rujukan ketiga terdapat dalam tulisan-tulisan Cyprianus, juga dari Afrika Utara. Kira-kira pada tahun 251, ia bertanya kepada para utusan di suatu konsili gereja apakah pada hemat mereka baptisan harus ditunda sampai pada hari ke-8. ia mencatat bahwa Konsili itu, yang terdiri dari 66 uskup, mengatakan bahwa baptisan tidak boleh ditunda ”jangan sampai oleh perbuatan itu kita membuka jiwa si anak terhadap risiko kebinasaan kekal.” Di sini kita memperoleh petunjuk jelas yang menghubungkan baptisan bahkan terhadap bayi dengan kelahiran baru secara rohani. Dalam sebuah dokumen yang belakangan, Cyprianus juga menyebutkan bahwa anak-anak kecil sekalipun harus diberikan Perjamuan kudus juga. Jika, memang benar, bahwa kasih karunia disalurkan melalui sakramen, maka anak-anak juga harus menerima berkat ini.

Agustinus adalah saksi kita yang keempat dari Afrika Utara yang mendukung pembaptisan anak kecil. Seperti telah kita pelajari, ia mempunyai dampak yang kuat atas pemikiran gereja Kristen. Ia mengajar bahwa pembaptisan anak kecil berasal dari zaman para rasul, meskipun ia tidak menyebutkan nama orang yang mengajarkannya lebih awal dari Cyprianus. Sejalan dengan teologi wilayah itu, ia juga mengatakan bahwa kebiasaan memberi perjamuan kudus kepada anak-anak pun dilakukan dengan otoritas para rasul. Kedua sakramen ini diperlukan bagi keselamatan; oleh karena itu, kedua-duanya harus diberikan juga termasuk kepada anak-anak. “Apabila sebagaimana disetujui oleh banyak kesaksian ilahi, keselamatan dan hidup kekal tak dapat diharapkan oleh siapapun, tanpa baptisan serta tubuh dan darah Tuhan kita, maka sia-sialah untuk menjanjikannya kepada siapa pun bahkan kepada anak-anak tanpa kedua sakramen tersebut.“3

Jadi gereja-gereja yang percaya SAKRAMENTALISME, melaksanakan kedua upacara ini untuk anak-anak. Jewett mengomentari, “Tak pernah terpikirkan oleh seorang pun dalam gereja zaman dahulu untuk mempertanyakan hak anak-anak menerima Ekaristi setelah hak untuk mengikutsertakan mereka di dalam gereja telah ditetapkan.“ Jewett mengatakan, teori bahwa anak kecil harus dibaptis tapi tidak diberikan komuni,“bertumpu pada perkembangan dogmatik abad pertengahan dalam gereja Barat yang sama sekali tidak ada sangkut paut dengan pandangan Injili mengenai sakramen-sakreman itu.“4

Dengan berkembangnya pembaptisan anak kecil, timbullah gagasan untuk meminta para orang tua untuk bertindak sebagai orang tua baptis bagi anak yang dibaptis. Tertullianus, yang berbicara menentang pembaptisan anak kecil, mengacu kepada orang tua baptis atau orang tua dari si Anak yang dibaptis sebagai MUDAH SEKALI membuat Janji-Janji yang GEGABAH ketika mereka mengatakan bahwa anak itu akan menjadi orang Kristen dalam kehidupannya kelak. ”Siapakah yang mengetahui apakah hal ini akan terjadi?” ia bertanya.

Jadi, praktek pembaptisan anak kecil muncul di Afrika Utara kira-kira pada paruhan akhir dari abad kedua, sebagian besar disebabkan oleh kepercayaan bahwa pengampunan dosa datang melalui sakramen-sakramen. Sejalan dengan Sakramentalisme, maka perjamuan kudus juga diberikan kepada anak-anak.

Arti Pembaptisan Anak Kecil Dalam Abad Pertengahan
Setiap orang yang mengenal sejarah kekristenan mengetahui bahwa gereja mula-mula mengalami perlawanan yang sengit dari Kerajaan Romawi. Gelombang demi gelombang penganiayaan menimpa orang percaya. Bukan karena orang-orang Romawi tidka bertoleransi terhadap agama lain—orang dapat menyembah dewa mana saja yang ia sukai. Ekslusivisme (paham yang cenderung memisahkan diri dari masyarakat) kekristenan itulah yang menjengkelkan kaisar-kaisar Romawi. Orang Kristen dianggap begitu picik pikirannya sehingga mereka tidak mau berkata, ”Kaisar adalah Tuhan!”

Kaisar Diokletianus memerintah selama 20 tahun. Sebelum ia wafat, ia melawan orang-orang Kristen, mengusir mereka dari kerajaan Romawi. Pada tahun 305, ia turun takhta dan mewariskannya kepada Galerius, yang bahkan lebih bernafsu melawan orang Kristen. Menjelang kematiannya pada tahun 311,  

Galerius menyadari bahwa orang-orang kafir pun merasa muak dengan penganiayaan yang berdarah itu. Karena mengetahui bahwa masyarakat pada umumnya memusuhinya, ia mengeluarkan dekrit toleransi, yang sebagian besar memberikan kelegaan kepada orang-orang Kristen. Setelah ia wafat, pecahlah perebutan kekuasaan dan Konstantinus maju melintasi pegunungan Alpen untuk menggulingkan penguasa Romawi Maxentius (yang berharap untuk menggantikan Galerius) dan merebut kota Roma. Ketika Konstantinus berhadapan dengan lawannya di jembatan Mivian sedikit di luar kota Roma, ia meminta pertolongan kepada Allah orang Kristen. Dalam suatu mimpi ia melihat sebuah salib di langit dengan perkataan, ”Dalam tanda ini taklukkanlah.” Ketika ia meraih keberhasilan militer pada 28 Oktober 312, ia menganggap kemenangannya sebagai bukti dari kebenaran agama Kristen. Apakah pertobatannya sungguh-sungguh atau tidak, ia memberikan kemerdekaan kepada orang-orang Kristen dan akhirnya Kekristenan menjadi agama resmi kerajaan itu.

Apakah hubungan semua ini dengan baptisan? Dengan berkuasanya Konstantinus, Kekristenan tidak lagi merupakan suatu sekte di dalam kerajaan itu, tetapi menjadi searti dengan kerajaan itu. Sekarang orang akan menjadi Kristen hanya karena ia lahir dalam kerajaan itu, tidak perlu memiliki iman pribadi pada Kristus. Pembaptisan anak kecil menjadi mata rantai yang mempersatukan gereja dan negara.

Meskipun pembaptisan anak kecil dimulai dengan alasan-alasan teologis, yakni, kepercayaan bahwa upacara itu menghapus pencemaran dosa, sekarang pembaptisan menjadi suatu aset politik. Setiap anak yang dibaptis menjadi orang Kristen dan anggota kerajaan Romawi sekaligus. Karena anak-anak kecil dapat menjadi warga negara kerajaan tanpa keputusan apapun pada pihak mereka, demikian pulalah mereka dapat menjadi orang Kristen. Pembaptisan anak kecil menjadi praktik yang hampir universal dalam beberapa dekade.

Agustinus menerima keyakinan bahwa gereja dan negara harus bersatu, dengan menandaskan (1) hak gereja untuk menggunakan negara dalam pelaksanaan Kekristenan. Jadi, “penganut ajaran sesat“ dapat dibunuh dan para pengingkar dibantai; dan (2) pembaptisan anak kecil diharuskan.

Pembaptisan anak kecil memainkan peranan penting dalam penggabungan gereja dan negara. Itulah sebabnya golongan Anabaptis (mereka yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi dibaptis ulang sebagai orang dewasa, ketika mereka pribadi menjadi percaya kepada Kristus) dianiaya dengan begitu kejam. Perselisihannya bukan sekedar teologis, tetapi politis. Pada masanya Raja Karel Agung (dinobatkan pada tahun 800), orang-orang yang dibaptis setelah secara pribadi percaya kepada Kristus dibunuh. Yang dikhawatirkan adalah jika gereja hanya dianggap sebagai suatu kelompok dalam masyarakat dan bukan sejajar dengan masyarakat, maka seluruh kesatuan gereja dan negara akan terpecah-pecah. Pembaptisan anak kecil adalah ”perekat” yang menyatukan gereja dan negara.

Karl Barth, teolog terkenal dari Swiss, mengakui bahwa motivasi sesungguhnya dibalik Baptisan Anak adalah KONSTANTIN-isme, yakni kesatuan gereja dan Negara. Ketika berbicara mengenai para Reformator yang berpegang pada Baptisan Anak Kecil, ia mengatakan, “Orang-orang pada waktu itu tidak mau melepaskan, karena cinta atau uang, keberadaan gereja Injili dalam bentuk Corpus Christianum Konstantinian. Ketika gereja menghentikan pembaptisan anak kecil, gereja Rakyat dalam arti gereja Negara atau gereja Massa berakhir.“ Ia melanjutkan dengan mengatakan bahwa bahkan Luther mengakui tak akan banyak orang yang dibaptis jika seseorang, bukannya dibawa kepada baptisan, tetapi harus datang kepadanya. Barth menjelaskan bahwa Alkitab mengajarkan gereja Kristen merupakan suatu minoritas; bila semua orang diikutsertakan didalamnya, maka akibatnya adalah kesakitan bukan kesehatan. Ia mengakhiri dengan berkata bahwa, ”sudah saatnya untuk mengumumkan bahwa suatu pencarian yang urgen untuk bentuk yang lebih baik dari praktik baptisan kita sudah lama dinanti-nantikan.”5

Para Reformator: Zwingli
Pada mulanya Ulrich Zwingli, pengkhotbah dan reformator dari Zurich, mempunyai KERAGUAN YANG SERIUS tentang Pembaptisan Anak Kecil. Ia Mengaku, ”Tak ada yang lebih menyedihkan saya daripada bahwa saat ini saya harus membaptiskan anak-anak kecil karena SAYA TAHU HAL ITU SEHARUSNYA TIDAK DILAKUKAN.”6 Ia menyadari bahwa pembaharuan yang menyeluruh dalam gereja akan berarti menghentikan kebiasaan itu. Ia mengatakan lagi, ”Saya tidak menyinggung hal baptisan, saya tidak menyebutnya benar atau salah; jika kita harus membaptis seperti YANG TELAH DITETAPKAN oleh KRISTUS, maka kita TIDAK AKAN MEMBAPTIS seorang pun sebelum Ia MENCAPAI USIA yang memperlihatkan kebijaksanaan; karena DIMANAPUN TIDAK TERTULIS bahwa Pembaptisan Anak Kecil harus dilakukan.”7

Akan tetapi, Zwingli mengubah pikirannya. Untuk mengerti penyebabnya, kita harus menyegarkan ingatan kita tentang gerakan Anabaptis yang menyebar k eseluruh Eropa selama masa Reformasi.
Kata Anabaptis dipakai untuk orang-orang yang telah dibaptis sebagai anak kecil, tetapi dibaptis ulang ketika mereka pribadi menjadi percaya kepada Kristus. Para Anabaptis yang pertama adalah kaum Donatis dari abad ke-4 yang menolak untuk percaya bahwa baptisan yang mencakup setiap orang karena alasan kelahiran adalah sah. Mereka percaya bahwa gereja harus berbeda dari masyarakat dan tidak sejajar dengannya. Akan tetapi, seperti yang telah kita pelajari, ketika negara menjadi satu dengan gereja, maka gereja menggunakan kekuasaan negara untuk melaksanakan agama. Banyak orang Donatis dibunuh karena mereka berpegang pada pembaptisan orang percaya.

Kendati Donatisme (dinamakan menurut nama pemimpin mereka Donatus), ditindas, visinya tentang gereja yang terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis tak pernah padam. Ketika kepercayaan itu muncul beberapa abad kemudian, tindakan diambil terhadap ”para penganut bidat” yang hendak menggulingkan kebiasaan pembaptisan anak kecil. Ada banyak catatan tentang orang-orang yang memprotes gereja resmi yang menyambut semua orang. Para penentang ini ingin kembali kepada Pola Perjanjian Baru dimana gereja terdiri atas orang-orang percaya yang dibaptis. Mereka percaya bahwa gereja harus menjaga kekudusannya dengan pengabdian penuh kepada Kristus dan melalui pelaksanaan disiplin gereja. Perilaku mereka begitu baik sehingga Zwingli berkata tentang mereka, ”Pada hubungan pertama, kelakuan mereka kelihatan tak ada celanya, saleh, sederhana, menarik. Bahkan orang-orang yang cenderung mengkritik akan mengatakan bahwa kehidupan mereka baik sekali.”8

Orang-orang Kristen ini tidak dapat menerima gagasan bahwa seorang anak kecil dapat ”dibaptis,” yaitu, dijadikan Kristen dengan cara mengambil bagian dalam suatu upacara agama. Mereka menyebut pembaptisan anak kecil tidak lebih daripada hanya ”dicelupkan ke dalam pemandian Romawi.” Bagi mereka kehidupan yang kudus adalah bukti kelahiran baru. Seorang dari aliran yang lain mengatakan bahwa di dalam mereka ”tak ada dusta, tipu muslihat, sumpah serapah, pertikaian, bahasa yang kasar, tak ada makan dan minum yang melewati batas, tak ada sikap menonjolkan diri, tetapi sebaliknya yang ada ialah kerendahan hati, kesabaran, ketulusan, kelemahlembutan, kejujuran, kesederhanaan, keterusterangan dalam kadar yang sedemikian rupa sehingga orang akan mengira bahwa mereka memiliki Roh Kudus Allah.”9

Akan tetapi, gereja resmi, yang terbenam di dalam konstantinisme, menggunakan kekuasaan negara untuk membunuh ”para penganut ajaran sesat.” dan para Reformator sendiri menjadi fanatik dalam oposisi mereka terhadap orang-orang Anabaptis ketika para penentang ini bersikeras untuk memutuskan hubungan sama sekali dengan gereja resmi kerajaan itu. Dalam persoalan Pembaptisan Anak Kecil, Luther dan Zwingli berpihak pada Gereja Roma. Zwingli, misalnya, mengerti apabila ia sampai berpihak pada para Anabaptis, ia akan membangkitkan ketidaksenangan Negara. Ia berkata, ”Akan tetapi, jika saya sampai menghentikan praktik itu (Baptisan Bayi/Anak Kecil), maka saya khawatir saya akan kehilangan gaji tetap saya”10 dari berkhotbah. Tetapi terlebih penting, ia memandang para Anabaptis sebagai pengacau tatanan sosial.

Jadi, ia berbalik menentang mereka dengan mengatakan bahwa, kendati pada mulanya perlu untuk menyalahkan pembaptisan anak kecil, waktu sekarang telah berubah; ia mengaku bahwa ia telah tersesat. Ia juga mempelajari kembali Alkitab dan menyimpulkan bahwa pembaptisan anak kecil dapat dibenarkan atas dasar-dasar teologis (nanti kita akan mempertimbangkan sangahan-sanggahan ini dalam pasal ini).

Dewan kota Zurich mengatakan padanya bahwa dengan berkhotbah menentang Pembaptisan Anak Kecil, ”gereja yang kudus, para leluhur, Konsili-konsili, paus, para kardinal, dan para uskup, dan lain sebagainya, akan menjadi cemoohan orang, mereka akan diremehkan dan ditiadakan.”11 Apa lagi, konsili selanjutnya mengatakan apabila pembaptisan dibatasi kepada orang-orang percaya, akan terjadi ”ketidaktaatan terhadap dewan hakim, perpecahan, ajaran sesat, dan iman Kristen menjadi lebih lemah dan kecil.”

Jadi, pada tanggal 17 Januari 1525, dewan kota Zurich memberi tahu rakyat bahwa semua orang-tua harus menyerahkan anaknya untuk dibaptis atau mereka akan dibuang. 4 tahun kemudian, dekrit Speier memutuskan, ”Setiap Anabaptis atau orang yang dibaptis ulang, pria maupun wanita, harus dibunuh dengan api atau dengan pedang, atau dengan cara lainnya.”12 Anak-anak dibaptis bertentangan dengan kehendak orang-tuanya. Mereka yang tetap berpegang pada keyakinannya dan menolak untuk tunduk kepada dewan, ditenggelamkan atau dihukum mati. Zwingli secara sarkastis membuat pernyataan tentang Felix Manz penganut Anabaptis, ”Jika ia ingin diselamkan dalam air, biarlah ia diselamkan.” Demikianlah, Manz dengan paksa ditenggelamkan dalam air yang dalam dan dingin di Sungai Limmat hanya beberapa ratus meter dari gereja Zwingli. Banyak yang mati dengan mengatakan bahwa Zwingli telah mengkhianati mereka. Ia telah menjual jiwanya kepada kekristenan yang palsu yang menolak untuk membedakan antara gereja yang benar dan masyarakat.

Memang mudah mengkritik Zwingli karena bagi kita perpisahan antara gereja dan negara dianggap sudah semesetinya. Tetapi Zwingli hidup pada suatu masa di mana negara bertujuan untuk memastikan bahwa kehendak Allah dilaksanakan dalam kehidupan orang-orang yang tinggal dalam perbatasannya. Patut disayangkan bahwa penganiayaan menyebabkan beberapa orang Anabaptis menjadi fanatik. Orang-orang radikal seperti itu memberikan nama yang buruk kepada gerakan Anabaptis, yang hanya menyebabkan lebih banyak penganiayaan. Namun pembunuhan massal para Anabaptis benar-benar adalah salah satu halaman yang TERGELAP dalam sejarah gereja.

Para Reformator: Luther
Dan bagaimanakah pandangan Luther tentang pembaptisan anak kecil? Perkataan Luther agak tidak masuk akal ketika ia mengetengahkan,”Tidak ada cukup bukti dari Alkitab hingga seseorang dapat membenarkan bahwa pembaptisan anak kecil diperkenalkan pada masa orang Kristen mula-mula sesudah masa para rasul....tetapi jelas sekali bahwa tak seorang pun dengan hati nurani yang baik dapat menolak atau meninggalkan pembaptisan anak kecil yang telah dipraktikkan untuk waktu yang begitu lama.”13

Luther juga menyetujui pemusnahan para Anabaptis. Ia tidak mau mengakui bahwa gereja yang benar seharusnya merupakan suatu kelompok yang terpisah dari masyarakat pada umumnya. Sahabatnya Melanchton mengatakan tentang para Anabaptis,”Biarlah sekarang setiap orang yang saleh mempertimbangkan betapa besarnya kekacauan yang akan timbul jika di antara kita berkembang dua golongan, orang yang dibaptis dan orang yang tidak dibaptis!”14 Ia khawatir bahwa gereja pada akhirnya akan benar-benar berbeda dari dunia. Para Anabaptis percaya bahwa pembaptisan anak kecil adalah batu penjuru sistem kepausan; jika itu tidak dihapuskan maka tak akan ada jemaat Kristen.

Jadi, Luther tidak menghentikan Praktik pembaptisan anak kecil. Ketika para ”nabi” dari Zwickau mendesak supaya diadakan pembaharuan-pembaharuan yang lebih radikal, termasuk pembaptisan orang-orang percaya, Luther tak mau berkompromi dengan semua orang Anabaptis, serta menegaskan bahwa mereka dihasut oleh Iblis. Ia bereaksi dengan keras terhadap orang-orang radikal seperti Muentzer yang percaya bahwa ia dan para pengikutnya dapat mendirikan Yerusalem Baru di bumi. Karena terjepit di tengah-tengah topik tentang pembaptisn anak kecil, Luther hendak mendukung kedua pandangan itu. Ia ingin berpegang pada dua doktrin yang bertentangan, yakni pembenaran oleh iman dan kepercayaan bahwa anak-anak kecil dilahirbarukan oleh Baptisan. Dalam tafsirannya tentang Surat Galatia, ia bahkan menyarankan bahwa anak kecil dapat mendengar dan percaya Injil; bahkan, lebih mudah bagi seorang anak untuk percaya daripada seorang dewasa karena anak itu lebih terbuka. Dalam suatu khotbah ia mengemukakan jika seseorang menganggap bahwa anak-anak kecil yang telah dibaptis itu tidak percaya, ia harus menghentikan perbuatan itu ”supaya kita tidak lagi menghina dan menghujat kemuliaaan Allah yang mahatinggi dnegan tindakan gila-gilaan dan ketololan yang tidak beralasan.”

Kita harus mengerti Dilema yang dihadapi Luther. Ia menentang pandangan bahwa sakramen bermanfaat untuk menghapuskan dosa tanpa menghiraukan apakah orang yang menerima sakaramen itu memiliki iman. Luther menekankan bahwa imanlah yang menyelamatkan jiwa. Jadi, satu-satunya cara supaya pembaptisan anak kecil mempunyai validitas adalah bahwa anak itu harus percaya.
Tetapi di lain tempat ia menentang gagasan bahwa iman harus ada supaya sakramen baptisan ada manfaatnya. Ia menulis, dalam apa yang Verdium sebutkan sebagai salah satu hari ketika ia bingung.
Bagaimanakah baptisan dapat lebih dicerca dan dihina daripada jika kita mengatakan bahwa baptisan yang diberikan kepada orang yang tidak percaya bukanlah baptisan yang baik dan sejati!... Apakah baptisan dianggap tidak efektif karena saya tidak percaya?...Adakah doktrin yang lebih menghujat dan menentang yang dapat diciptakan dan dikhotbahkan oleh Iblis sendiri? Namun, para Anabaptis...begitu dipenuhi pengajaran ini. Saya mengemukakan yang berikut: Ada seorang Yahudi yang menerima baptisan, seperti yang sering terjadi, tetapi ia tidak percaya, apakah Anda akan mengatakan bahwa ini bukan baptisan seperti yang sesungguhnya, karena ia tidak percaya? Itu berarti tidak hanya berpikir seperti orang bodoh, tetapi terlebih lagi menghujat dan menghina Allah.15

Dewasa ini ada gereja-gereja yang mengajarkan bahwa anak-anak kecil harus dibaptiskan agar dapat dilahirkan kembali. Liturgi baptisan berbunyi, ”Kami dilahirkan sebagai anak dari umat manusia yang sudah jatuh; dalam air baptisan kami dilahirkan kembali sebagai anak Allah dan pewaris hidup kekal.” Beberapa orang membaptis anak-anak yang tidak ada harapan untuk hidup, sambil percaya bahwa tindakan ini memberi jaminan keselamatan kekal.

Akan tetapi, meskipun anak kecil itu menjadi anak Tuhan melalui baptisan, kelompok PAEDOBAPTIS (yang pro/melakukan praktik Baptisan Anak Kecil) mempunyai masalah. Beberapa anak ini ketika dewasa tidak memeluk iman Kristen, tetapi menjadi berandal. Untuk menghadapi dilema ini, upacara“masuk sidi“ ditetapkan supaya seorang anak dapat meneguhkan keputusan yang telah dibuat oleh orang tuanya. Paul K. Jewett menjelaskan bahwa perlunya praktik ini hanya dapat berarti salah satu dari dua hal: mujizat lahir baru yang dikerjakan lewat baptisan anak kecil itu DIBATALKAN ketika anak itu Dewasa/Akil Balik, atau Upacara “masuk sidi“ itu adalah Pengakuan secara diam-diam bahwa anak itu sebenarnya TIDAK PERNAH DILAHIRBARUKAN.

Para Reformator: Calvin
Dan Bagaimana dengan John Calvin? Seperti Zwingli, ia menemukan hubungan analogis antara tanda sunat dari Perjanjian Lama dan Tanda Baptisan dari Perjanjian Baru. Upacara penyunatan membuktikan bahwa berkat Allah diberikan kepada anak-anak seperti juga kepada orang-tuanya. Karena perjanjian itu tidak berubah, mengapa anak-anak harus dilarang mendapat berkat ini? Calvin mengakui bahwa Alkitab tidak pernah mencatat pembaptisan seorang anak kecil, tetapi ini, kata Calvin, sebenarnya tidak berbeda dari fakta bahwa Alkitab tidak mencatat bahwa ada wanita yang menerima Perjamuan Tuhan. Ia mencela pendapat bahwa gereja mula-mula tidak membaptis anak-anak kecil. Ia tidak dapat berpikir tentang ”satu pun penulis, betapapun kunonya, yang tidak menganggap asal-usul upacara pembaptisan anak kecil di dalam Zaman para rasul sebagai suatu kepastian.”

Seperti Luther, Calvin bergumul dengan masalah bagaimana baptisan dapat berguna bagi seorang anak kecil yang tak dapat percaya. Ia mengatakan bahwa mungkin Allah sebelumnya telah melahirbarukan anak-anak kecil yang akan diselamatkan. Para kritikus mengatakan, jika hal ini benar, maka anak-anak tak akan dilahirkan “di dalam Adam“ melainkan “di dalam Kristus.“ Kesimpulan ini tidak diterima secara luas.

Calvin mempunyai pendapat yang lebih masuk akal. Baptisan tidak mengakibatkan kelahiran kembali anak-anak kecil tetapi hanya berarti bahwa “benih-benih pertobatan terdapat di dalam anak-anak melalui pekerjaan yang rahasia dari Roh Kudus.“ Mereka dibaptis dalam iman dan pertobatan yang akan datang. Ini tidak berarti bahwa anak-anak yang tidak dibaptis harus diserahkan untuk kematian kekal jika mereka mati pada masa anak-anak. Baptisan tidak mengakibatkan kelahiran baru, tapi hanya berarti bahwa “benih-benih pertobatan“ itu ada.
Calvin juga memiliki argumen bagi mereka yang mengatakan jika anak-anak kecil dibaptis mereka juga harus diberikan Perjamuan Kudus. Ia mengatakan bahwa air, tanda kelahiran baru, adalah pantas untuk anak-anak kecil, tetapi substansi yang padat tidak. Juga, penyelidikan diri khususnya dituntut untuk Perjamuan Kudus tetapi tidak untuk baptisan.

MENELITI LEBIH SEKSAMA
Pada permulaan pasal ini, telah disebut sebuah buku yang ditulis oleh Geoffrey Bromiley, Children of Promise, sebagai pembelaan tentang pembaptisan anak kecil. Buku itu berkisar pada dasar pemikiran yang diajukan oleh Calvin, bahwa pembaptisan anak kecil adalah tanda dari Perjanjian Baru sama seperti sunat adalah tanda dari Perjanjian Lama. Paulus menulis:
Dalam Dia kamu telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia, tetapi dengan sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu kepada kerja kuasa Allah, yang telah membangkitkan Dia dari orang mati. (Kolose 2:11-12)

Bromiley menulis bahwa baptisan bukan tanda bagi mereka yang hadir pada upacara itu, tetapi menjadi tanda bagi nama dan perbuatan Allah yang mengangkat kita dalam iman. Tanda itu menyatakan ”bukan apa yang saya lakukan, tetapi apa yang telah Allah lakukan.” Ini menjelaskan mengapa baptisan dapat diberikan kepada orang yang belum percaya. Ini bukan tanda dari iman mereka tetapi tanda tentang apa yang telah Allah lakukan (atau akan lakukan bagi orang yang dibaptis).

Bromiley memandang baptisan sebagai tanda bahwa Allah telah memilih anak kecil itu, sebuah pandangan yang disebut ”Pemilihan Berdasarkan Dugaan” oleh orang-orang dari gereja Calvinis di Swiss yang menganutnya. Akan tetapi, masalahnya adalah beberapa orang yang diduga telah terpilih, tidak percaya ketika mereka sudah cukup umur. Banyak yang mati sebagai orang-orang murtad. Para kritikus dengan cepat menunjukkan bahwa ”Pemilihan Berdasarkan Dugaan” itu benar-benar merupakan dugaan belaka! Tidakkah terlalu gegabah untuk memberikan tanda pemilihan sebelum kita mengetahui apakah anak itu dipilih? Mengapa tidak menanti sampai anak itu sudah cukup usia untuk membuktikan pemilihannya melalui iman dan perbuatan-perbuatan baik?

Bromiley menjawab keberatan ini dalam dua cara: (1) Meskipun segenap bangsa Israel diplih oleh Allah, tidak tiap-tiap orang Israel diselamatkan. Dengan kata lain, semua pria disunat, tetapi tidak semuanya diselamatkan. Demikian juga, semua anak dapat dibaptis meskipun tidak semuanya akan diselamatkan. (2) Bahkan mereka yang mempraktikkan pembaptisan orang percaya menghadapi risiko membaptiskan orang yang kemudian menjadi murtad. Karena itu tanda air tak pernah secara langsung dapat disamakan dengan pemilihan untuk hidup kekal.

Keuntungan-keuntungan apakah yang diterima oleh anak-anak melalui baptisan jika keselamatan mereka tidak dijamin olehnya? Bromiley mengakui bahwa anak-anak itu tidak diselamatkan oleh baptisan dan juga baptisan bukan jaminan bahwa mereka akan diselamatkan. Mereka berada di bawah janji ilahi dan ikut serta dalam pemilihan secara kelompok. Mereka bertumbuh dibawah ”suasana panggilan ilahi.” Baptisan adalah tanda lahiriah, dari kasih karunia yang akan diterima seorang anak jika ia percaya ketika ia cukup umur.

Tetapi masih ada lagi. Kendati Bromiley mengatakan bahwa pembaptisan anak kecil tidak mengakibatkan pembaharuan (di sini ia sepakat dengan Calvin menentang Luther), menjelang akhir bukunya ia mengatakan ada hubungan antara pembaptisan anak kecil dan keselamatan anak kecil. Karena semua anak dilahirkan dibawah hukuman dosa Adam, Allah harus membuat persediaan yang khusus bagi mereka jika mereka akan diselamatkan. Apa yang ingin dianjurkan oleh Bromiley ialah bahwa baptisan adalah sarana yang olehnya anak-anak orang percaya ”memasuki pendamaian yang dikerjakan Anak Allah menurut penilaian Bapa.” Ia juga sependapat dengan Luther bahwa karena iman meskipun ”biasanya ia tidak menyadarinya.”

Bagaimana mengenai anak-anak yang tidak dibaptis? Bromiley tidak berteori, tetapi berharap bahwa mereka juga akan diselamatkan. Tetapi di sini, pembaca buku Bromiley mencapai jalan buntu. Apabila semua yang meninggal dunia sebagai bayi diselamatkan, maka baptisan sama sekali bukan sarana keselamatan. Di pihak lain, jika anak-anak kecil yang sudah dibaptis saja yang selamat pada saat kematian, maka, bertentangan dengan pernyataan yang dibuat Bromiley dalam pasal-pasal pertama dari bukunya, baptisan adalah sarana kelahiran kembali. Masalahnya belum dipecahkan: apakah melalui baptisan anak-anak kecil dilahirkan kembali atau tidak?

Bagaimanakah pendapat kita mengenai penjelasan ini? Pertama-tama, orang yang mengajarkan pembaptisan orang percaya dengan cepat menunjukkan bahwa perbandingan Bromiley antara sunat dan baptisan kurang baik karena Perjanjian yang Baru berbeda sekali dengan perjanjian yang lama. Memang benar bahwa sunat secara rutin dijalankan dalam Perjanjian Lama, baik yang beriman atau tidak. Sunat merupakan tanda dari berkat-berkat perjanjian yang hanya dapat diterima sepenuhnya oleh seorang anak apabila ia memiliki iman pribadi setelah ia cukup umur.

Dibawah perjanjian yang baru, baptisan memainkan peranan yang berbeda. Hanya benih Abraham yang rohani yang menerima tanda baptisan. Artinya, tanda itu dibatasi bagi mereka yang memiliki iman yang menyelamatkan. Seorang anak kecil belum menjadi anggota dari kelompok rohani yang sisa ini. Baptisan adalah tanda, bukan dari iman yang akan datang, tetapi dari iman yang sudah ada. Para reformator sendiri mengetahui hal ini; itulah sebabnya mereka berpendapat bahwa anak-anak kecil dapat percaya, atau berpegang pada pandangan yang sama-sama tidak masuk akal bahwa orang tua atau wali dapat percaya ganti mereka.

Sunat adalah tanda dari berkat duniawi yang bersifat sementara yang diberikan Allah kepada keturunan Abraham. Tanda ini juga menunjuk kepada keuntungan-keuntungan rohani yang pokok bagi mereka yang mau percaya. Sebagai perbandingan, di dalam gereja, daftar silsilah seorang tidak menjamin berkat yang khusus. Itulah sebabnya baptisan dibatasi bagi mereka yang percaya dan oleh karena itu menjadi pewaris hidup kekal.

Kedua, ketika Bromiley mengatakan bahwa penyelamatan dan pembaptisan anak kecil saling berkaitan, agaknya ia secara diam-diam sependapat dengan Luther bahwa anak-anak dilahirkan kembali melalui baptisan. Inilah sebabnya ia menegaskan bahwa anak-anak dapat percaya. Ini bertentangan dengan pernyataan-pernyataannya yang sebelumnya bahwa baptisan tidak menyebabkan seorang anak kecil dilahirkan kembali. Pada satu pihak, ia mengemukakan bahwa baptisan hanyalah suatu tanda dari keselamatan yang akan datang. Pada pihak lain, ia ingin menegaskan bahwa baptisan mengajarkan kelahiran kembali karena anak-anak kecil memiliki iman.

Karl Barth mengatakan, ”Fakta itu tak dapat dielakkan; dalam setiap usaha untuk memikirkan dalam-dalam hubungan antara baptisan dan iman untuk doktrin tertentu mengenai pembaptisan anak kecil, maka kita akan memasuki jalan buntu yang paling menyedihkan, karena dalam pertanyaan ini, satu ketidakjelasan dan kebingungan menimbulkan ketidakjelasan yang lain; satu mengikuti yang lain dan itu terjadi karena memang perlu.”16 (Bagaikan TAMBAL SULAM-dede)

Pertentangan di Inggris
Pengkhotbah terkenal Charles Haddon Spurgeon memulai suatu badai kontroversi ketika pada 5 Juni 1864, ia menyampaikan khotbah yang menentang pembaptisan anak kecil dari Markus 16:15-16. karena ia dengan begitu terus terang mengkritik Gereja Inggris, ia menyangka bahwa ini akan menghancurkan pelayanan khotbah tertulisnya. Justru sebaliknya yang terjadi. Ia menjual lebih dari seperempat juta kopi dari khotbahnya.

Spurgeon mengutip dari Katekismus Gereja Inggris, untuk membuktikan ajaran gereja itu bahwa melalui pembaptisan anak kecil maka anak itu menjadi anggota Kristus, anak Tuhan, dan pewaris kerajaan Sorga. Ia mengutip dari liturgi upacara itu sendiri untuk membuktikan lebih lanjut bahwa gereja benar-benar mengajarkan anak-anak dilahirkan kembali melalui baptisan.

Spurgeon menjelaskan bahwa TAK ADA UPACARA LAHIRIAH YANG DAPAT MENYELAMATKAN SESEORANG. Ini dengan mudah dapat dibuktikan oleh fakta-fakta; beribu-ribu orang yang dibaptis sebagai anak kecil sedang menjalani hidup yang asusila dan fasik, yang membuktikan bahwa mereka tak pernah menjadi anak Tuhan. Alkitab juga TIDAK MENGAJARKAN BAHWA SESEORANG DAPAT BERIMAN GANTI ORANG LAIN; orang-tua tak dapat percaya ganti anak-anaknya. Lebih runyam lagi, bahkan orang tua itu sendiri belum dilahirkan kembali. Jadi Spurgeon menulis, ”orang-orang berdosa yang belum lahir baru berjanji untuk seorang bayi yang malang bahwa ia akan memelihara semua perintah kudus Allah, yang mereka sendiri langgar secara ceroboh setiap hari! Berapa lamakah Allah yang panjang sabar akan membiarkan hal ini terus?”17
Supaya jangan ada orang yang mengatakan bahwa penyalahgunaan praktik itu tidak merupakan alasan untuk menentangnya, Spurgeon akan berkata bahwa praktik itu sendiri adalah suatu penyalahgunaan. Itu menempatkan keselamatan pada dasar yang salah, ”karena dari semua dusta yang telah mnyeret berjuta-juta orang ke Neraka, saya memandang ini sebagai yang PALING KEJAM—bahwa dalam gereja ada orang-orang yang bersumpah bahwa baptisan menyelamatkan jiwa.”18 Ia mendorong mereka yang mungkin menyandarkan keselamatan mereka pada upacara ini supaya ”melemparkan iman yang beracun ini ke dalam api seperti yang diperbuat Paulus dengan ular yang memagut tangannya.”

Para kritikus menanggapi dengan mengingatkan Spurgeon bahwa anak-anak kecil dibawa kepada Kristus supaya Ia memberkati mereka. Maka Spurgeon menyampaikan suatu khotbah yang lain untuk membuktikan adanya perbedaan besar antara membawa anak-anak kepada Kristus dan membawa mereka ke tempat baptisan. ”Usahakanlah untuk membaca Firman itu (tentang pemberkatan anak-anak) sebagaimana itu ditulis, dan Anda takkan menemukan air di dalam ayat-ayat itu, tetapi hanya Yesus. Apakah air dan Kristus itu hal yang sama? Tidak, di sini terdapat perbedaan yang luas, seluas jarak antara Roma dan Yerusalem.... antara DOKTRIN PALSU dan INJIL Tuhan Kita Yesus Kristus.”19

Sejauh yang diketahuinya, Spurgeon percaya bahwa semua anak kecil yang mati akan masuk Sorga. Tetapi hal ini terjadi, bukan karena mereka dilahirkan tanpa salah atau karena baptisan telah menghapus dosa mereka, tetapi karena Allah dengan penuh rakhmat telah menanggungkan dosa mereka kepada Kristus. Bagaimanapun juga, keselamatan semua anak berada dalam tangan Allah, bukan dalam tangan manusia yang menjalankan upacara gereja

Apakah Baptisan Menyelamatkan orang?
Apakah Alkitab mengharuskan orang dibaptis untuk menerima keselamatan? Ada yang mengatakan bahwa orang dewasa yang telah percaya belum diselamatkan sampai mereka juga dibaptis. Ada suatu aliran yang mengajarkan bahwa Allah bekerja melalui upacara ini untuk menyalurkan keselamatan dan kasih karunia-Nya. Tiga ayat Alkitab yang utama digunakan untuk mengajarkan doktrin ini. Yang pertama adalah perkataan Kristus kepada Nikodemus, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika seorang tidak dilahirkan dari air dan Roh, ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah” (Yoh 3:5).

Apakah maksud Kristus? Satu kaidah penafsiran yang pokok ialah supaya kita menempatkan diri kita di tempat orang yang kepadanya perkataan ini ditujukan, dalam hal ini Nikodemus. Apakah ia akan menafsirkan kata air sebagai rujukan kepada baptisan? Dengan latar belakang Yahudinya, rasanya tak mungkin ia melakukan hal itu. Sebagai seorang ahli Perjanjian Lama, ia akan berpikir tentang Yehezkiel 36:25, ”Aku akan mencurahkan kepadamu air jernih, yang akan mentahirkan kamu; dari segala kenajisanmu dan dari semua berhala-berhalamu Aku akan mentahirkan kamu.” Di ayat ini air mengacu kepada Roh Kudus sebagai sarana penyucian, seperti yang ditunjukkan oleh ayat berikutnya, ”Kamu akan Kuberikan hati yang baru, dan roh yang baru di dalam batinmu.”

Para ahli bahasa Yunani mengemukakan bahwa Kristus mungkin sedang menggunakan permainan kata. Kata Yunani pneuma (diterjemahkan ”roh”) sebenarnya adalah kata untuk ”angin”, bergantung konteksnya. Jadi, mungkin yang dikatakan Kristus adalah, ”Jika seorang tidak dilahirkan dari air dan angin, ia tidak dapat masuk ke dalam kerajaan Allah.” Beberapa ayat kemudian, dengan menggunakan kata yang sama Kristus berkata, ”angin bertiup ke mana ia mau.” Kedua kekuatan alam yaitu air dan angin adalah lambang Roh Kudus.

Bagaimanapun juga, sering kali air menggambarkan pekerjaan Roh Kudus (seperti dalam ayat di atas). Sangat tidak masuk akal bahwa Kristus akan menambahkan persyaratan baptisan sebagai jalan masuk ke dalam kerajaan Sorga ketika berbicara dengan Nikodemus, tetapi tidak menyebutkannya dalam bagian lain. Jika baptisan diperlukan untuk keselamatan, seharusnya ini dinyatakan dengan jelas di bagian lain. Tetapi berkali-kali, hanya iman yang disebutkan sebagai satu-satunya syarat. Bahkan, dalam pasal yang sama, percaya disebutkan sebagai satu-satunya dasar keselamatan.

Bagian Alkitab berikutnya adalah Kisah Para Rasul 2:38, ketika Petrus berbicara pada hari Pentakosta, ”Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu, maka kamu akan menerima karunia Roh Kudus.”

Penyebutan pertobatan dan baptisan sekaligus tidaklah berarti bahwa kedua-duanya dibutuhkan untuk mendapat pengampunan dosa. Saya dapat mengatakan,”Ambillah kuncimu dan jasmu dan hidupkan mesin mobil.” itu tidaklah berarti bahwa mengambil jas seorang diperlukan untuk menghidupkan mesin mobil meskipun disebut bersama-sama dengan mengambil kunci. Pertobatan, bukan baptisan, yang perlu untuk pengampunan dosa.

Tata bahasa Yunani menguatkan penafsiran ini. Frase ”dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu” sebenarnya ditulis dalam tanda kurung. Perintah untuk bertobat adalah jamak, ”bertobatlah kamu,” dan demikian juga kalimat ”untuk pengampunan dosamu (jamak).” Ini berarti bahwa perintah untuk bertobat menurut tata bahasa sesuai dengan pengampunan dosa. Perintah untuk dibaptiskan adalah tunggal, ”hendaklah kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis,” yang memisahkannya dari kalimat lainnya. ”Bertobatlah...untuk pengampunan dosamu” adalah pokok utamanya. Perhatikan bahwa dalam Kisah Para Rasul 10:43, Petrus menyebutkan iman sebagai satu-satunya persyaratan untuk menerima pengampunan dosa.

Bagian ketiga terdapat dalam I Petrus 3:21 dimana Petrus menuliskan, ”Juga kamu sekarang diselamatkan oleh kiasannya, yaitu baptisan.” Tetapi frase ini harus ditafsirkan dengan mengingat konteksnya. Dikatakan bahwa, baptisan menyelamatkan kita, seperti air menyelamatkan Nuh. Bagaimanakah caranya air menyelamatkan Nuh? Air sama sekali tidak menyelamatkannya; air adalah alat hukuman. Sebenarnya behteralah yang menyelamatkan dia dengan membawanya mengarungi air. Nuh membangun dan memasuki bahtera itu dengan iman.

Selanjutnya Petrus menjelaskan bahwa air juga tidak menyelamatkan kita. Baptisan menyelamatkan, ia mengatakan, tetapi bukan tindakan pembasuhan jasmaniah yang mengerjakannya, ”bukan untuk membersihkan kenajisan jasmani, melainkan untuk memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah -- oleh kebangkitan Yesus Kristus.” Air tidak menyelamatkan Nuh, dan air baptisan juga tidak menyelamatkan kita. Apakah yang menyelamatkan? Permohonan hati nurani yang baik kepada Allah. Kata permohonan dapat diterjemahkan ”jawaban.” Orang-orang pada waktu itu dituntut untuk membuat pernyataan iman sebelum baptisan. Iman yang mereka ungkapkan itulah yang menyelamatkan.

Tetapi tunggu dulu. Kita tahu bahwa Allah menganugerahkan keselamatan kepada orang-orang yang percaya. Bagaimanakah pernyataan iman yang diberikan pada saat baptisan dapat menyelamatkan orang? Bukankah kesaksian seperti itu adalah akibat dari iman yang menyelamatkan dan bukannya tindakan dari iman yang menyelamatkan? Meneliti ayat ini dengan lebih seksama akan mengemukakan bahwa yang dipikirkan Petrus adalah kesediaan untuk mengakui Kristus di dalam baptisan itulah yang menyelamatkan seorang dari hati nurani yang bersalah. Perhatikan nasihatnya yang terdahulu, ”dengan hati nurani yang murni” (ayat 16). Konteksnya adalah bersedia untuk menderita karena Kristus, tanpa menghiraukan harganya. Baptisan meneguhkan di depan umum bahwa kita telah bersatu dengan Kristus; itu menyelamatkan seseorang dari pencobaan untuk berdiam diri tentang imannya. Petrus mengatakan bahwa itu adalah, ”memohonkan hati nurani yang baik kepada Allah.”

Kita merangkum persamaannya, air tidak menyelamatkan Nuh, tetapi ia dibawa dengan selamat melaluinya karena imannya kepada Allah. Demikian pula, air tidak menyelamatkan orang yang dibaptis; tetapi ia juga dibawa dengan selamat melaluinya—itulah kiasan tentang kematian dan penghukuman. Ia diselamkan ke dalamnya dan kemudian dikeluarkan lagi untuk melambangkan kematian terhadap kehidupannya yang lama dan kebangkitan kepada hidup yang baru. Meskipun penganiayaan dapat datang, ia mempunyai hati nurani yang baik di hadapan Allah.

Jika seseorang berpikir bahwa baptisan dibutuhkan untuk keselamatan dari dosa, biarlah ia merenungkan perkataan Paulus kepada jemaat di Korintus. Dalam ayat itu Paulus menyebutkan semua orang yang seingatnya telah dibaptiskannya—hanya Krispus dan gayus dan keluarga Stefanus, kemudian ia menambahkan, ”Sebab Kristus mengutus aku bukan untuk membaptis, tetapi untuk memberitakan Injil” (I Kor 1:17). Jika baptisan dibutuhkan untuk keselamatan, Paulus tentu sudah memastikan bahwa semua orang yang percaya dibaptis. Akan tetapi ia membedakan Injil daripada tindakan baptisan.

Jika baptisan diperlukan untuk keselamatan, penyamun disalib tak dapat diselamatkan, karen aia tidak dibaptis setelah ia percaya kepada Kristus. Namun ia memiliki jaminan dari Tuhan sendiri, ”Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Lukas 23:43).

Peraturan-peraturan dalam Perjanjian Baru seumpama cincin kawin. Orang dapat saja menikah tanpa memiliki cincin kawin; demikian juga, orang bisa memakai cincin kawin tanpa menikah. Meskipun baptisan mendapatkan prioritas tinggi di dalam Perjanjian Baru, upacara itu tidak pernah dianggap sebagai sarana keselamatan.

Cara Baptisan?
Apakah yang harus menjadi cara baptisan? Tak perlu diragukan bahwa Perjanjian Baru agaknya mengajarkan bahwa orang-orang percaya benar-benar dibenamkan, yakni dimasukkan ke dalam air dan dikeluarkan lagi. Apakah itu Yohanes Pembaptis yang membaptis di Sungai Yordan, ataupun Filipus yang membaptis sida-sida Ethiopia, teks Alkitab memberitahu kita bahwa mereka turun ke dalam air dan kemudian kelaur dari air. Cara inilah yang paling baik melukiskan penjelasan Paulus tentang baptisan Roh sebagai kematian, penguburan, dan kebangkitan (Roma 6:1-4).

(Sida-sida Ethiopia dalam Kisah Para Rasul 8:35-39,
8:35 Maka mulailah Filipus berbicara dan bertolak dari nas itu ia memberitakan Injil Yesus kepadanya.
8:36 Mereka melanjutkan perjalanan mereka, dan tiba di suatu tempat yang ada air. Lalu kata sida-sida itu: "Lihat, di situ ada air; apakah halangannya, jika aku dibaptis?"
8:37 Sahut Filipus: "Jika tuan percaya dengan segenap hati, boleh." Jawabnya: "Aku percaya, bahwa Yesus Kristus adalah Anak Allah."
8:38 Lalu orang Etiopia itu menyuruh menghentikan kereta itu, dan keduanya turun ke dalam air, baik Filipus maupun sida-sida itu, dan Filipus membaptis dia.
8:39 Dan setelah mereka keluar dari air, Roh Tuhan tiba-tiba melarikan Filipus dan sida-sida itu tidak melihatnya lagi. Ia meneruskan perjalanannya dengan sukacita.

Perhatikan yang diBold/dicetak tebal, ada prinsip: BERITAKAN INJIL, PERCAYA, TEMPAT YG ADA AIR untuk BAPTIS, Cara Baptis: TURUN KE DALAM AIR, KELUAR DARI AIR, Dampak: SUKACITA-- Penekanan Dede)

Di katakombe-katakombe di Roma terdapat gambar-gambar yang memperlihatkan air yang dituangkan ke atas kepala seseorang dalam tindakan baptisan. Seperti yang disebutkan, Diadache, suatu buku pedoman tentang pemerintahan gereja yang diterbitkan pada abad kedua, mengajarkan bahwa jika seseorang tak dapat dibaptis dalam air yang mengalir (seperti sungai), air harus disiramkan ke atas kepalanya. Jelaslah, dibutuhkan air dalam jumlah yang banyak untuk membenamkan seorang dewasa, jadi cara ini tidak selalu dapat dikerjakan dengan mudah. Menuangkan air ke atas kepala kadangkala (mungkin sering kali) diperlukan. Beberapa bagian gereja telah menjalankan pemercikan air ke atas kepala, kemungkinan untuk mengelakkan beberapa hal yang kurang menyenangkan karena menjadi basah dari kepala sampai ke kaki.
Akan tetapi, acara apapun yang disepakati tidaklah sepenting dengan pertanyaan-pertanyaan sebelumnya tentang baptisan anak kecil dan apakah baptisan sebenarnya dapat menjadi sarana penyaluran kasih karunia. Dalam perkara seperti ini kejelasan berita Injil secara langsung dipengaruhi.

Sayangnya, hampir tidak ada harapan bahwa kekristenan akan sependapat mengenai peraturan yang penting ini. Kembali pertanyaan dasarnya adalah apakah keselamatan diperoleh dengan IMAN saja atau apakah sakramen-sakramen adalah bagian dari pengalaman pertobatan.

Sumber: “Bagaimana Tentang Baptisan?” dari buku Teologi Kontemporer (ALL ONE BODY-WHY DON’T WE AGREE?), Erwin W. Lutzer, Gandum Mas, cetakan ketiga, 2005. Halaman 99-122.

Catatan Kaki:
  1. Paul K. Jewett, Infant Baptist and the Covenant of Grace (Grand Rapids, Eerdmans, 1978), 40
  2. ibid, 20
  3. ibid, 17-18
  4. ibid, 42
  5. ibid, 111
  6. Leonard verdium, The Reformers and Their Stepchildren (Grand Rapids, Eerdmans, 1964), 198
  7. ibid, 199
  8. Roland H, Bainton, The Reformation of the Sixteenth century (Boston: Beacon Press, 1952), 97.
  9. Ibid.
  10. Verdium, 199
  11. ibid, 201
  12. ibid
  13. ibid, 204
  14. ibid, 209
  15. ibid, 201
  16. ibid, 185
  17. Charles H. Spurgeon, “Baptismal Regeneration,” in Sermons (New York: Funk and Wagnalls, n.d.), 8:23.
  18. ibid
  19. Spurgeon, “Children Brought to Christ, Not to the Font,” in Sermons, 8:41
Apa kata Harold Lindsell tentang Erwin W. Lutzer dalam prakata bukunya?
Erwin W. Lutzer, pendeta gereja Moody Memorial Church di Chicago, disebut sebagai seorang pembela tradisi Reformasi yang kuat.
Lutzer menjelaskan bahwa kaum Injili (evangelikalisme) adalah rumah tangga yang terpecah-pecah dan banyak orang dalam kelompok ini sama sekali tidak konsekuen karena mereka mempunyai pandangan-pandangan yang TIDAK BENAR jika dipandang secara LOGIS dan ALKITABIAH.

Lutzer menyangkal bahwa baptisan air amat diperlukan untuk KESELAMATAN. Ketika beliau membicarakan Perjamuan Tuhan dan soal yang sulit tentang kehadiran Kristus di dalam unsur-unsur perjamuan itu, beliau mencakup doktrin satu aliran tentang TRANSUBSTANSIASI, pandangan Luther tentang KONSUBSTANSIASI, pandangan CALVIN tentang Kehadiran Rohani, dan pandangan Zwingli tentang Kehadiran Simbolis. Implikasi yang terkandung dalam posisi-posisi ini amatlah penting, pembaca dapat yakin bahwa banyak YANG TIDAK BERSEDIA untuk mengubah pandangan mereka, TAK PEDULI penjelasan-penjelasan apa pun yang dikemukakan. Dalam kesemuanya ini, dibalik karya Lutzer ini terdapat maksud yang tak diutarakan namun sangat nyata bahwa fungsi terpenting dari pikiran orang-orang yang menyebut dirinya kristen adalah untuk berpikir secara Kristen. Dan ini merupakan hal yang jarang sekali terdapat di antara kaum Injili. Dengan gamblang beliau mengatakan bahwa KITA HARUS ALKITABIAH, dan UNTUK MENJADI ALKITABIAH, KITA HARUS BERPIKIR SECARA KRISTEN.

Lutzer adalah seorang pendeta yang sabar dan meyakinkan dan tak pernah mengata-ngatai atau menyalahkan mereka yang mempunyai segi pendapat yang berbeda. Memang Lutzer bersikeras bahwa BEBERAPA AJARAN TIDAK ALKITABIAH, namun ia menyatakan perhatian yang penuh kasih terhadap mereka yang menganut ajaran yang ia anggap TIDAK ALKITABIAH. Sebaiknya Anda berusaha untuk membeli buku ini!
---------------------------------------------

Erwin W. Lutzer menyarankan Baca juga buku Paul K Jewett, Infant Baptism and the Covenant of Grace, Grand Rapids: Eerdmans, 1977. Karya ini memuat sejarah yang rinci tentang doktrin baptisan anak kecil dan menyimpulkan bahwa BAPTISAN ANAK KECIL, BERTENTANGAN dengan ajaran Perjanjian Baru. Buku ini sangat ilmiah. Buku ini menarik karena ditulis oleh seorang teolog perjanjian (Covenant Teolog), yang dididik untuk menerima Baptisan Anak Kecil. Ini merupakan bacaan yang perlu dibaca oleh barangsiapa yang menaruh minat pada doktrin yang kontroversial ini.

Baptisan Anak tidak dibenarkan karena syarat orang dibaptis adalah percaya dengan segenap hati, dan tidak boleh diwakilkan. Tertullian, Bapak Gereja Abad II adalah orang pertama yang menentang Praktek Baptisan Bayi. Namun ia tidak sanggup membendung arus yang begitu deras seorang diri. Praktek ini semakin berkembang. Penyebab lain baptisan bayi ialah penyimpangan doktrin tentang GEREJA LOKAL. Gereja waktu itu mentolerir ide penyatuan gereja dan negara. Konsep negera Kristen melahirkan konsep masyarakat suci. Setiap warga negara adalah warga gereja dan sebaliknya. Penyatuan gereja dan negara mensyaratkan setiap bayi yang lahir segera dibaptis untuk memasuki masyakarat suci (Sacral Society) agar mendapat kepastian keselamatan. Karena ada kebutuhan membaptis bayi maka cara yg lebih aman adalah cara memercik atau meneteskan air ke atas kepala sang bayi. Ini disebut Rantisan (Rantiso) dan bukan baptisan (Baptiso=BAPTISM)

KESIMPULAN:
1 Alkitab dengan gamblang menyatakan bahwa BAPTISAN diberikan kepada mereka yang menanggapi/PERCAYA berita INJIL dan TIDAK BOLEH DIWAKILKAN.
2. Dalam PB, Baptisan segera menyusul setelah IMAN PRIBADI kepada Kristus digunakan. Dalam gereja mula-mula, TAK SATUPUN orang percaya yang tidak dibaptis. Semua orang Percaya DIBAPTIS sebagai suatu kesaksian terhadap iman mereka.
3. Karl Barth menyimpulkan dengan benar bahwa Pembaptisan Anak Kecil/bayi bagaikan Tambal Sulam yang tidak ada habis-habisnya.
4. Upacara“masuk sidi“ ditetapkan supaya seorang anak dapat meneguhkan keputusan yang telah dibuat oleh orang tuanya. Paul K. Jewett menjelaskan bahwa perlunya praktik ini hanya dapat berarti salah satu dari dua hal: mujizat lahir baru yang dikerjakan lewat baptisan anak kecil itu DIBATALKAN ketika anak itu Dewasa/Akil Balik, atau Upacara “masuk sidi“ itu adalah Pengakuan secara diam-diam bahwa anak itu sebenarnya TIDAK PERNAH DILAHIRBARUKAN.
5. Perbandingan Tanda SUNAT dan Tanda BAPTISAN, TIDAK TEPAT
6. Mengubah Tradisi yang tidak sesuai atau bertentangan dengan Kebenaran dan Ajaran Alkitab adalah PERLU dan HARUS dilakukan.
7. Baptisan bukan syarat memperoleh Keselamatan, HANYA IMAN SAJA.
8. Baptisan Bayi/Anak Kecil TIDAK ALKITABIAH dan Sungguh Menyesatkan.
9. Kesalahan Doktrin Gereja Universal waktu itu menjadi penyebab bersatunya gereja dan negara sehingga memunculkan Baptisan Anak Kecil.
10. Kaum Anabaptis, Charles Haddon Spurgeon, Karl Barth, John Piper, Paul K Jewett, Erwin W. Lutzer MENYATAKAN BAPTISAN ANAK/BAYI BERTENTANGAN DENGAN AJARAN ALKITAB.
11. Para Reformator (Luther, Zwingli, Calvin) semasa kecil menjalankan praktik BAPTISAN ANAK KECIL/BAYI, hal ini membuat Dilema dalam diri mereka, dan mereka belum pernah dibaptis semasa dewasa. Mereka tidak tegas Menentang Baptisan Bayi/Anak Kecil, bagaikan buah simalakama bagi diri mereka sehingga dalam teori-teori mereka menjadi TIDAK KONSISTEN hubungan Baptisan Anak kecil dan pembenaranm hanya karena IMAN.
12. Mereka yang praktekkan Baptisan Anak Kecil/Bayi tidak punya JAWABAN yang TEPAT dan Meyakinkan mengenai apakah setiap/semua BAYI YANG MATI PASTI MASUK SORGA.
13. Dalam cara Baptisan dan hal yang dilambangkan dari Baptisan, Lutzer mengakui TANPA RAGU bahwa cara SELAM (BAPTISO) paling sesuai dengan AJARAN ALKITAB, namun beliau tidak terlalu permasalahkan cara baptisan (dalam bukunya-terlihat singkat sekali pembahasannya).
14. KITA HARUS ALKITABIAH, dan UNTUK MENJADI ALKITABIAH, KITA HARUS BERPIKIR SECARA KRISTEN.

No comments:

Post a Comment