Kisah ini tidak asing bagi kita. Mari kita lihat bagaimana Daud menanggapi dosanya dan penghukuman Tuhan dalam kematian anak yang telah dilahirkan Batsyeba baginya. Ketika bayi itu sakit, Raja Daud berpuasa dan berdoa agar Allah mengizinkan anak itu hidup. Namun setelah anak itu mati, Daud berhenti berpuasa dan berkata, ”Tetapi sekarang ia sudah mati, mengapa aku harus berpuasa? Dapatkah aku mengembalikannya lagi? Aku yang akan pergi kepadanya, tetapi ia tidak akan kembali kepadaku" (2 Samuel 12:23). Dalam adegan yang mengharukan ini, Alkitab memberikan kepastian kepada kita bahwa anak-anak yang mati akan pergi ke surga, kita dapat melihat perbedaan antara jalan pikiran seseorang tentang dosanya dan cara Allah berurusan dengan dosa kita. Raja Daud telah berbuat dosa dalam kelemahannya. Ia sungguh-sungguh bertobat dari dosa-dosanya sebagaimana yang disaksikan oleh kata-kata doa pertobatannya yang dalam dan mengharukan dalam mazmur-mazmurnya. Anak laki-lakinya telah mati sebagaimana telah Tuhan nubuatkan melalui perkataan nabi-Nya, Natan. Daud berhenti berpuasa dan bersiap-siap untuk kembali mengarungi sisa kehidupannya dalam keyakinan bahwa dosanya maupun konsekuensi dari dosanya sudah lenyap selamanya.
Demikianlah jalan pikiran kebanyakan orang Kristen mengenai dosa mereka. Ketika dosa-dosa kita dinyatakan, kita sungguh-sungguh bertobat dan memohon agar Allah mengampuni kita. Tuhan mengampuni dosa kita dan kita percaya, seperti halnya Raja Daud, bahwa segala konsekuensi dari dosa kita sudah dilenyapkan. Kita percaya bahwa semuanya sudah selesai. Akan tetapi, walaupun Tuhan benar-benar mengampuni dosa kita, persoalan ini belum selesai.
Tuhan tidak akan melenyapkan konsekuensi atau akibat-akibat alami dari dosa kita yang tentunya mempengaruhi kehidupan kita maupun orang-orang di sekitar kita. Seringkali, konsekuensi-konsekuensi itu akan menimbulkan masalah-masalah besar di kemudian hari. Raja Daud mengira bahwa dosanya dengan Batsyeba sudah diselesaikan untuk selamanya, namun ternyata ia dikejar oleh akibat-akibat tragis sehingga hampir-hampir kehilangan nyawa dan takhtanya. Pada tahapan kehidupan dimana ia seharusnya menikmati kemenangan –kemenangan dan kehormatannya, konsekuensi dari dosa yang telah dilakukannya bertahun-tahun sebelumnya hampir menghancurkannya. Daud terpaksa melarikan diri dari kota kerajaannya, mendaki bukit Zaitun dalam ketakutan karena pengkhianatan putra dan penasihat terdekatnya. Itu merupakan masa terburuk dalam kehidupannya yang panjang.
Konsekuensi kekal dan sejati dari dosa-dosa kita sering kali dianggap remeh oleh orang-orang Kristen. Adakalanya orang-orang Kristen, bila menghadapi cobaan untuk berbuat dosa, mulai berpikir seperti Raja Daud. Mereka mengira bahwa mereka bisa berbuat dosa, lalu memohon kepada Tuhan untuk mengampuni dosa mereka, dan Allah akan membuat segala sesuatunya sempurna seolah-olah dosa mereka tidak pernah terjadi. Akan tetapi, dosa-dosa kita menimbulkan konsekuensi yang akan terus merusak tubuh, persahabatan-persahabatan keluarga, dan karir kita bertahun-tahun setelah Tuhan mengampuni kita jika kita sungguh bertobat dari pemberontakan kita. Kita perlu menyadari bahwa bila kita memilih untuk berdosa, akibat-akibat dari pilihan kita akan terus memperngaruhi kehidupan kita sepanjang hidup kita. Walaupun Tuhan mengampuni, Ia tidak mengubah hukum sebab dan akibat yang akan membuahkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dapat dielakkan dari dosa-dosa kita.
tulisan yang indah dan penuh hikmah
ReplyDelete