Pages

Monday, April 20, 2009

KEDAULATAN ALLAH DAN KEBEBASAN MANUSIA YANG ALKITABIAH (Bag 5-Ending)

B. Ayat-Ayat Alkitab yang Disalahgunakan Kalvinis

Dalam usaha mereka untuk membuktikan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, Kalvinis mencoba untuk memakai berbagai ayat Alkitab. Kita akan melihat, apakah ayat-ayat yang mereka pakai sungguh mengajarkan premis dasar Kalvinisme.

1. Keluaran 21:13. “Tetapi jika pembunuhan itu tidak disengaja, melainkan tangannya ditentukan Allah melakukan itu, maka Aku akan menunjukkan bagimu suatu tempat, ke mana ia dapat lari.” Dari ayat ini, Kalvinis mengatakan bahwa suatu hal yang tidak disengaja (pembunuhan), ditentukan oleh Allah. Mereka mengambil frase “tangannya ditentukan Allah,” untuk membuktikan bahwa segala tindakan manusia ditentukan oleh Allah.

Jawab: Kesalahan Kalvinis adalah tidak memperhatikan konteks dan juga mengambil kesimpulan yang terlalu cepat. Jika Allah menentukan tangan orang dalam suatu kasus pembunuhan tidak disengaja, apakah berarti Allah menentukan segala sesuatu? Sama sekali tidak. Kalau memperhatikan konteks, justru perikop ini membuktikan sebaliknya! Jika membaca dari ayat 12-13, ada dua jenis pembunuhan yang Tuhan diskusikan. Di ayat 12, Tuhan mengatur tentang pembunuhan yang disengaja: “Siapa yang memukul seseorang, sehingga mati, pastilah ia dihukum mati.” Barulah di ayat 13, ada aturan tentang pembunuhan yang tidak disengaja.

Coba dipikir dengan baik-baik, dan baca ayat 12 dan 13 dalam satu konteks. Orang yang tidak sengaja membunuh sesamanya, artinya tangannya ditentukan Tuhan. Sebagai contoh, dalam Ulangan 19:4-5, seseorang yang sedang menebang pohon dengan kapak, tiba-tiba mata kapak terlepas dan mengenai temannya. Lepasnya mata kapak, trayektori mata kapak, dan hal-hal lain yang mendukung sehingga mata kapak mengenai orang, semua itu ditentukan Allah. Ini tidak ada masalah, karena yang Allah tentukan bukanlah suatu keputusan manusia. Pembaca bisa melihat lagi dalam bagian pembahasan tentang bagaimana Allah mengendalikan sejarah. Undi ada di tangan Tuhan, jatuhnya mata kapak juga di tangan Tuhan! Hal-hal yang tidak sengaja itu ditentukan oleh Tuhan! Amin!

Apakah ini membuktikan Allah menetapkan segala sesuatu? Sama sekali tidak! Ayat 12 dan 13 sedang menjelaskan perbedaan dua kasus. Pembunuh di ayat 12, harus dihukum mati, karena membunuh dengan sengaja. Pembunuh di ayat 13, tidak dihukum mati karena tangannya ditentukan Allah. Kesimpulan apa yang dapat ditarik? Bahwa pembunuh di ayat 12 justru tangannya tidak ditentukan oleh Allah. Jadi, Kel. 21:12-13, justru membuktikan bahwa hal-hal yang dilakukan oleh manusia secara sengaja (atas kehendak sendiri), tidak ditentukan oleh Allah. Ayat ini tidak mendukung premis Kalvinis, sebaliknya membuktikan bahwa Allah tidak menentukan hal-hal yang manusia lakukan dengan sengaja!

2. Daniel 11:36 “Raja itu akan berbuat sekehendak hati; ia akan meninggikan dan membesarkan dirinya terhadap setiap allah. Juga terhadap Allah yang mengatasi segala allah ia akan mengucapkan kata-kata yang tak senonoh sama sekali, dan ia akan beruntung sampai akhir murka itu; sebab apa yang telah ditetapkan akan terjadi.” Ada Kalvinis yang ingin memakai ayat ini untuk membuktikan bahwa Allah menetapkan dosa. Raja dalam Daniel 11:36 ini (antikristus), jelas melakukan dosa. Kalvinis lalu mengambilfrase “apa yang telah ditetapkan akanterjadi,” untuk membuktikan bahwa dosa itu telah Allah tetapkan.

Jawab: Kalvinis melihat ayat ini dari kacamata bias doktrinnya sendiri. Padahal, jika dibaca secara normal, justru ayat ini mengajarkan bahwa perbuatan si raja jahat ini tidak ditentukan. Bagian awal ayat ini berkata, “raja itu akan berbuat sekehendak hati.” Apakah ini kurang jelas? Perbuatannya berasal dari kehendak dia sendiri, bukan ditentukan oleh Tuhan. Lalu apakah yang telah ditetapkan itu? Walaupun kehendak jahat raja itu berasal dari dirinya sendiri, dia tentu tidak akan berhasil kalau Allah tidak mengizinkan. Allah menetapkan bahwa kehendak jahat raja ini bisa dia laksanakan, salah satu caranya adalah dengan memberikan hidup yang cukup panjang kepada dia. Itulah sebabnya dikatakan bahwa “ia akan beruntung sampai akhir murka itu.” Tetapi, sampai titik tertentu, Allah tidak lagi mengizinkan maksud jahatnya untuk berhasil, dan saat itulah dia akan mati. Jadi, Allah sama sekali tidak menetapkan kejahatan yang ia perbuat. Allah mengontrol, sampai seberapa jauh kejahatannya dapat berlangsung.

3. Kisah Para Rasul 4:27-28 “Sebab sesungguhnya telah berkumpul di dalam kota ini Herodes dan Pontius Pilatus beserta bangsa-bangsa dansuku-suku bangsa Israelmelawan Yesus, Hamba-Mu yang kudus, yang Engkau urapi, untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula oleh kuasa dan kehendak-Mu.” Ini adalah perwakilan dari beberapa ayat lain, tentang kematian dan penyaliban Yesus, yang Kalvinis pakai. Argumen mereka cukup jelas, yaitu bahwa penyaliban Yesus telah Allah tentukan. Ini, bagi Kalvinis, membuktikan bahwa Allah menetapkan terjadinya dosa.

Jawab: Sekali lagi, Kalvinis membaca ayat ini dengan presuposisi doktrin mereka. Oleh karena itu mereka mendapatkan Allah menetapkan dosa disini. Padahal Allah yang mahakudus benci kepada dosa, masakan merencanakan dan mengharuskan dosa? Kalau ayat ini dibaca dengan netral, sama sekali tidak mengajarkan Kalvinisme. Ayat ini berbunyi: “telah berkumpul....bangsa-bangsa..... untuk melaksanakan segala sesuatu yang telah Engkau tentukan dari semula.” Ayat ini TIDAK berbunyi: “Engkau menentukan mereka untuk menyalibkan Yesus (melakukan dosa).” Ada perbedaan antara dua kalimat tersebut.

Kehendak untuk menyalibkan Yesus berasal dari manusia itu sendiri, tidak pernah ditetapkan oleh Allah. Mereka punya pilihan untuk menerima Yesus, tetapi mereka memilih untuk menyalibkanNya. Allah yang mahatahu, memasukkan kehendak manusia-manusia jahat ini dalam rencana penyelamatanNya, sehingga Ia menentukan bahwa Yesus memang akan mereka salibkan. Jadi, Allah tidak menetapkan mereka harus menyalibkan Yesus. Allah tahu mereka mau menyalibkanNya (darikehendak mereka sendiri), dan Allah memutuskan, dalam kuasa dan kehendakNya, agar kemauan mereka tercapai, dan Yesus disalibkan.

Sebuah ilustrasi dapat membantu memberikan contoh dalam kehidupan nyata. Kepolisian Jakarta telah lama berusaha membongkar jaringan perampok toko emas. Suatu ketika, mereka mendapatkan info akurat (foreknowledge), bahwa para perampok akan beraksi di toko tertentu. Karena ingin menangkap para penjahat secara basah, para polisi memutuskan untuk tidak menghalangi niat para perampok, melainkan memasang jebakan. Akhirnya para perampok beraksi, dan di tengah perampokan mereka, mereka ditangkap oleh polisi. Tindakan perampokan itu berasal dari kehendak para perampok, sama sekali tidak ditentukan atau ditetapkan oleh para polisi. Para polisi pun punya kemampuan untuk membatalkan perampokan, misalnya dengan menempatkan banyak penjaga ekstra ditoko itu. Namun, untuk tujuan tertentu (menangkap basah para perampok), para polisi sengaja membiarkan para perampok untuk melakukan kejahatan mereka. Bisa dikatakan, bahwa tindakan para perampok persis sesuai dengan rencana para polisi, dan bahwa para perampok melakukan apa yang polisi rancangkan/tetapkan. Tetapi, jelas bukan polisi yang menetapkan mereka untuk merampok. Demikianlah, Allah mempergunakan kejahatan manusia, untuk tujuanNya sendiri. Pembaca silakan melihat lagi bagian pembahasan bagaimana Allah mengendalikan sejarah tanpa menentukan tindakan manusia.

4. Matius 10:29-30 “Bukankah burung pipit dijual dua ekor seduit? Namun seekorpun dari padanya tidak akan jatuh ke bumi di luar kehendak Bapamu. Dan kamu, rambut kepalamupun terhitung semuanya.” Menurut Kalvinis, ayat ini mendukung konsep bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Jawab: Dalam pembahasan sebelumnya, sudah dijelaskan, bahwa non-Kalvinis percaya Allah menentukan banyak sekali hal. Tetapi ini berbeda dengan menentukan segala hal. Banyak ayat yang Kalvinis kutip hanya menyatakan bahwa Allah menetapkan hal ini dan hal itu, tetapi tidak ada satupun yang menyatakan bahwa Allah menetapkan segala sesuatu.

Bahwa jumlah rambut di kepala kita diketahui oleh Tuhan, sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah menetapkan segala tindakan kita. Diperlukan lompatan logika yang luar biasa untuk bisa menyimpulkan hal seperti itu dari ayat ini. Hidup matinya pipit berada di tangan Tuhan. Saya sungguh mengaminkan hal ini! Jangankan pipit, hidup matinya manusia pun ada di tangan Tuhan. Tetapi ini sama sekali tidak membuktikan bahwa Allah menentukan segala pikiran, tindakan, dan keputusan manusia.

5. Yeremia 4:28 “Karena hal ini bumi akan berkabung, dan langit di atas akan menjadi gelap, sebab Aku telah mengatakannya, Aku telah merancangnya, Aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu.” Saya akan mengutip argumen Asali dari ayat ini:

Ayat ini baru mengatakan 'Aku telah mengatakannya' dan lalu langsung menyambungnya dengan 'Aku telah merancangnya'. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan mengatakan sesuatu kepada nabi-nabi (yang lalu dinubuatkan oleh para nabi itu), karena Tuhan telah merancang / merencanakannya.42

Jadi, Asali mengatakan bahwa ayat ini membuktikan pengetahuan Tuhan berasal dari penentuanNya. Asali juga menyatakan bahwa jika Tuhan bernubuat tentang sesuatu hal, berarti hal itu sudah Ia tentukan lebih dahulu.

Jawab: Ayat ini sama sekali tidak membuktikan bahwa semua pengetahuan Tuhan berasal dari penentuanNya. Kalau seorang dosen berkata, “Seluruh kelas akan berkabung karena ujian yang akan saya berikan, sebab aku telah mengatakannya, aku telah merancangnya, aku tidak akan menyesalinya dan tidak akan mundur dari pada itu.” Apakah ini membuktikan bahwa semua pengetahuan dosen itu berasal dari penentuannya? Tentu tidak!

Tentu ada banyak hal yang Allah tentukan, dan Allah tahu akan hal-hal itu. Ada banyak nubuat yang memang berasal dari ketentuan Tuhan. Tetapi tidak kurang juga nubuat yang tidak berasal dari ketentuan Tuhan, melainkan Tuhan memberitahu apa yang akan dilakukan oleh manusia. Contohnya, dalam 1 Samuel 23:12, Allah menubuatkan apa yang akan orang-orang Kehila lakukan jika Daud tinggal di Kehila. Pada kenyataannya, Daud tidak tinggal di Kehila, jadi itu bukanlah penentuan Tuhan. Nubuat (pengetahuan) ini bukanlah sesuatu yang Allah tentukan dulu!

6. Efesus 1:11 “Aku katakan "di dalam Kristus", karena di dalam Dialah kami mendapat bagian yang dijanjikan kami yang dari semula ditentukan untuk menerima bagian itu sesuai dengan maksud Allah, yang di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendak-Nya.” Bahwa Allah di dalam segala sesuatu bekerja menurut keputusan kehendakNya, diartikan oleh Kalvinis untuk mendukung premis mereka bahwa Allah menentukan segala sesuatu.

Jawab: Ayat inisama sekalitidak mengatakanbahwa Allahmenentukansegala sesuatu. Jikalau dikatakan bahwa “Allah bekerja di dalam segala sesuatu,” maka non-Kalvinis sama sekali tidak akan protes, karena itulah bunyi ayat ini. Allah memang bekerja dalam segala sesuatu. Segala tindakan dan keputusan manusia, haruslah melalui izin Allah, apakah dapat tercapai atau tidak. Seperti sudah diilustrasikan, seseorang bisa saja berniat untuk membunuh. Maksud pembunuhan tersebut tidak Allah tetapkan melainkan keluar dari hati orang yang jahat itu. Tetapi, Allah bekerja dalam segala sesuatu. Allah bisa menggagalkan niat pembunuhan itu, atau Allah bisa membiarkan niat pembunuhan itu untuk melaksanakan rencanaNya. Allah bekerja dalam segala sesuatu menurut keputusan kehendakNya! Ayat ini sama sekali tidak harus mendukung bahwa Allah telah menetapkan segala sesuatu.

Catatan Kaki

1 John Gill, A Body of Doctrinal and Practical Divinity (Paris: Baptist Standard Bearer, 1987), hal. 174.

2 Budi Asali, dalam “Kedaulatan / penetapan Allah dan Kebebasan / tanggung jawab manusia,” artikel yang didapatkan penulis lewat email.

3 Louis Berkhof, Systematic Theology, hal 100, dikutip oleh Asali.

4 David S. West, dalam “The Baptist Examiner Forum II,” The Baptist Examiner, 18 Maret 1989, hal. 5.

5 Timothy Tow dan Jeffrey Khoo, Theology for Every Christian (Singapura: Far Eastern Bible College, 2007), hal. 42.

6 Philip Melanchton, dikutip oleh Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination (Phillipsburg: Presbyterian and Reformed Publishing Co., 1932), hal. 15.

7 Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, hal. 234.

8 R. C. Sproul, Chosen by God, hal. 26-27.

9 Arthur Pink, The Sovereignty of God, revised ed. (Edinburgh: The Banner of Truth Trust, 1961) hal. 147.

10 Ibid., hal. 249.

11 Edwin H. Palmer, The Five Points of Calvinism, enlarged ed., Grand Rapids: Baker Book House, 1980, hal. 82.

12 Asali, ibid.

13 Adalah kebiasaan Kalvinis, untuk mengelompokkan semua orang yang bertentangan dengan dirinya sebagai “Arminian.” Ini adalah taktik tentunya. Dengan demikian, mereka hanya perlu menjelek-jelekkan segala sesuatu yang berkaitan dengan Arminian. Orang akan ngeri dengan “Arminianisme,” dan mengaku Kalvinis hanya agar tidak disebut Arminian. Padahal, kelompok Non-Kalvinis berasal dari berbagai spektrum. Banyak yang memiliki pengajaran yang berbeda dengan James Arminius.

14 Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, hal. 44.

15 William G. T. Shedd, Dogmatic Theology, vol. I, hal. 396, dikutip oleh Asali.

16 Benjamin Warfield, Biblical and Theological Studies, hal 281.

17 Webster’s New World Dictionary, ed. 3, New York: Simon & Schuster, 1988, s.v. free will.

18 Budi Asali, dalam “Kedaulatan / penetapan Allah dan Kebebasan / tanggung jawab manusia,” artikel yang didapatkan penulis lewat email.

19 Asali, ibid.

20 Charles Spurgeon, dikutip dari Budi Asali.

21 Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, hal. 45.

22 Kita akan melihat di bagian berikutnya bahwa sebenarnya logika Boettner (dan Kalvinis) salah di sini. Kemahatahuan Allah tidak harus berarti bahwa Ia menentukan segala sesuatu.

23 Suatu doktrin yang juga ditentang oleh Kalvinisme. Tetapi lihat 1 Yoh. 2:2, Ibrani 2:9, Yoh. 1:29, dll.

24 Asali, ibid.

25 Ini hanyalah cetusan praktis dari Kalvinisme. Sebenarnya, yang paling sentral adalah: Kalvinisme hanya akan membuat manusia untuk berharap, “Semoga saya termasuk orang pilihan.”

26 Webster’s New World Dictionary, s.v. sovereign.

27 Kata “sovereign” juga tidak ditemukan dalam KJV.

28 Tentu kehendak bebas manusia berbeda dengan kehendak bebas Allah. Kehendak bebas Allah tidak dihalangi oleh apapun juga selain sifat-sifat Allah sendiri. Kehendak bebas manusia, selain dihalangi oleh sifat-sifat manusia itu sendiri, juga dapat dihalangi oleh kehendak bebas pribadi lain. Misalnya, penjahat yang dipenjara bisa saja ingin lepas, tetapi ia dihalangi oleh tembok yang dibangun oleh orang-orang lain.

29 Boettner, The Reformed Doctrine of Predestination, hal. 42.

30 William G. T. Shedd, Dogmatic Theology, vol. I, hal. 396.

31 Sekilas sepertinya kata “pasti” dan “harus” adalah sinonim. Tetapi ada perbedaan konotasi antara kedua kata ini.

32 Louis Berkhof, Theologi Sistematika, diterjemahkan oleh Yudha Thianto (Jakarta: Lembaga Reformed Injili Indonesia, 1993), vol. 1, hal. 192.

33 William Lane Craig, The Only Wise God (Grand Rapids: Baker Book House, 1987), hal. 74.

34 Terjemahan literal. Dalam ITB, “foreknowledge” diterjemahkan “rencana,” memperlihatkan bahwa para penerjemah ITB telah dipengaruhi oleh Kalvinisme.

35 Pink, The Sovereignty of God, hal. 57.

36 Sekali lagi penerjemah ITB menunjukkan bias Kalvinis mereka. Dalam ITB, ayat ini berbunyi “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula.” Padahal, kata “dipilih” berasal dari proegno (mengetahui sebelumnya), dan semua terjemahan Inggris yang kompeten menerjemahkannya sebagai “foreknew” atau “foreknow” atau “know before.”

37 Warfield, Biblical and Theological Studies, hal 281.

38 James Arminius, The Works of James Arminius, diedit oleh James Nichols dan William Nichols (Grand Rapids: Baker Book House, 1986) vol. 2, hal. 160.

39 Charles Hodge, Systematic Theology (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans Publishing Co., 1989), vol. I, hal. 547.

40 Oleh LAI diterjemahkan “rencanaNya,” yang tidak berdasar sama sekali. Terjemahan Bahasa Inggris dengan konsisten memakai “foreknowledge,” yang baiknya diterjemahkan “pra-pengetahuan” Tuhan.

41 James O. Wilmoth dan David S. West, dikutip dalam Laurence M. Vance, The Other Side of Calvinisme (Vance Publications: Pensacola, Florida, 2002), rev. ed., hal. 276.

42 Asali, ibid.

KEDAULATAN ALLAH DAN KEBEBASAN MANUSIA YANG ALKITABIAH (Bag 4)

D. Allah yang Mengendalikan Sejarah

Tidak ada orang yang benar-benar percaya pada Alkitab yang akan meragukan bahwa Allah maha berdaulat. Demikian pula tidak ada seorang pun yang benar-benar mengerti kebenaran dapat meragukan bahwa Allah mengontrol sejarah. Perdebatan antara Kalvinis dengan non-Kalvinis sebenarnya bukanlah masalah apakah Allah berdaulat atau tidak. Perselisihan juga bukan pada poin apakah Allah mengendalikan sejarah atau tidak. Baik Kalvinis maupun non-Kalvinis percaya akan hal-hal tersebut. Permasalahannya adalah, apakah Allah yang berdaulat harus menentukan segala tindakan makhlukNya? Apakah Allah mengendalikan sejarah dengan cara menentukan segala tindakan makhlukNya?

Kita sudah melihat di bagian yang lebih awal, bahwa tidak ada suatu hal pun dalam definisi “kedaulatan” yang mengharuskan Allah untuk menentukan segala tindakan makhlukNya. Ide ini tidak inheren dalam makna “kedaulatan,” melainkan adalah suatu pilihan filosofis dari kaum Kalvinis. Lalu bagaimana dengan pengendalian atas sejarah?

Banyak sekali bukti dan contoh kasus dalam Alkitab, bahwa Allah memegang kendali penuh atas perjalanan sejarah. Nubuat-nubuat yang terdapat dalam Alkitab adalah salah satu contoh kendali Tuhan. Pada saat yang sama, Allah tidak menentukan tindakan-tindakan makhluk-makhlukNya, karena terbukti Ia masih meminta pertanggungan jawab makhluk-makhluk itu. Lalu, bagaimanakah Tuhan mengendalikan sejarah?

Pertama, walaupun Allah tidak menentukan segala sesuatu, tetapi Ia menentukan banyak hal. Jelaslah bahwa Allah yang menentukan semua hukumalamyang berlaku. Segala tindakan penciptaan Allah adalah keputusanNya sendiri. Banyak Kalvinis berpikir, bahwa karena non-Kalvinis menentang penentuanAllahatas segala sesuatu, maka kami tidak percaya Allah menentukan apa-apa. Ini tidak benar! Saya percaya Allah menentukan banyak sekali hal. Yang tidak Allah tentukan adalah keputusan-keputusan makhluk-makhluk yang berkehendak bebas. Mengapa Allah tidak menentukannya? Karena Allahlah yang pada awalnya menentukan mereka berkehendak bebas, yang berarti Allah ingin mereka sendiri yang memutuskan. Namun saya percaya bahwa hal-hal lain di luar kehendak bebas makhluk ciptaan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan. Penulis Amsal mengakui kebenaran ini dengan pernyataan berikut: “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN” (Ams. 16:33). Bukan hanya jatuhnya undian, saya percaya bahwa setiap tetes hujan yang turun, diatur oleh Tuhan untuk mengenai titik tanah yang tertentu, baik itu melalui hukum alam maupun intervensi khususNya. Setiap batu yang berguling, Tuhan tentukan trayektorinya, baik melalui hukum alam maupun intervensi khususnya. Hal-hal ini tidak berkaitan dengan kehendak bebas makhluk ciptaan, dan Allah memang menentukan hal-hal ini. Dengan jalan demikian, kita bisa memahami salah satu cara yang Tuhan pakai untuk mengendalikan sejarah, tanpa menentukan keputusan manusia. Kita melihat bagaimana undian telah Tuhan pakai sepanjang sejarah untuk mengendalikan jalannya sejarah (kisah Yunus, juga Nebukadnezar di dalam Yeh. 21:18-22).

Kedua, walaupun Allah tidak menentukan keputusan manusia, Allah menentukan apakah keputusan itu bisa sampai atau tidak. Alkitab selalu menyuruh manusia untuk memilih yang baik, menentukan yang benar, dan memutuskan secara bertanggung jawab. Ini adalah bukti implisit bahwa Allah tidak menentukan itu semua bagi manusia. Manusialah yang membuat berbagai keputusan bagi dirinya sendiri. Namun demikian, Allah dapat menentukan apakah keputusan manusia itu akan sampai atau tidak. Seseorang bisa saja memutuskan untuk membunuh temannya. Itu adalah keputusannya sendiri. Jika kita percaya bahwa Allah mahakudus, dan juga percaya bahwa manusia bertanggung jawab, kita tidak dapat mengatakan bahwa keputusan untuk membunuh telah ditentukan Tuhan. Namun demikian, Tuhan menentukan apakah keputusan orang tadi untuk membunuh akan terlaksana atau tidak. Tuhan bisa mengintervensi dengan berbagai cara. Orang itu bisa saja terkena serangan jantung atau tertimpa kecelakaan sebelum sempat melaksanakan niatnya. Intinya, Tuhan bisa memastikan bahwa niatnya tidak kecapaian. Oleh sebab itulah penulis Amsal berkata, “Banyaklah rancangan dihati manusia, tetapi keputusan Tuhanlah yang terlaksana” (Ams. 19:21). Bukan berarti bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Justru ayat ini mengajarkan bahwa rancangan dalam hati tiap individu adalah rancangan dia sendiri. Itu keputusannya! Tetapi, Allah bisa mengintervensi sehingga niatnya tidak kesampaian, melainkan rencana Tuhan yang jadi!

Jadi, jelaslah bahwa segala sesuatu adalah atas izin Tuhan, tetapi bukan segala sesuatu ditetapkan oleh Tuhan. Ada perbedaan antara mengizinkan sesuatu dengan menetapkan sesuatu. Mengizinkan sesuatu berarti kehendak untuk melakukan berasal dari pihak lain. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Allah mengizinkan dosa (untuk sementara waktu), dan Allah tidak bertanggung jawab atas dosa. Tetapi, jika Allah menentukan harus ada dosa, maka Allah bertanggung jawab akan dosa.

Berdasarkan pemahaman ini, kita juga mengerti mengapa Tuhan selalu melihat hati, lebih daripada hal-hal eksternal. TuhanYesus berkata bahwa: “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya” (Mat. 5:27-28). Niat dan pikiran berzinah adalah keputusan orang itu, Tuhan tidak menentukannya. Tetapi belum tentu ada kesempatan dan peluang bagi dia untuk melakukan zinah itu. Walau dia tidak pernah berzinah secara fisik, di hadapan Tuhan dia sudah berzinah, karena Tuhan tahu pikiran dan niatnya. Dalam kondisi dan dengan peluang yang tepat, dia tentunya sudah berzinah.

Walaupun Allah tidak menentukan tindakan dan keputusan manusia, Allah senantiasa melakukan berbagai intervensi, agar rencanaNya jadi. Allah tidak pernah menentukan agar orang-orang Sodom menjadi sangat jahat. Itu adalah keputusan mereka. Tetapi, Allah mengintervensi agar kejahatan mereka tidak merusak rencanaNya. Tuhan menghancurkan Sodom dengan hujan belerang. Kita perlu mengucap syukur karena Allah kita mengendalikan sejarah dan senantiasa turut bekerja untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia (Roma 8:28).

Ketiga, rencana Allah dan intervensi yang Allah lakukan bekerja sama dengan kemahatahuan Allah. Kalvinis sering memakai kasus penyaliban Yesus Kristus untuk membuktikan bahwa Allah menentukan segala sesuatu, dan bahkan dosa. Hodge mengajarkan bahwa “Penyaliban Kristus tidak diragukan lagi ditentukan lebih dulu oleh Allah. Tetapi itu adalah tindakan kriminal terbesar yang pernah dilakukan. Karena itu tidak perlu diragukan, Alkitab mengajarkan dosa ditentukan lebih dulu merupakan pengajaran Alkitab.”39

Tentu tidak ada orang Kristen yang menyangkal bahwa Allah sudah merencanakan penyelamatan melalui kematian AnakNya, sejak kekekalan bahkan. Ada banyak ayat yang mengajarkan tentang rencana Tuhan ini. Petrus pernah berkhotbah tentang Yesus: “Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan pra-pengetahuanNya, 40 telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka” (Kis. 2:23). Apakah ini berarti Allah menentukan tindakan orang-orang Israel yang menyalibkan Yesus? Sama sekali tidak ! Ini adalah asumsi Kalvinis. Kalau anda tidak memiliki bias Kalvinis, anda tidak akan mendapatkan dari ayat-ayat ini bahwa Allahlah yang membuat mereka menyalibkan Yesus! Justru ayat ini mengajarkan bahwa rencana Allah bekerja sama dengan kemahatahuanNya.

Orang Israel menyalibkan Yesus atas dasar keinginan mereka sendiri. Semuanya berjalan sesuai dengan rencana Allah, karena Allah mahatahu. Tuhan memutuskan untuk datang ke dalam dunia dalam waktu yang tepat dan dalam kondisi yang tepat. Dan Allah tahu apa tindakan manusia dalam tiap kondisi. Oleh karena itu, Allah dapat merencanakan penyaliban Kristus, tanpa memaksa manusia atau menentukan pilihan manusia. Dengan kata lain, Allah tahu bahwa jika Kristus lahir di zaman tertentu, lalu mengajarkan pengajaran-pengajaran yang benar, lalu melakukan segala yang Kristus lakukan, maka para tua-tua dan imam-imam akan berniat untuk membunuh Yesus. Niat itu sama sekali tidak ditentukan Allah, melainkan adalah keputusan dan tanggung jawab manusia. Yang Allah tentukan adalah bahwa niat mereka bisa tercapai dalam kondisi dan waktu yang tepat, dan mereka berhasil menyalibkan Yesus. Jadi, Allahtidak menentukan dosa terbesar dalam sejarah,Allah mengizinkannya. Dengan kata lain, niat dosa manusia, yang datang dari manusia itu sendiri, Tuhan pergunakan untuk maksud dan tujuan Tuhan!

Hal ini bisa menjawab pertanyaan, mengapa Allah mengizinkan dosa? Tuhan memiliki maksud dan tujuanNya sendiri. Walaupun dosa tidak disebabkan oleh Tuhan, dan tidak ditentukan oleh Tuhan, tetapi untuk sementara waktu Tuhan membiarkan dosa. Selalu ada tujuan dibaliknya. Dalam kasus penyaliban Yesus, kita melihat bagaimana Allah menggunakan dosa manusia untuk justru mendatangkan keselamatan. Sama sekali bukan Tuhan yang menentukan dosa itu, melainkan Tuhan “memelintir dosa itu” untuk tujuanNya. Dalam kasus Yusuf dan saudara-saudaranya, Yusuf bisa mengambil kesimpulan: “Memang kamu telah mereka-rekakan yang jahat terhadap aku, tetapi Allah telah merekarekakannya untuk kebaikan, dengan maksud melakukan seperti yang terjadi sekarang ini, yakni memelihara hidup suatu bangsa yang besar” (Kej. 50:20). Dari ayat ini, sama sekali tidak ada indikasi bahwa kejahatan kakak-kakak Yusuf adalah atas penentuan Tuhan. Justru ayat ini mengajarkan konsep yang kita bahas di bagian ini, bahwa dengan kemahatahuanNya dan kemahakuasaanNya, Tuhan memperhitungkan dosa sedemikian rupa dalam rencanaNya, agar dosa itu memainkan peran dalam rencana Tuhan.

Untuk mengulangi sekali lagi, kejahatan manusia dan Iblis tidak Tuhan tentukan. Namun, kejahatan mereka Tuhan izinkan, dan Tuhan pakai untuk maksudNya yang baik. Oleh karena itulah dalam Wahyu dikatakan: “Sebab Allah telah menerangi hati mereka untuk melakukan kehendak-Nya dengan seia sekata dan untuk memberikan pemerintahan mereka kepada binatang itu, sampai segala firman Allah telah digenapi” (Wah. 17:17).

Sebagai kesimpulan, saya dapat mengatakan bahwa Allah yang berdaulat tidaklah perlu menentukan segala sesuatu. Lebih lanjut lagi, karena Allah mahatahu, karena Ia adalah Pencipta, karena Ia mahakuasa, Ia tidak perlu menentukan pilihan-pilihan manusia agar dapat mengendalikan alam semesta ini.

E. Kedaulatan Mana Yang Lebih Agung?

Kalvinis banyak menggunakan konsep “kedaulatanAllah” untuk menakut-nakuti non-Kalvinis. Seolah-olah hanya Kalvinis-lah yang percaya dengan sungguh-sungguh akan kedaulatan Tuhan. Seolah-olah, jika Tuhan tidak menentukan segala sesuatu, maka Tuhan kehilangan kendali atas alam semesta ciptaanNya.

Tetapi kita telah melihat, bahwa tidak benar demikian. Definisi “kedaulatan” itu sendiri sama sekali tidak memerlukan penentuan atas segala sesuatu. Kita juga telah melihat bagaimana Allah tetap memegang kendali atas segala sesuatu, walaupun Ia memberikan kehendak bebas pada manusia. Pertanyaan yang muncul justru adalah sebagai berikut: Kedaulatan versi mana yang lebih agung? Kedaulatan Allah versi Kalvinis, di mana Allah menentukan segalanya? Atau kedaulatan versi Alkitab, di mana ada kehendak bebas manusia (yang tidak ditentukan Allah)?

Manakah yang lebih hebat dan agung, (1) bahwa rencana Allah terlaksana karena Allah menentukan segala sesuatu, atau (2) bahwa rencana Allah terlaksana walaupun banyak makhluk bebas yang menentangNya, namun tetap rencanaNya yang menang? Manakah yang lebih hebat, berhasil mengendalikan suatu lingkungan yang segala aspeknya anda tentukan, atau berhasil mengendalikan suatu lingkungan yang terdiri dari pribadi-pribadi bebas lainnya? Manusia dan Iblis dalam skema Kalvinis, telah ditentukan oleh Allah segala pikiran dan tindakan mereka. Bahwa lalu segalanya berjalan sesuai dengan rencana Allah tidaklah mengherankan. Yang kita herankan adalah justru jika segalanya ditentukan Allah, mengapa masih terjadi banyak dosa dan kekacauan. Jika seseorang berhasil mengendalikan 100 robot yang dia buat, untuk menciptakan suasana persis seperti keinginannya, ini bukan hal yang mengagumkan. Toh segalanya tinggal di program. Tetapi, ketika seorang guru berhasil mengendalikan 100 siswa untuk menciptakan suasana persis seperti keinginannya, ini adalah suatu hal yang hebat. 100 siswa ini bisa menentang atau mengikuti keinginan guru tersebut. Jadi, kedaulatan mana yang lebih hebat dan agung? Kedaulatan di mana semuanya sudah ditentukan, atau kedaulatan di mana ada makhluk-makhluk bebas, bahkan banyak yang menentang Allah, tetapi pada akhirnya semuanya sesuai dengan rencana Allah?

Jikalau saya mengambil ilustrasi sebuah permainan catur, konsep Kalvinis dapat digambarkan dengan seorang yang bermain catur sendirian. Dia menggerakkan buah-buah putih dan juga buah-buah hitam. Dia menentukan segala sesuatu. Serangan musuh, dia yang tentukan, tangkisannya juga dia yang tentukan. Bisa saja pemain solo ini melakukan acting, dan seolah-olah memerankan dua orang yang sedang bertarung. Tetapi pada dasarnya, dialah yang menentukan setiap langkah. Jikalau permainan ini berakhir dengan kemenangan bagi pihak yang dia pilih, maka tidak ada seorangpun yang perlu kagum. Ini adalah hal yang mendasar. Jika anda menentukan segala sesuatu maka hasil akhir pastilah sesuai keingian anda, ini adalah hukum alam.

Bandingkan dengan konsep yang Alkitabiah. Kembali ke ilustrasi catur, kali ini ada seorang grandmaster yang hebat sekali, melawan pemain yang riil. Lawannya benar-benar berniat mengalahkan sang grandmaster, dan sama sekali tidak ada kolusi. Kolusi saja tidak ada, jadi sang grandmaster sama sekali tidak menentukan langkah-langkah musuhnya. Namun, kemampuan dan penguasaan sang grandmaster begitu jauh di atas lawannya, sehingga ia dapat membaca semua gerakan lawannya itu. Ia benar-benar mengendalikan permainan. Ia menyerang dan bertahan sesuai keinginannya. Bahkan ia memakai gerakan-gerakan musuhnya untuk kepentingannya sendiri. Musuhnya mungkin menggerakkan buah caturnya untuk menyerang, tetapi sang grandmaster tahu, bahwa justru langkah itu bisa dipakai dalam rencananya sendiri.

Dalam kisah mitos Cina, ada seorang pecatur yang legendaris. Kehebatannya terkenal ke mana-mana sehingga raja pun ingin menjajalnya. Jeleknya, raja ini punya sifat yang sombong. Dia merasa dirinya paling hebat dan mestinya mampu mengalahkan siapapun. Namun demikian, raja tidak mau pecatur legendaris ini mengalah daripadanya. Oleh karena itu, dia membuat suatu peraturan. Sang grandmaster catur tidak boleh kalah dari padanya, dan jika kalah maka sang grandmaster akan dibunuh.

Pertandingan catur antara raja melawan grandmaster pun di mulai. Sebenarnya mudah bagi sang grandmaster untuk mengalahkan raja yang sombong itu. Tetapi si grandmaster tahu sifat raja itu. Kalau dia menang, maka raja yang sombong ini pasti akan membunuhnya juga. Sedangkan kalau dia kalah, maka raja telah mengeluarkan titah untuk membunuhnya. Akhirnya, setelah berpikir, pecatur hebat itu memutuskan untuk mengendalikan permainan sedemikian rupa, sehingga hasil akhir adalah remis. Pada awalnya, raja tidak sadar, karena permainan sang grandmaster seolah-olah serius. Karena penasaran, raja mengulangi permainan berkali-kali dan hasilnya selalu remis. Akhirnya setelah semua permainan berakhir remis, raja itu sadar betapa hebat pecatur itu sebenarnya. Pecatur itu dapat mengendalikan hasil-akhir dari permainan, walaupun raja berusaha keras untuk mengalahkannya!

Memang, ilustrasi catur tentu tidak sempurna untuk menggambarkan hubungan antara Allah dengan ciptaanNya. Tetapi, konsep Kalvinis bahwa Allah menentukan segala sesuatu, tercermin pada kasus seorang pecatur yang bermain sendirian. Sama sekali tidak ada keagungan! Dan jika pada akhirnya manusia dan malaikat memuji dan menyembah Allah, atas dasar penentuan Allah, ini pun tidak memuaskan. Manusia saja tidak akan puas jika dipuji-puji oleh komputer atau robot yang telah diprogram. Itulah sebabnya Allah menciptakan makhluk yang bebas, yang serupa dan segambar dengan Dia, yang dapat membuat keputusan atas dasar dirinya sendiri. Makhluk-makhluk yang bebas ini, membawa kemuliaan kepada Allah pencipta mereka, ketika mereka atas keputusan mereka sendiri menyembah dan memuji Allah.

Kedaulatan mana yang lebih agung? Skema mana yang lebih menunjukkan kehebatan dan kekuasaan Allah atas ciptaanNya? Pecatur yang bermain sendirian dan menentukan segala sesuatu sendiri? Oh, teman-teman Kalvinisku, tidak dapatkah anda melihat, bahwa Kalvinisme justru membuat kedaulatan Allah menjadi tidak agung sama sekali?

VI. Pengajaran Alkitab

Walaupun sudah cukup banyak ayat-ayat yang kita lihat dalam pembahasan sejauh ini, bagian ini akan secara spesifik membahas berbagai ayat yang berhubungan dengan kedaulatan Tuhan, kebebasan manusia, dan apakah Tuhan menentukan segala sesuatu atau tidak.

A. Alkitab Mengajarkan Bahwa Allah Tidak Menentukan Segala Sesuatu

Ada banyak alasan dari Alkitab, mengapa Allah tidak mungkin menentukan segala sesuatu. Mari kita perhatikan satu persatu alasan-alasan di bawah ini.

Pertama, Allah sendiri menyatakan bahwa Dia tidak menentukan segala sesuatu! Mengenai praktek penyembahan berhala dan pengorbanan anak yang ditiru oleh orang Israel dari bangsa-bangsa sekitar mereka, Allah berkata: “Mereka telah mendirikan bukit-bukit pengorbanan bagi Baal untuk membakar anak-anak mereka sebagai korban bakaran kepada Baal, suatu hal yang tidak pernah Kuperintahkan atau Kukatakan dan yang tidak pernah timbul dalam hati-Ku” (Yer. 19:5). Jikalau Tuhan tidak pernah memerintahkannya, dan bahkan tidak pernah timbul dalam hati Tuhan, bagaimana mungkin Tuhan menentukannya? Mustahil! Justru dosa yang sangat biadab ini muncul dari hati manusia yang jahat, bukan ditentukan oleh Tuhan. Tuhan menegaskan bahwa hal ini tidak pernah timbul dalam hatiNya! Apakah Kalvinis mau percaya kepada pernyataan langsung dari Tuhan, atau lebih percaya kepada guru-guru Kalvinis mereka? Ataukah Tuhan membohongi kita, dan bahwa sebenarnya tindakan ini telah ditentukan dalam suatu “dekrit rahasia?” Saya lebih percaya pada Tuhan!

Kedua, sifat Allah yang mahakudus tidak memungkinNya menentukan dosa! Poin ini telah dibahas sebelumnya, jadi hanya akan disinggung sekilas saja. Allah yang “kudus, kudus, kudus” (Yes. 6:3) dan yang “membenci kefasikan” (Maz. 45:8), tidak mungkin menetapkan dan mengharuskan adanya kefasikan dan dosa.

Ketiga, Allah tidak bermain sandiwara! Berbicara melalui Yesaya kepada kaum Israel, Tuhan berkata, “Tidak pernah Aku berkata dengan sembunyi atau ditempat bumi yang gelap. Tidak pernah Aku menyuruh keturunan Yakub untuk mencari Aku dengan sia-sia! Aku, TUHAN, selalu berkata benar, selalu memberitakan apa yang lurus” (Yes. 45:19). Nyatanya, banyak keturunan Yakub yang tidak mencari Tuhan! Apakah Tuhan menentukan mereka untuk tidak mencariNya, lalu memberi perintah untuk mencariNya? Itu sandiwara! Tetapi ayat ini menegaskan bahwa Tuhan tidak bermain seperti itu. Tuhan tidak menetapkan ketidakpercayaan Israel. Jelas, Tuhan tidak menetapkan segala sesuatu.

Keempat, jika Allah menentukan segala sesuatu, manusia tidak bertanggung jawab! Inijuga telah dibahas dibagian sebelumnya. Tentang Yudas, Tuhan Yesus berkata, “Sebab Anak Manusia memang akan pergi seperti yang telah ditetapkan, akan tetapi, celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!” (Luk 22:22). Kalvinis sering salah mengartikan kata “telah ditetapkan,” dan menyimpulkan bahwa pengkhianatan Yudas ditetapkan oleh Allah. Tetapi ayat ini tidak berkata bahwa tindakan Yudas ditetapkan Tuhan. Ayat ini mengajarkan bahwa adalah ketetapan Allah agar Yesus diserahkan dan disalibkan. Silakan lihat lagi bagian pembahasan tentang bagaimana Tuhan mengendalikan sejarah. Melalui kemahatahuan dan intervensi Allah (kelahiran Yesus, dll), Tuhan tahu bahwa imam-imam kepala akan memutuskan untuk membunuh Yesus. Hal ini Tuhan pakai dalam rencanaNya bagi keselamatan manusia. Jadi, penyaliban Yesus memang adalah menurut rencana dan maksud Allah. Allah bukan menetapkan maksud jahat manusia, Allah menetapkan bahwa maksud jahat mereka boleh terlaksana! Tuhan bukan menetapkan bahwa Yudas akan menjual Yesus, tetapi Tuhan menetapkan bahwa niat jahatnya itu dapat terlaksana, sesuai rencana Tuhan. Jika Tuhan yang menetapkan Yudas untuk menjualnya, dan Yudas tidak punya pilihan lain, maka di manakah keadilan perkataan Yesus: “celakalah orang yang olehnya Ia diserahkan!”

Kelima, Alkitab mengajarkan bahwa manusia memiliki kehendak dirinya sendiri! Daud berkata kepada Salomo: “Dan engkau, anakku Salomo, kenallah Allahnya ayahmu dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan dengan rela hati, sebab TUHAN menyelidiki segala hati dan mengerti segala niat dan cita-cita. Jika engkau mencari Dia, maka Ia berkenan ditemui olehmu, tetapi jika engkau meninggalkan Dia maka Ia akan membuang engkau untuk selamanya” (1 Taw. 28:9). Salomo diperintahkan untuk beribadah dengan rela hati. Kerelaan hati mengimplikasikan bahwa tindakan itu adalah atas dasar keinginan sendiri, bukan dipaksa atau ditentukan oleh orang lain. Kerelaan hati yang telah ditentukan oleh Tuhan adalah konsep yang kontradiktif. Masih banyak ayat lain yang berbicara mengenai kerelaan seseorang (e.g. Ezra 7:13; Hakim 5:2).

Ada juga ayat-ayat tentang kehendak manusia. Tuhan berjanji, “Jikalau kamu tinggal didalam Aku dan firman-Ku tinggal di dalam kamu, mintalah apa saja yang kamu kehendaki, dan kamu akan menerimanya” (Yoh. 15:7). Apakah Tuhan telah menetapkan kehendak kita, lalu menyuruh kita untuk meminta sesuai dengan “kehendak” yang telah ditetapkan itu? Apakah ini tidak terdengar aneh bagi anda? Pembacaan Alkitab yang normal, dan pengalaman hidup sehari-hari memberitahu kita bahwa kehendak kita sungguh adalah kehendak kita sendiri, bukan sesuatu yang telah ditentukan Allah. Kalvinis juga mengajarkan bahwa dalam hidup ini, keputusan-keputusan manusia seolah-olah adalah keputusannya sendiri. Hanya saja, menurut mereka sebenarnya keputusan itu telah ditetapkan dalam “dekrit rahasia” Allah. Tetapi, saya tidak tahu siapa yang memberitahu para Kalvinis “rahasia” ini, karena sama sekali tidak ada dalam Alkitab.

Keenam, Alkitab mengajarkan bahwa doa dapat mengubah keadaan! Kebanyakan orang Kristen yang berdoa, percaya bahwa doanya dapat membawa perubahan dalam dunia ini. Tetapi, jika segala sesuatu telah ditentukan oleh Allah, maka bagaimana mungkin doa dapat membawa perubahan? Oleh sebab itulah, James O. Wilmoth, seorang Kalvinis, berkata: “Kita tahu bahwa Allah telah mempredestinasikan segala sesuatu yang terjadi. Ia mengerjakan segala sesuatu sesuai dengan maksud kehendakNya sendiri. Sulit untuk merekonsiliasi doa dengan kehendak Allah yang tidak berubah.” David West berkata, “Doa tidak mengubah apapun, doa juga tidak mengubah Allah atau pikiranNya.”41

Bandingkanlah dengan ayat-ayat Alkitab seperti berikut:

Sesudah itu aku sujud di hadapan TUHAN, empat puluh hari empat puluh malam lamanya, seperti yang pertama kali roti tidak kumakan dan air tidak kuminum karena segala dosa yang telah kamu perbuat, yakni kamu melakukan apa yang jahat di mata TUHAN, sehingga kamu menimbulkan sakit hati-Nya. Sebab aku gentar karena murka dan kepanasan amarah yang ditimpakan TUHAN kepadamu, sampai Ia mau memunahkan kamu. Tetapi sekali inipun TUHAN mendengarkan aku. Juga kepada Harun TUHAN begitu murka, hingga Ia mau membinasakannya; maka pada waktu itu aku berdoa untuk Harun juga. (Ul. 9:18-20)

KEDAULATAN ALLAH DAN KEBEBASAN MANUSIA YANG ALKITABIAH (Bag 3)

B. Tidak Konsisten Secara Praktis

Walaupun penerapan Kalvinisme yang konsisten akan membawa seseorang kepada Fatalisme, tetapi pada kenyataannya mayoritas Kalvinis bukanlah Fatalis. Tidak peduli betapa tidak mampunya para Kalvinis menjelaskan bagaimana manusia bisa bebas dalam skema theologi mereka, toh banyak Kalvinis tetap mengajarkan manusia untuk bertanggung jawab. Asali berkata: “Tetapi seperti saudara sudah lihat, sekalipun saya percaya dan mengajarkan kedaulatan Allah / penentuan Allah, tetapi saya tidak mengajarkan untuk hidup secara apatis / acuh tak acuh dan tak bertanggung jawab!”24

Terhadap hal ini, saya justru mengucap syukur. Hal ini adalah apa yang dapat kita sebut ketidakkonsistenan yang menguntungkan (felicitous inconsistency). Artinya, jika Kalvinis konsisten dengan premis dasar mereka, mereka akan menjadi Fatalis yang tidak memiliki inisiatif sama sekali. Tetapi untunglah mereka tidak konsisten di sini! Sehingga walaupun teori mereka menuntut kehidupan yang menghalalkan segala sesuatu atau yang sama sekali tidak berinisiatif, namun pada prakteknya mereka berfungsi rata-rata sama dengan manusia lain pada umumnya.

Bahwa banyak Kalvinis yang masih berfungsi normal, bukan berarti Kalvinisme tidak bermasalah. Di bagian Pendahuluan, kita sudah melihat contoh orang atheis. Jika atheisme benar, maka penerapannya secara konsisten akan membuat manusia menjadi tidak bermoral sama sekali. Nyatanya, banyak orang atheis yang masih bermoral (moral relatif), malah banyak menyumbang sana sini untuk acara-acara kemanusiaan. Apakah itu berarti atheisme membangkitkan moralitas? Sama sekali tidak! Moralitas yang ditunjukkan seorang atheis adalah sisa-sisa kebenaran ilahi yang sudah sedemikian terpatri dalam sanubari manusia, sehingga sulit untuk dihilangkan begitu saja. Walaupun dalam pikirannya dia menolak Allah (dan juga sebagai konsekuensinya menolak segala aturan moral), tetapi hati nuraninya belum bisa menerapkan itu dalam perilakunya. Atheismenya belum sempat mengikis habis kebenaran ilahi universal bahwa manusia bertanggung jawab kepada Pribadi di atasnya.

Demikian juga dengan Kalvinisme. Bahwa masih banyak Kalvinis yang hidup secara bertanggung jawab, bukanlah karena Kalvinisme membangkitkan rasa tanggung jawab bagi para pemegangnya. Sebaliknya, Kalvinisme yang konsisten memimpin kepada Fatalisme. Justru di sini para Kalvinis melakukan ketidakkonsistenan yang menguntungkan! Rasa tanggung jawab dalam diri seorang Kalvinis adalah kebenaran ilahi universal yang sudah terpatri dalam sanubarinya, dan yang belum sempat dikikis habis oleh Kalvinisme yang dianut secara intelektual.

Sebenarnya, Kalvinisme yang konsisten sama sekali tidak adekuat untuk dijadikan pedoman praktek kehidupan manusia. Saya akan mencoba untuk memperlihatkan kelemahan Kalvinisme dalam praktek hidup sehari-hari. Sebelumnya saya mengajak pembaca untuk mengingat bahwa Kalvinisme percaya;

1. Allah telah menentukan segala sesuatu, termasuk tindakan dan pikiran manusia, dalam dekrit rahasia di kekekalan lampau

2. Manusia pasti melakukan seperti yang Allah dekritkan, tidak dapat menyimpang dari itu.

Untuk menghindari Fatalisme, Kalvinis berkata: “Jangan hidup berpedomankan kepada ketetapan rahasia Allah, itu adalah rahasia. Hiduplah berpedomankan kepada Firman Allah!” Saya senang ketika siapapun juga mengajarkan umat untuk hidup berpedomankan kepada Firman Allah. Tetapi, sambil Kalvinis menghimbau umatnya untuk hidup sesuai Firman Tuhan, premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah seruan tersebut. Seseorang yang mempercayai premis dasar Kalvinisme dengan serius, walaupun dihimbau untuk taat Alkitab, akan bergumul dengan pikiran-pikiran berikut:

1. “Walaupun saat ini saya seolah-olah dapat memilih untuk taat Firman Tuhan atau untuk membangkang, sebenarnya pilihan saya sudah ditentukan oleh Tuhan sejak kekekalan.”

2. “Kalau saya membangkangi Firman Tuhan, saya akan dihukum. Tetapi kalau misalnya Tuhan memang sudah menetapkan saya untuk membangkang, saya tidak bisa melawan itu. Semoga Tuhan tidak menetapkan saya untuk membangkang!” Apakah pembaca dapat melihat, bahwa Kalvinisme yang diimani secara konsisten menimbulkan suatu harapan yang aneh: “Semoga saya bukan telah ditetapkan untuk membangkang!”25

3. Ketika melakukan introspeksi, atau mengilas kembali masa lalu, seorang Kalvinis sah-sah saja berpikir demikian: “Apa yang tadi saya lakukan memang bertentangan dengan Firman Tuhan. Saya sungguh menyesal.....Tetapi, bukankah itu sudah ditentukan Tuhan? Artinya, saya tidak mungkin taat tadi. Guru Kalvinis saya mengajarkan bahwa apapun yang terjadi didunia tidak lepas dari ketetapan dan rencana Tuhan. Apa saya perlu menyesali suatu rencana Allah dalam hidup saya? Saya rasa saya tidak perlu menyesal lagi, saya hanya perlu terima saja bahwa Allah telah menentukan bahwa tadi saya tidak taat dalam hal ini.” Apakah menurut pembaca skenario ini terlalu mengada-ada? Coba renungkan, bukankah premis dasar Kalvinisme berpotensi untuk menimbulkan pikiran-pikiran seperti demikian? Kepercayaan bahwa Allah sudah menentukan segala sesuatu juga tidak dapat secara adekuat mengajari orang percaya perihal doa dan penginjilan. Jika Allah sudah menentukan segala sesuatu, maka doa-doa kita sama sekali tidak mengubah sesuatu apapun. Demikian juga dengan penginjilan. Seiring dengan doktrin Unconditional Election juga (yang belum dibahas), Allah sudah menentukan siapa yang masuk Surga dan siapa yang masuk neraka. Kalau begitu, usaha penginjilan orang percaya tidak akan menambahi atau mengurangi hal ini.

Bukan berarti Kalvinis tidak mengajariorang untuk berdoa atau menginjil. Mereka berkata bahwa orang percaya perlu berdoa dan menginjil karena itu adalah perintah Allah bagi kita. Namun seberapa efektifkah seruan ini jika dibandingkan dengan konsep Alkitab bahwa doa kita benar-benar mengubah situasi? Seberapa efektifkah seruan Kalvinis untuk menginjil karena itu adalah keharusan, dibandingkan seruan untuk menginjil karena usaha penginjilanmu membuat perbedaan bagi jiwa-jiwa yang terhilang?

Tidak usah jauh-jauh, kita bisa melihat ilustrasi seorang salesman. Katakanlah ada dua salesman di dua perusahaan berbeda. Perusahaan pertama memberi gaji tetap kepada salesman mereka. Jadi, berapapun hasil penjualan sang salesman, gajinya sama. Sebaliknya, di perusahaan kedua, salesman diberi gaji tetap yang kecil, tetapi insentif yang besar untuk setiap penjualan yang dia hasilkan. Menurut anda, salesman mana yang akan lebih tinggi penjualannya? Saya rasa saya tidak perlu menjawab lagi, anda sudah mengerti. Itulah sebabnya hampir semua perusahaan kini memakai sistem yang kedua.

Dapatkah pembaca memahami, bahwa seruan Kalvinis untuk berdoa, menginjil, ataupun bentuk ketaatan lainnya, diperlemah oleh premis dasar mereka sendiri? Saya sama sekali tidak menyangkal bahwa Kalvinis masih berdoa. Saya tidak meragukan bahwa ada Kalvinis yang menginjil. Tetapi mereka berdoa dan menginjil, bukan karena mereka Kalvinis (because of their Calvinism), melainkan walaupun mereka Kalvinis (in spite of their Calvinism). Jika ada Kalvinis yang rajin menginjil, saya mengucap syukur untuk hal itu. Tetapi kerajinannya menginjil bukanlah karena ia seorang Kalvinis. Kalau dia bukan Kalvinis, dia bisa lebih rajin lagi menginjil. Mungkin ada Kalvinis yang berkata, “Kalvinisme tidak melemahkan semangat saya menginjil.” Terlepas dari benar tidaknya pernyataan dia, apakah dia yakin bahwa semua Kalvinis yang lain tidak melemah, padahal premis dasar Kalvinisme itu sendiri memperlemah semangat menginjil?

V. Kedaulatan Allah yang Alkitabiah

Sebelum kita melangkah lebih jauh untuk melihat kedaulatan Allah yang Alkitabiah, kita perlu tahu dulu apa yang dimaksud dengan “kedaulatan.” Webster menjelaskan bahwa kata “sovereign” (Indonesia: berdaulat), memiliki arti:26

1 above or superior to all others; chief; greatest; supreme 2 supreme in power, rank, or authority

3 of or holding the position of a ruler; royal; reigning 4 independent of all others 5 ...

1 Di atas atau superior dibanding semua yang lain; pemimpin; yang terbesar; tertinggi 2 tertinggi dalam kuasa, tingkat, atau otoritas 3 memegang posisi seorang penguasa; rajani; bertahta 4 independen terhadap semua yang lain 5 ...

Jadi, dapat kita lihat bahwa “kedaulatan” berhubungan dengan “kuasa,” “pemerintahan” dan “otoritas.” Dari definisi “kedaulatan” tidak ada suatu keharusan bahwa pribadi yang berdaulat menentukan segala sesuatu. Berikut ini kita akan menggali beberapa hal berhubungan dengan kedaulatan Allah dan kebebasan manusia.

A. Kedaulatan Allah Konsisten Dengan Sifat-SifatNya

Allah adalah pribadi yang mahakuasa dan maha berdaulat. Tidak ada orang Kristen lahir baru yang meragukan kedua sifat Allah tersebut. Walaupun demikian, satu hal yang perlu diingat, kedaulatan dan kekuasaan Allah tidak berarti Allah tidak dibatasi. Memang, tidak ada suatu hal pun atau suatu makhluk pun yang dapat membatasi Allah di luar dari Allah sendiri. Tetapi, Allah dibatasi oleh sifat-sifatNya sendiri. Walaupun Allah mahakuasa dan berdaulat, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat Allah lakukan. Sebagai contoh, Allah tidak dapat berdosa, bukan karena halangan dari luar, tetapi karena itu bertentangan dengan sifatNya yang mahakudus. Allah tidak bisa membuat diriNya sendiri tidak eksis, karena sifat Allah adalah mahaada. Sekali lagi, kemahakuasaan dan kedaulatan Allah akan selalu konsisten dengan segala sifatNya yang lain.

Manusia patut mengucap syukur bahwa Allah bukan saja mahakuasa dan maha berdaulat, tetapi juga mahakasih, mahaadil, mahakudus, dan maha penyayang. Oleh karena itu, segala sesuatu yang Allah perbuat melalui kuasa dan kedaulatanNya, pastilah mencerminkan kasih, keadilan, dan kekudusanNya. Jika Allah hanya mahakuasa dan maha berdaulat, tanpa disertai sifat kasih dan kudusNya, maka Allah tidak lebih dari Saddam Hussein yang omnipotent! Bagi pribadi yang demikian, semakin banyak kuasanya, justru semakin berbahaya. Tentu, kalau Allah benar-benar tidak mahakasih atau benar-benar tidak mahakudus, kita tidak bisa protes, karena Dia toh adalah Allah yang menciptakan kita. Kita hanya tinggal tunggu nasib saja! Tetapi puji syukur, Allah menyatakan diriNya dalam Alkitab, dan Ia menyatakan diriNya sebagai Allah yang mahakudus dan mahakasih.

Karena kedaulatan Allah pastilah konsisten dengan sifat-sifatNya yang lain, maka Allah tidak mungkin menetapkan dosa. Kalau Allah menetapkan dosa, maka Allah adalah sumber dosa dan penyebab dosa. Ini tidak mungkin terjadi karena Allah adalah mahakudus. Kalau ada satu sifat Allah yang paling banyak disinggung dalam Alkitab, maka pastinya bukanlah kedaulatanNya, melainkan kekudusanNya. Dalam Alkitab (Indonesia Terjemahan Baru), kata “kudus” dan turunannya, muncul 1008 kali dalam 878 ayat! Sebaliknya, kata “daulat” dalam segala bentuk tidak dapat ditemukan dalam Alkitab Indonesia.27 Kata “kuasa” hanya muncul 562 kali, sudah termasuk segala jenis “kuasa,” bahkan kuasa kejahatan sekalipun. Sedangkan tidak mungkin ada “kekudusan” kejahatan. Setiap kali kata “kudus” dipakai secara positif, pastilah berbicara mengenai Allah atau hal-hal (benda maupun pribadi) yang berkaitan dengan Allah atau yang dikhususkan untuk Allah. Ini pun belum menghitung penggunaan kata “suci.” Jangan salah! Saya tidak meragukan sedikitpun bahwa Allah maha berdaulat. Pemazmur berkata, “Oleh sebab itu kita bersukacita karena Dia, yang memerintah dengan perkasa untuk selama-lamanya, yang mata-Nya mengawasi bangsa-bangsa. Pemberontak-pemberontak tidak dapat meninggikan diri” (Maz. 66:6-7). Tetapi, manusia tidak ada hak sedikit pun, demisuatu definisi “kedaulatan”yang salah, membuat Allah sebagai pribadi yang menetapkan, mendekritkan, danmerencanakansegala dosa yang ada, yang adalah pelanggaran terhadap kekudusanNya!

Ketika Yesaya diizinkan untuk melihat takhta Tuhan, dia menyaksikan para Serafim saling berteriak, “Kudus, kudus, kuduslah TUHAN semesta alam.” Penglihatan akan kekudusan Tuhan begitu melanda dan melingkupi Yesaya, sehingga ia menganggap dirinya celaka karena dosa-dosanya. Minimal 2600 tahun setelah Yesaya, Rasul Yohanes, dalam penglihatannya akan masa depan, melihat kata-kata yang sama tentang kekudusan Tuhan masih dinyanyikan di hadapan takhta Allah (Wah. 4:8). Apakah kita harus percaya, bahwa Allah yang sedemikian Maha Kudus, yang tidak memperbolehkan dosa sekecil apapun untuk menghampiri takhtaNya, ternyata adalah pribadi yang menyebabkan segala dosa yang pernah ada? Ini tidak kurang dari penghujatan! Ini adalah skandal! Oh, wahai teman-temanku Kalvinis, mengapakah anda tidak dapat melihat hal ini?

B. Allah Menciptakan Makhluk dengan Kehendak Bebas

Jika Allah tidak menetapkan adanya dosa, pertanyaan mendasar yang muncul adalah: kalau begitu dari manakah datangnya dosa dan kejahatan? Bukankah di masa kekekalan lampau hanya ada Allah saja? Kalau pada mulanya hanya ada Allah, bukankah berarti segala sesuatu berasal dari Allah?

Pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab jika kita mengerti bahwa Allah selain menciptakan berbagai benda dan hal, juga menciptakan makhluk-makhluk yang Dia berikan kehendak bebas. Manusia adalah salah satu makhluk yang Dia berikan kehendak bebas tersebut. Allah jelas memiliki kehendak bebas, itu adalah salah satu sifatNya. Oleh karena itu, ketika Allah menciptakan manusia sesuai dengan gambar dan rupaNya, manusia mewarisi sifat-sifat Allah sampai tingkat tertentu. Manusia sadar diri, manusia memiliki perasaan, manusia dapat berkomunikasi, dan manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Allah.28

Banyak pihak yang mencoba untuk mengadu “kedaulatan Allah” dengan “kehendak bebas manusia.” Mereka merasa bahwa kalau manusia memiliki kehendak bebas, maka manusia bisa memilih untuk menentang Allah, dan itu berarti Allah tidak berdaulat penuh. Tetapi ini adalah logika yang salah. Ingat bahwa kehendak bebas manusia diberikan oleh Allah sendiri. Apakah Allah yang berdaulat itu tidak boleh memutuskan untuk memberikan kehendak bebas kepada salah satu ciptaanNya? Seseorang yang berdaulat tidak berarti ia harus menentukan segala sesuatu. Seorang raja yang paling berdaulat sekalipun, memiliki hak untuk mendelegasikan banyak hal kepada bawahannya. Ia bisa berkata kepada seorang pegawainya: “Coba kamu yang kendalikan seluruh pasukan kita.” Walaupun pengendalian pasukan adalah hak raja, tetapi raja memutuskan untuk membiarkan pegawainya yang mengendalikan. Kita bisa juga katakan bahwa sang pegawai mengendalikan pasukan berdasarkan otoritas yang diberikan raja padanya. Raja yang tidak boleh mendelegasikan apapun, melainkan harus menentukan segalanya, justru dia bukanlah raja yang berdaulat!

Demikianlah kita lihat Allah yang adalah raja atas seluruh alam ciptaan, Ia mendelegasikan kepengurusan laut dan bumi kepada manusia. Dan Ia pula yang memberikan kepada manusia kehendak bebas, yaitu kemampuan untuk memilih suatu tindakan atau sikap. Dengan kehendak bebas itu, manusia bisa memilih dari banyak pilihan tindakan, berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Jelas pertimbangan-pertimbangan manusia dipengaruhi oleh banyak hal di sekelilingnya, tetapi tidak ditentukan oleh apapun selain dirinya sendiri. Jadi, tidak ada pertentangan antara “kedaulatan Allah” dengan “kebebasan manusia,” karena Allah secara berdaulat memberikan kepada manusia kemampuan untuk memilih berdasarkan pertimbangan-pertimbangannya sendiri. Dengan kata lain, kebebasan manusia adalah kebebasan yang diberikan oleh Allah. Karena Allah yang memberikan kebebasan tersebut, maka Allah juga membiarkan manusia untuk memilih sendiri, dan tidak menentukan segalanya bagi manusia. Di sinilah perbedaan pandangan Alkitab dengan pandangan Kalvinis. Ada Kalvinis yang menolak bahwa manusia punya kehendak bebas. Kalvinis-Kalvinis lain di satu sisi menerima kehendak bebas manusia, tetapi di sisi lain menyatakan bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Menurut saya, jenis Kalvinis yang pertama lebih jujur pada premis dasar mereka. Nah, apa kata Alkitab?

Alkitab penuh dengan bukti implisit maupun eksplisit bahwa manusia diciptakan dengan kehendak bebas. Alkitab tidak banyak berusaha membuktikan bahwa manusia memiliki kehendak bebas, sama seperti Alkitab tidak banyak berusaha membuktikan bahwa Allah ada. Kedua fakta ini diterima secara implisit dan sudah dianggap benar oleh para penulis Alkitab. Setiap kali ada himbauan dalam Firman Tuhan, itu adalah bukti implisit bahwa manusia dapat memilih. Setiap kali para penulis Alkitab memaparkan argumen, itu adalah bukti bahwa mereka mencoba untuk menyodorkan pertimbangan-pertimbangan kepada intelek para pembaca, agar pembaca membuat keputusan yang benar. Ini adalah bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Bahkan Allah sendiri berkata: “Marilah, baiklah kita berperkara” (Yes. 1:18). Tuhan berusaha untuk meyakinkan manusia agar memilih yang baik. Ini adalah bukti kuat bahwa Tuhan memberikan kehendak bebas kepada manusia. Tetapi, bukankah Tuhan itu berdaulat dan dapat menentukan apa yang akan dipilih oleh manusia? Benar! Tetapi Tuhan yang berdaulat itu telah memutuskan untuk membiarkan manusia yang memilih sendiri. Dan Tuhan konsisten dengan keputusanNya, sehingga Ia hanya akan meyakinkan manusia, bukan menentukan bagi manusia. Tentu manusia akan mempertanggungjawabkan pilihannya di hadapan Tuhan suatu hari.

Bahkan kisah pencobaan di taman Eden pun merupakan bukti implisit bahwa manusia memiliki kehendak bebas. Perintah Tuhan kepada manusia untuk tidak makan dari buah pohon pengetahuan yang baik dan yang jahat adalah bukti bahwa minimal ada dua pilihan! Dan fakta bahwa Tuhan sangat marah dan kecewa saat Adam dan Hawa makan buah itu, membuktikan bahwa Tuhan tidak menetapkan demikian. Hanya seorang yang telah dicuci otak oleh Kalvinisme yang dapat menyimpulkan dari Kejadian pasal 2 dan 3, bahwa Allah telah menetapkan Adam untuk jatuh ke dalam dosa!

Alkitab penuh dengan bukti implisit akan kehendak bebas manusia. Namun Alkitab juga mengandung pernyataan-pernyataan langsung tentang kehendak manusia tersebut. Ada banyak ayat tentang “kehendak manusia.” Yonatan pernah berkata kepada Daud demikian, “Apapun kehendak hatimu, aku akan melakukannya bagimu” (1 Sam. 20:4). Tuan dalam perumpamaan Yesus membuat pernyataan yang sangat menarik: “Tidakkah aku bebas mempergunakan milikku menurut kehendak hatiku?” (Mat. 20:15). Ayat-ayat ini membuktikan bahwa keputusan manusia mengalir dari hatinya sendiri bukan ditentukan oleh pribadi lain. Kalvinis ingin agar kita percaya bahwa telah terjadi suatu sandiwara kosmik yang besar, tanpa disadari oleh para pemainnya. Manusia mengira ia menentukan keputusan-keputusannya sendiri, dan Alkitab pun mengacu kepada kehendak hati manusia, tetapi suatu hari nanti akan nyata bahwa ternyata kehendak hati itu telah ditentukan Tuhan! Satu-satunya yang kurang dari skenario ini adalah dukungan Alkitab. Anda tidak akan menemukan satu petunjuk pun dari Alkitab bahwa Allah telah menentukan segala keputusan, perasaan, dan tindakan manusia. Sebaliknya, dalam kasus-kasus tertentu, justru Allah yang mengikuti kehendak manusia. Demikianlah pemazmur mengumandangkan kebenaran ini: “Ia melakukan kehendak orang-orang yang takut akan Dia, mendengarkan teriak mereka minta tolong dan menyelamatkan mereka” (Maz. 145:19). Apakah kita harus percaya, sebagaimana pengajaran Kalvinis, bahwa Allah menentukan dulu kehendak orang-orang itu, lalu membiarkan orang-orang itu merasa bahwa mereka berkehendak dari diri mereka sendiri, dan lalu menyatakan bahwa Dia mengikuti kehendak mereka? Saya tidak percaya bahwa Allah menipu kita dengan sandiwara kosmik seperti itu! Itu bertentangan dengan kesaksian Alkitab! Kalau Allah menentukan segala sesuatu, maka adalah olok-olok bagi Allah untuk menyuruh manusia memilih. Tuhan, melalui Yosua, pernah menantang orang Israel: “pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah” (Yos. 24:15). Bukankah ini semua suatu sandiwara besar jika ternyata Tuhan telah menentukan siapa yang akan memilih Dia, dan siapa yang memilih ilah lain? Bukankah olok-olok jika kemudian Tuhan memarahi mereka yang melaksanakan ketetapanNya sendiri untuk memilih ilah lain? Bukankah bertentangan dengan keadilan Tuhan jika kemudian Tuhan menghukum orang-orang yang tidak dapat berbuat lain daripada rencana rahasiaNya? O, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah engkau melihat, betapa Kalvinisme menjatuhkan karakter Tuhan?

C. Kemahatahuan yang Benar-Benar Mahatahu

Kalvinis menganggap bahwa kemahatahuan Allah adalah benteng yang kuat bagi doktrinnya. Mereka mengumandangkan bahwa jika seseorang menerima kemahatahuan Allah, maka ia harus juga percaya bahwa Allah menentukan segala sesuatu. Boettner bahkan berkata: “Keberatan Arminian terhadap penentuan lebih dulu mengandung kekuatan yang sama terhadap pengetahuan lebih dulu dari Allah. Apa yang Allah ketahui lebih dulu pastilah sama tertentunya dan pastinya seperti apa yang ditentukan lebih dulu.”29

Kita sudah melihat di bagian sebelumnya, bagaimana Kalvinis mengkaitkan kemahatahuan Allah dengan doktrinnya. Berikut ini saya kutip lagi penjelasan dari bagian sebelumnya:

Walaupun Non-Kalvinis mempercayai Allah mahatahu, Kalvinis memiliki pengertian yang lain tentang kemahatahuan. Kalvinis percaya bahwa jika Allah mahatahu, berarti Allah menentukan segala sesuatu. Logika Kalvinis berjalan seperti ini:

“Bayangkan suatu saat (minus tak terhingga) dimana alam semesta, malaikat, manusia, dsb belum diciptakan. Yang ada hanyalah Allah sendiri. Ini adalah sesuatu yang alkitabiah, karena Alkitab jelas mengajarkan bahwa Allah adalah Pencipta segala sesuatu (Kej 1 Yoh 1:1-3). Pada saat itu, karena Allah itu mahatahu (1Sam 2:3 - "Karena TUHAN itu Allah yang mahatahu"), maka Ia sudah mengetahui segala sesuatu (dalam arti kata yang mutlak) yang akan terjadi, termasuk dosa. Semua yang Ia tahu akan terjadi itu, pasti terjadi persis seperti yang Ia ketahui. Dengan kata lain, semua itu sudah tertentu pada saat itu. Kalau sudah tertentu, pasti ada yang menentukan (karena tidak mungkin hal-hal itu menentukan dirinya sendiri). Karena pada saat itu hanya ada Allah sendiri, maka jelas bahwa Ialah yang menentukan semua itu” (Budi Asali).

Saya akan memperjelas lagi dengan mengambil suatu contoh kasus imajiner, yaitu seorang bernama Budi yang suatu hari tertentu memilih untuk memakai baju merah. Allah sudah mengetahui bahwa Budi akan memakai baju merah pada hari itu. Pengetahuan Allah akan hal ini sudah sejak kekekalan lampau. Dan, pengetahuan Allah tentu tidak dapat salah atau gagal, karena Ia Allah dan Ia Mahatahu. Jadi, menurut filosofi Kalvinis, Budi tidak memiliki pilihan lain. Kalau Budi pada hari itu memilih baju biru, maka pengetahuan Allah menjadi salah, dan ini tidak mungkin terjadi. Oleh karena itu, walaupun tampaknya seolah-olah Budi menggunakan kehendak bebasnya untuk memilih baju merah dari berbagai pilihan berwarna-warni baju di lemari, menurut Kalvinis sebenarnya Budi sudah ditetapkan untuk memilih baju merah, dan bahwa Budi tidak bisa memilih baju warna lain karena Allah sudah tahu dia akan pilih merah, dan pengetahuan Allah tidak bisa salah.

Lebih lanjut lagi, Kalvinis mengajarkan bahwa Allah mahatahu karena Allah telah menetapkan segala sesuatu! Kita sudah mengutip Shedd yang berkata, “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.”30

Di sinilah letak kesalahan dari Kalvinisme. Mereka membuat suatu asumsi filosofis bahwa:

1. Allah mengetahui lebih dahulu sama dengan Allah menentukan lebih dahulu

2. Pengetahuan Allah menyebabkan hal yang diketahui untuk terjadi

Padahal, tidak ada dukungan Alkitab, dukungan logis, ataupun dukungan praktis untuk asumsi tersebut. Dalam dunia nyata, bukanlah pengetahuan seseorang akan peristiwa yang membuat suatu peristiwa terjadi. Adalah peristiwa yang menimbulkan pengetahuan. Untuk menyederhanakan, kita mulai dengan contoh pengetahuan manusia pada umumnya (pasca-kejadian / post-knowledge). Misalnya kemarin terjadi gempa bumi di Surabaya. Saya yang di Jakarta, setelah membaca koran, menjadi tahu akan peristiwa tersebut. Tentu tidak ada seorangpun yang cukup gila untuk menegaskan bahwa karena saya tahu akan peristiwa tersebut, maka sayalah yang telah menyebabkan/menentukan terjadinya gempa bumi.

Nah, hal yang sama dapat kita lihat dalam hal pengetahuan awal Allah (pra-kejadian / fore-knowledge). Memang ada perbedaan dalam hal waktu mengetahui. Allah mengetahui sebelumnya, sedangkan manusia mengetahui setelahnya. Tetapi, kita masih berurusan dengan hal yang sama, yaitu pengetahuan! Dan bagaimanakah hubungan “pengetahuan” dengan “peristiwa”? Sebagaimana dalam post-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya, demikian juga dalam fore-knowledge, “peristiwa” menghasilkan “pengetahuan” dan bukan sebaliknya. Perbedaannya hanyalah dari sudut waktu. Dalam postknowledge, pengetahuan terjadi setelah peristiwa, dalam foreknowledge, pengetahuan terjadi sebelum peristiwa. Tetapi, dalam kedua-duanya, “pengetahuan” tidak menyebabkan “peristiwa,” melainkan sebaliknya.

Tetapi bagaimanakah “peristiwa” dapat menyebabkan “pengetahuan” yang sudah ada sebelum peristiwa itu? Bagi manusia memang tidak mungkin, tetapi Allah berada di luar waktu. Istilah “fore” dan “post” knowledge adalah demi memudahkan manusia untuk mengerti, karena manusia berada dalam waktu. Allah berada di luar waktu. Allah melihat

garis waktu bagaikan seseorang yang berada ditempat tinggimemperhatikan banyak kendaraan di jalanan yang panjang. Sedangkan manusia yang berada di dalam waktu, bagaikan salah satu mobil di jalan tersebut, yang sedang “menjalani waktu.” Kapanpun sebuah peristiwa terjadi dalam garis waktu, Allah tahu akan peristiwa itu, bahkan di luar dari waktu.

Jadi, urutan logis (bukan urutan kronologis) yang terjadi adalah:

1. Allah memutuskan untuk memberikan kehendak bebas pada manusia (di luar waktu)

2. Allah menempatkan manusia dalam garis waktu (dalam waktu)

3. Manusia memilih dengan kehendak bebasnya (dalam waktu)

4. Allah tahu pilihan manusia tersebut (di luar waktu)

Kita lihat bahwa fakta Allah mengetahui suatu tindakan manusia, bukan berarti Allah menentukan tindakan tersebut. Manusialah yang menentukan tindakannya, dan Allah tahu akan tindakan itu. Foreknowledge Allah dapat saya ilustrasikan dengan rekaman video. Misalnya saya merekam sebuah pertandingan sepakbola. Lalu saya mempertunjukkan rekaman itu kepada teman saya yang tidak sempat menonton. Bagi dia, seolah-olah hasil rekaman saya itu terjadi “live” karena dia belum tahu apa yang terjadi. Bagisaya, seolah-olah saya punya “foreknowledge”akan pertandingan itu. Kalau teman saya tidak tahu bahwa itu adalah rekaman (menyangka sedang menonton “live”), maka dia akan heran bahwa saya bisa mengetahui segala sesuatu dengan sempurna. Saya bisa menceritakan alur permainan, keputusan wasit, gol-gol yang tercipta pada menit yang tepat, cidera yang terjadi, dan lain sebagainya. Tetapi, setinggi apapun kekaguman dia pada kehebatan pengetauan saya, tidak mungkindia berpendapat bahwa “pengetahuan” sayalah yang menyebabkan semuanya terjadi seperti yang saya katakan. Juga tidak ada orang waras yang akan mengatakan bahwa saya tahu apa yang terjadi karena saya telah menentukan semua itu. Faktanya adalah, walaupun saya sudah “tahu” apa yang terjadi, tetapi “peristiwa” itulah yang membuat saya tahu, bukan “pengetahuan” saya yang menimbulkan “peristiwa.”

Dalam kasus Allah, pengetahuanNya adalah sempurna dan tidak mungkin salah. Oleh karena itu, apapun yang Allah ketahui lebih dahulu, PASTI terjadi. Saya mengaminkan pernyataan ini! Tetapi tidak berarti Allah telah menentukannya. Walaupun segala sesuatu sudah PASTI, segala sesuatu TIDAKLAH HARUS.31 Kalau segala sesuatu itu HARUS, berarti manusia tidak punya pilihan. Ini adalah konsep Kalvinis, bahwa Allah mengetahui dengan cara menentukan. Tetapi Allah telah memberi kebebasan bagi manusia. Manusia itu memilih, dan Allah tahu akan pilihan itu. Bukan Allah yang memilih bagi dia, tetapi Allah tahu pilihan dia.

Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh lagi tokoh Budi yang memilih warna baju. Dalam konsep Kalvinis, Allah menentukan Budi untuk memilih baju merah. Ia tidak punya pilihan yang riil sebenarnya. Dari sudut pra-pengetahuan Allah, tindakan Budi sudah PASTI sekaligus HARUS. Tetapi dalam konsep Alkitabiah, Tuhan tidak menentukan bagi Budi. Budi benar-benar punya pilihan, apakah merah atau biru. Karena Budi memilih Merah, Allah tahu akan hal itu (di luar waktu). Sehingga, sebelum Budi memilih pun, dari sudut pra-pengetahuan Allah, sudah PASTI dia memilih merah. Tetapi Budi TIDAK HARUS memilih merah. Kalau Budi memilih biru, maka pengetahuan Allah menjadi “Budi akan memilih biru.” Sekalilagi, maka sejak kekalsudah PASTI Budimemilih biru, walaupun ia TIDAK HARUS memilih biru.

Jadi kita lihat, “peristiwa” pemilihan oleh Budi, menyebabkan “pengetahuan” Allah akan pilihan Budi, walaupun pengetahuan (di luar waktu) itu sebelum peristiwa (dalam waktu).

Gagal untuk memahami perbedaan antara PASTI dan HARUS, menyebabkan pernyataan seperti berikut dari Berkhof: “Telah ditentukan bahwa orang Ibrani harus menyalibkan Yesus.” 32 Ini adalah posisi Kalvinis, manusia HARUS melakukan yang sudah ditetapkan. Tetapi seperti telah kita lihat, jika mereka “harus,” berarti mereka tidak bisa dan tidak boleh melakukan yang lain. Itu berarti mereka tidak bebas dan tidak bertanggung jawab. Seorang non-Kalvinis yang Alkitabiah dapat mengatakan: “Berdasarkan pra-pengetahuan Tuhan yang sempurna dan tak dapat salah, orang-orang Ibrani PASTI menyalibkan Yesus, tetapimereka TIDAK HARUS menyalibkanNya.” Artinya, orang-orang Ibrani bisa saja memilih untuk tidak menyalibkan Yesus. Opsi itu riil dan terbuka bagi mereka! Tetapi Tuhan tahu dengan pasti pilihan mereka, sejak kekekalan.

William Lane Craig memberikan pengertian yang sangat baik sekali tentang hubungan antara kemahatahuan Allah dengan peristiwa-peristiwa dalam dunia: “Dari pra-pengetahuan (foreknowledge) Allah tentang suatu aksi yang bebas, seseorang hanya dapat menyimpulkan bahwa aksi itu akan terjadi, bukan bahwa aksi itu harus terjadi. Agen yang melakukan aksi tersebut memiliki kekuatan untuk menahan diri (dari aksi tersebut), dan jika agen tersebut melakukan seperti itu, maka pra-pengetahuan Allah tentunya menjadi berbeda. Agen-agen (pelaku-pelaku) tidak bisa berlaku sedemikian rupa sehingga Allah mengetahui mereka melakukan suatu tindakan, namun mereka tidak melakukan tindakan itu. Tetapi ini bukanlah suatu batasan terhadap kebebasan mereka. Mereka bebas untuk melakukanatau tidak melakukan, dan yang mana pun yang mereka pilih, Allah akan sudah mengetahuinya. Karena pengetahuan Allah, walaupun secara kronologis adalah sebelum aksi tersebut, namun secara logis adalah setelah aksi tersebut dan ditentukan oleh aksi itu. Oleh karena itu, pra-pengetahuan ilahi dan kebebasan manusia tidaklah saling bertentangan.”33

Tidak ada satu ayatpun dalam Alkitab yang menyatakan bahwa pengetahuan Allah berasal dari penentuan Allah. Ini hanyalah suatu asumsi dasar Kalvinisme. Pink berusaha untuk menggunakan Kisah Para Rasul 2:23 untuk membuktikan asumsi Kalvinisme tersebut.

Him, being delivered by the determinate counseland foreknowledge of God, ye have taken, and by wicked hands have crucified and slain:

Dia yang diserahkan Allah menurut maksud dan pra-pengetahuanNya, telah kamu salibkan dan kamu bunuh oleh tangan bangsa-bangsa durhaka.34 Pink bersikukuh bahwa pra-pengetahuan Allah didasarkan pada dekrit-dekrit Allah, dan meminta kita untuk “perhatikan urutannya: pertama adalah maksud Allah (dekritNya), dan kedua pra-pengetahuanNya.”35 Berdasarkan urutan ini, Pink mengajarkan bahwa dekrit Allah menyebabkan Allah tahu. Tetapi ini logika yang kacau. Hanya karena “maksud” lebih dulu disebut dari “pra-pengetahuan,” sama sekali tidak membuktikan bahwa yang satu mendasari yang lain. Bagaimana dengan ayat-ayat yang menyebut “pra-pengetahuan” duluan? Roma 8:29 berbunyi: “Sebab semua orang yang diketahuiNya dari semula, mereka juga ditentukan-Nya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya, supaya Ia, Anak-Nya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara.”36 Ayat ini justru mengajarkan bahwa prapengetahuan Allah menjadi dasar dari penentuanNya. Artinya, Allah menentukan berbagai hal dalam dunia, bukan secara sembarangan, tetapi berdasarkan hal-hal yang Allah ketahui.

Mazmur 139, salah satu pasal yang paling indah menggambarkan kemahatahuan Tuhan, tidak mendukung sama sekali konsep Kalvinis. Dalam Mazmur ini, Daud menjelaskan:

TUHAN, Engkau menyelidiki dan mengenal aku; Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh. Engkau memeriksa aku, kalau aku berjalan dan berbaring, segala jalanku Kaumaklumi. Sebab sebelum lidahku mengeluarkan perkataan, sesungguhnya, semuanya telah Kauketahui, ya TUHAN.

Kata-kata Daud sama sekali tidak mencerminkan bahwa segala yang Tuhan ketahui berarti sudah Tuhan tentukan. Justru sebaliknya! Tuhan “menyelidiki” dan “mengenal” Daud. Ini berarti Tuhan tidak menentukan pikiran-pikiran Daud. Kalau Tuhan menentukan pikiran Daud, maka tidak perlu lagi “diselidiki”! Tuhan juga “memeriksa” Daud. Semua kata-kata yang dipakai menunjukkan bahwa Daud adalah makhluk dengan kehendak bebas (diciptakan Tuhan demikian), dan menentukan pikiran dan pilihannya sendiri. Tetapi pengetahuan Tuhan sedemikian hebat, sehingga hal-hal yang paling rahasia pun, yang hanya ada dalam pikiran Daud, adalah terbuka bagi pengetahuan Tuhan!

Saking hebatnya pengetahuan Tuhan, Daud berkata, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” (139:6). Ini sangat kontras dengan konsep Kalvinis. Sekali lagi saya mengutip Shedd: “Jika Allah tidak lebih dulu menentukan apa yang akan terjadi, Ia tidak bisa mengetahui apa yang akan terjadi.” Saya rasa prapengetahuan ala Kalvinis sama sekali tidak mengesankan. Kalau perlu menentukan dulu, baru bisa tahu, itu saya juga bisa, bahkan anak-anak juga bisa! Sekali lagi, sama sekali tidak ada yang spektakuler mengenai pengetahuan yang harus menentukan dulu untuk bisa tahu. Coba kita perjelas dengan ilustrasi sehari-hari.

“Saya adalah seorang dosen, dan tentunya memiliki kuasa untuk menentukan banyak hal di dalam kelas. Suatu hari, saya memutuskan untuk memberikan ujian mendadak kepada para mahasiswa. Mahasiswa yang tidak siap untuk ujian tentunya kaget sekali. Mungkin pula ada yang protes. Tetapi satu hal yang pasti, mereka tidak akan terkesan bila saya mengatakan, ‘saya sudah tahu bahwa hari ini akan ada ujian.’ So what!!?? Ya jelaslah sang dosen tahu, toh dia yang memutuskannya! Sebaliknya, bila ternyata salah satu mahasiswa, karena kepintarannya menganalisa gerak-gerik, pola mengajar, dan pola pikir saya, ternyata dapat mengetahui bahwa akan ada ujian mendadak hari itu, maka itu adalah pengetahuan yang cukup spesial.”

Tidak mungkin Daud terkesan dan berkata, “Terlalu ajaib bagiku pengetahuan itu, terlalu tinggi, tidak sanggup aku mencapainya” jika ternyata pengetahuan itu adalah karena suatu penentuan. Bahkan bisa dipertanyakan, apakah “pengetahuan karena penentuan” bisa disebut sebagai keMAHAtahuan. Sebagaimana telah dikutip sebelumnya, Warfield mewakili para Kalvinis untuk menjelaskan tentang pengetahuan Allah: “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri.”37 Mengetahui kehendak sendiri sama sekali tidak ajaib! Pribadi yang hanya tahu apa yang telah ia tentukan, sebenarnya bahkan tidak masuk kategori mahatahu. Kalvinis, karena semangat mereka mempertahankan premis dasar “Allah menentukan segala sesuatu,” justru malah menyerang kemahatahuan Tuhan sendiri!

Arminius, tokoh yang paling banyak diserang oleh Kalvinis, justru memiliki pandangan tentang kemahatahuan yang jauh lebih baik. Tentang Allah, Arminius menegaskan:

“Ia tahu segala hal yang mungkin, apakah mengenai kapabilitas Allah ataupun makhluk; dalam kapabilitas aktif maupun pasif; dalam kapabilitas tindakan, atau imajinasi, atau ucapan: Ia tahu segala sesuatu yang dapat eksis, dalam hal hipotesis apapun: Ia tahu hal-hal lain di luar diriNya, baik yang harus maupun yang tergantung, baik atau buruk, umum atau khusus, masa depan, masa kini dan masa lampau, agung ataupun tercela: Ia tahu hal-hal yang substansial maupun segala jenis yang tak disengaja; aksi dan emosi, modus dan keadaan segala hal; kata-kata dan perbuatan eksternal, pikiran-pikiran internal, pertimbangan-pertimbangan, maksud rencana, dan keputusan-keputusan, dan entitas akal budi, apakah kompleks atau sederhana.”38

James Arminius justru mengakui kemahatahuan Tuhan yang lebih komplit daripada Kalvinis. Secara tradisional, umat Kristiani percaya bahwa Allah tahu segala sesuatu, termasuk apa yang disebut “middle knowledge.” Allah memiliki “middle knowledge,” yang berarti bahwa Allah bukan hanya tahu semua apa yang sudah, sedang, dan akan terjadi, tetapi Allah juga tahu semua yang MUNGKIN terjadi. Jadi, walaupun Allah sudah tahu tentang perzinahan Daud dengan Batsyeba, dan segala konsekuensinya, misalnya kekacauan keluarga Daud karena contoh buruk yang ia berikan, dan juga pemberontakan anaknya dan penasihatnya, Allah juga tahu, apa yang akan terjadi jika saja Daud tidak berzinah dengan Batsyeba! Allah tahu tentang semua konsekuensi, semua pilihan orang-orang lain disekitar Daud, jika saja Daud memilih untuk melakukan hal lain! Jadi, Allah bukan saja tahu apa yang benar-benar terjadi, Allah bahkan tahu tentang segala kemungkinan! Itulah sebabnya, dalam Alkitab, banyak sekali referensi tentang pengetahuan Allah “jika” sesuatu hal terjadi, padahal hal tersebut tidak terjadi. Contoh:

Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida! Karena jika di Tirus dan di Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan Tirus dan Sidon akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. Dan engkau Kapernaum, apakah engkau akan dinaikkan sampai ke langit? Tidak, engkau akan diturunkan sampai ke dunia orang mati! Karena jika di Sodom terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, kota itu tentu masih berdiri sampai hari ini. Tetapi Aku berkata kepadamu: Pada hari penghakiman, tanggungan negeri Sodom akan lebih ringan dari pada tanggunganmu. (Mat. 11:21-24)

Pernyataan Tuhan Yesus ini adalah contoh yang sangat baik. Tirus, Sidon, dan Sodom tidak bertobat. Oleh karena itu tidaklah mungkin untuk mengatakan bahwa Allah menentukan mereka bertobat. Namun, Tuhan tahu, bahwa jika dikota-kota itu terjadi mujizat-mujizat tertentu, mereka tentunya telah bertobat. Ini adalah salah satu perikop yang membuktikan bahwa Tuhan bukan hanya tahu hal-hal yang Ia tentukan! Ia tahu segala kemungkinan. Ia tahu apa yang makhluk akan lakukan dalam segala kondisi dan situasi. Perikop lain yang mengilustrasikan kebenaran ini ada dalam kitab 1 Samuel:

Ketika diketahui Daud, bahwa Saul berniat jahat terhadap dia, berkatalah ia kepada imam Abyatar: "Bawalah efod itu ke mari." Berkatalah Daud: "TUHAN, Allah Israel, hamba-Mu ini telah mendengar kabar pasti, bahwa Saul berikhtiar untuk datang ke Kehila dan memusnahkan kota ini oleh karena aku. Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah aku ke dalam tangannya? Akan datangkah Saul seperti yang telah didengar oleh hamba-Mu ini? TUHAN, Allah Israel, beritahukanlah kiranya kepada hamba-Mu ini." Jawab TUHAN: "Ia akan datang." Kemudian bertanyalah Daud: "Akan diserahkan oleh warga-warga kota Kehila itukah akudengan orang-orangku ke dalam tangan Saul?" Firman TUHAN: "Akan mereka serahkan." (1 Sam. 23:9-12).

Pada waktu itu, Daud sedang bersembunyi dari Saul di sebuah kota bernama Kehila. Saul rupanya mendapat kabar bahwa Daud berada di sana, dan Saul berniat untuk membawa pasukan dan mengepung Daud di Kehila. Namun rencana itu bocor ke telinga Daud, sehingga Daud bertanya kepada Tuhan: “Apakah orang-orang Kehila akan menyerahkan aku kepada Saul?” Tentu pertanyaan iniadalah dengan asumsibahwa Daud terus berada di Kehila. Pada kenyataannya, Daud akhirnya segara keluar dari Kehila. Walaupun demikian, Tuhanbisa tahu dengan pasti, bahwa jika Daud berada di Kehila, orang-orang kota itu akan menyerahkan Daud kepada Saul. Ini adalah suatu kondisi hipotetis, dan tidak pernah terjadi. Tetapi demikianlah kemahatahuan Tuhan, sedemikian ajaib, sehingga Ia tahu segala kemungkinan dan Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh makhluk-makhlukNya dalam segala jenis kondisi. Jelaslah bahwa Tuhan bukan hanya tahu apa yang Ia tetapkan! Tuhan bukan hanya tahu apa yang menjadi kehendakNya sendiri!

Kalau mau direnung-renungkan, pernyataan Warfield bahwa “Allah mengetahui lebih dulu hanya karena Ia telah menentukan lebih dulu, dan karena itu juga Ia menyebabkannya terjadi; dengan kata lain, pengetahuan lebih dulu ini pada hakekatnya adalah pengetahuan tentang kehendakNya sendiri,” sebenarnya adalah pengakuan Kalvinis bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas! Dengan satu kalimat ini, Warfield menerangkan apa yang sebenarnya dipercayai oleh Kalvinis, tidak pedulibetapa gigihnya mereka berusaha menyangkalinya, yaitu bahwa segala “kehendak” makhluk adalah sebenarnya “kehendak Allah.” Tanpa sadar (atau mungkin dengan sadar), Warfield menegaskan bahwa makhluk tidak memiliki kehendak sendiri, melainkan dikendalikan oleh “kehendak Allah.”

Jadi, usaha Kalvinis untuk memakai kemahatahuan Allah untuk mendukung premis dasarnya bahwa Allah telah menentukan segala sesuatu, justru membawa dua dampak. Pertama, ia semakin memperlihatkan posisi Kalvinis sebenarnya, bahwa manusia hanyalahpion-pionpintar yang melakukansegenap “dekrit Allah” sambilberpikir danmerasa bahwa ia melakukannya atas keinginan sendiri. Kedua, ia justru memperlemah kemahatahuan Tuhan sendiri. Oh, teman-temanku Kalvinis, tidak dapatkah kalian melihat, bahwa “allah” yang hanya bisa tahu apa yang ia tentukan, dan hanya tahu kehendaknya sendiri, bukanlah Allah yang Mahatahu dalam Alkitab?